Mencintai Sosok Seorang Joker

“Orang Jahat adalah Orang Baik Yang Tersakiti.”

Kutipan kalimat tersebut sering kita dengar akhir-akhir ini. Beberapa dibentuk menjadi Meme, dan adapula yang memplesetkannya menjadi kalimat yang mirip, seperti “Mantan Jahat adalah Mantan Baik Yang Tidak Mengundang Nikahan.”

Kalimat tersebut diketahui merupakan kutipan dari film Joker. Sosok musuh Batman yang akhirnya memiliki film sendiri, setelah sebelumnya diangkat kisah kekasihnya dalam film Suicide Squad.

Entah pesan apa yang diinginkan oleh pembuat film Joker tersebut, yang pasti, sosok Joker saat ini seolah dianggap memukau, bahkan terlihat seolah-olah membuat masyarakat merasa simpati terhadapnya.

Joker sendiri diketahui merupakan salah satu musuh bebuyutan Batman yang merupakan manusia biasa namun psikopat. Walaupun psikopat, namun dalam cerita tersebut juga dimunculkan sisi cinta, dimana sosok Harley Quinn menjadi pasangan yang mencintai Joker apa adanya, walaupun dibalas dengan gaya ala psikopat yang cuek.

Namun apakah mungkin psikopat layaknya Joker dapat memiliki orang yang mencintai dan dicintainya?

Mengapa Joker Memukau?

Ada kutipan menarik dalam “Why Vampires Never Die”, esai yang ditulis oleh Guillermo Del Toro bersama Chuck Hogan dan tayang di New York Times pada 2009 lalu: “Monster, sebagaimana malaikat, diciptakan demi kebutuhan kita sendiri,” dilansir dari Tirto.

Esai tersebut menjelaskan mengapa sosok monster penuh teror seperti vampir—yang basis kisahnya dalam literatur diciptakan oleh John William Polidori pada 1819 silam lewat “The Vampyre”—dapat pula dijumpai di nyaris setiap kebudayaan. Dalam mitologi Hindu India, ada Vetala. Di China ada Ching Shih. Di Rumania terdapat Strigoi.

Vampir, masih seturut esai tadi, bisa jadi merupakan sosok yang berasal dari ingatan manusia sebagai primata. Ditinjau dari konteks kehidupan prasejarah, vampir memenuhi kebutuhan kanibalistik manusia. Setelah manusia hidup dalam peradaban yang lebih baik, sosok vampir dikekalkan sebagai penanda bahwa konstruksi sosial dengan seperangkat normanya mewajibkan manusia mengekang hawa nafsu.

Joker, sebagaimana vampir dalam pengertian Del Toro, menjadi menarik karena ia dianggap mampu mewakili sisi jahat manusia yang disembunyikan di balik ketiak normalitas. Namun utamanya, ia adalah simbol perlawanan yang muncul akibat hidup tidak berlaku adil. Lewat pemerian semacam itulah Joker menjadi pribadi yang anti-sosial, nihilistik, serta berhasrat memperlihatkan bahwa siapa saja bisa menjadi dirinya.

Sebagaimana yang dikatakan Joker kepada Batman dalam The Dark Knight: “Aturan moral mereka (masyarakat) adalah lelucon yang buruk. Lenyap sejak masalah muncul. Mereka hanya akan menjadi baik sebagaimana yang diinginkan dunia. Lihatlah, akan kuperlihatkan. Ketika segala hal berantakan, uh, orang-orang beradab ini akan saling memakan satu sama lain.”

Riset Tentang Cinta Psikopat

Melansir dari beritatagar, sebuah penelitian terbaru mengungkapkan, psikopat hanya tertarik pada mereka yang juga memiliki karakter serupa dengan mereka.

Penelitian tersebut menjelaskan psikopat pada umumnya, meskipun mereka manipulatif paling ulung, tetap akan memperlihatkan sifat-sifat yang membuat orang normal tidak tertarik untuk mendekati atau menjalani hubungan romantis.

“Temuan kami melihat bahwa psikopat akan tertarik dengan sesama psikopat,” jelas penulis studi pada jurnal yang dipublikasikan Journal of Personality.

“Sampai dengan saat ini, telah ada sedikit bukti sistematis mengenai pertanyaan apakah orang-orang secara khusus tertarik pada individu yang psikopat. Jika benar demikian, ciri-ciri dan kepribadian seperti apa yang membuat psikopat tertarik,” imbuhnya.

Tim peneliti melibatkan 696 partisipan. Mereka diminta untuk membayangkan seorang perempuan dan laki-laki yang muda dan rupawan.

Lalu, peneliti meminta para partisipan untuk membeberkan 70 karakter pasangan impian untuk membangun keluarga.

Peneliti menemukan, kebanyakan partisipan tanpa disadari memilih karakter yang dikelompokkan peneliti sebagai faktor pertama dari kepribadian psikopat, yakni menarik, manipulatif, dan kurang empati, ketimbang karakter psikopat faktor dua, yaitu impulsif dan tidak bertangggung jawab.

Namun, secara keseluruhan, peneliti melihat bahwa psikopat sama sekali tidak punya minat ketertarikan asmara.

Hal menarik diungkapkan oleh peneliti, partisipan yang cenderung memiliki sifat psikopat secara natural tertarik dengan orang yang juga berkarakter mendekati dengan mereka sebagai pasangan ideal.

Tambahan lainnya, peneliti menjelaskan, laki-laki cenderung mudah jatuh hati pada perempuan yang diduga berkepribadian psikopat ketimbang sebaliknya.

“Penemuan kami memperlihatkan preferensi tertarik pada pasangan psikopat cenderung lebih rendah. Namun, para psikopat memperlihatkan rasa tertarik pada mereka yang juga cenderung psikopat dalam hubungan asmara,” jelas penelitian yang ditulis oleh Ashley L. Watts dan rekan kerja dari Emory University, Amerika Serikat.

Para peneliti menegaskan, hasil temuan mereka ini belum bisa dibilang aktual karena masih membutuhkan studi tambahan serta penunjang lainnya.

Australian National University mengungkapkan bahwa tidak sulit untuk mendeteksi seorang psikopat di sekitar Anda.

Amy Davel dari ANU Research School of Psychology mengatakan, kelemahan psikopat adalah mereka kesulitan dalam membaca emosi berdasarkan ekspresi wajah.

Jadi, psikopat tidak cepat tanggap mengartikan ekspresi wajah saat seseorang merasa sedih dan takut. Sebab, pada dasarnya psikopat memang tidak mempunyai empati pada orang-orang di sekelilingnya.

Davel mengatakan, orang normal pastinya akan merasa sedih saat melihat atau mengetahui tentang sebuah tragedi. Bahkan, terdorong untuk membantu. Respons yang demikian tidak akan Anda temui pada orang yang memiliki spektrum psikopat yang tinggi.

Kelemahan psikopat, menurut hasil studi terkait, hanya terlihat pada ketidakmampuan menunjukkan atau mengidentifikasikan kesedihan dan ketakutan.

“Mereka ditemukan mampu membaca emosi lainnya, seperti amarah, bahagia, dan penolakan,” pungkas Davel mengenai hasil studi yang dipublikasikan dalam jurnal Personality Disorder: Theory, Research, and Treatment. (TRT/BRT/PBN)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *