SERANG, BANPOS – Pelayanan kegawatdaruratan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banten, yang sudah ditetapkan sebagai RS rujukan, dinilai mempersulit pasien yang membutuhkan pertolongan kegawatdaruratan.
Pasalnya, beberapa pasien yang datang ke RSUD Banten, tidak mendapatkan pelayanan yang cepat, tepat dan ramah, seperti yang tertera dalam komitmen pelayanan RSUD Banten.
“Ibu saya datang ke sini, karena sudah seminggu enggak mau makan, udah lemes. Karena sudah dini hari, dan kebetulan dekat dengan RS ini, makanya kami langsung bawa ke sini. Tapi kita ditolak, disuruh ke puskemas dulu, alasan nggak ada bed pasien IGD karena terpakai semua,” ungkap Amir, anak salah seorang pasien bernama Kamsiah (50), asal Kelurahan Curug, Kota Serang.
Diketahui, Kamsiah diboyong ke RSUD Banten, sebab tidak mau makan pada Jumat (29/11), pukul 04.05 dini hari. Oleh karena jarak tempuh dari rumah ke RSUD Banten lebih dekat daripada puskesmas, dan melihat kondisi sang ibu sudah tidak berdaya, keluarga berinisiatif membawa pasien dengan menggunakan mobil bertuliskan ‘Biro Umum’ ke RSUD Banten.
“Kita sudah bicara ke dokter yang bertugas, katanya enggak bisa ditangani di sini. Makanya diminta ke puskemas. Terlebih pakai SKTM, bukan pakai BPJS,” terangnya.
Menurut penuturan Amir, pihaknya tidak mendapatkan pelayanan yang ramah, apalagi cepat. Dokter yang bertugas saat itu, kata dia, menerangkan jika pasien semestinya diberikan penanganan kegawatdaruratan di ruang instalasi gawat darurat (IGD).
“Tapi kok malah dibiarin. Kasian ibu saya kalau tidak diberikan penanganan. Memang diperiksa, kondisi ibu saya masih di dalam mobil. Tapi tetap enggak bisa ditangani, katanya bed pasien habis,” geramnya seraya mengaku bahwa pihaknya diminta tidak boleh mengakui, jika sudah membawa sang ibu ke IGD RSUD Banten, oleh dokter jaga dr. Lis Lubis.
Berdasarkan pantauan wartawan BANPOS di lokasi, terdapat 3 kasur pasien tidak terpakai dan satu kursi roda yang berada di lantai satu RSUD Banten, tepatnya di antara mesin ATM dan lift. Namun, Dr Lis Lubis tetap menegaskan bahwa tidak ada kasur pasien yang kosong sehingga pasien tidak bisa ditangani.
Sebelumnya, sang dokter menyinggung soal pasien dengan menggunakan surat keterangan tidak mampu (SKTM) dan Badan Pelaksana Jaminan sosial (BPJS). Dari sini, pihak keluarga merasa terdiskriminasi dengan pelayanan saat itu.
“Dokternya sempat bilang, kalau pasien BPJS masih bisa ditangani. Ini kan pakai SKTM. SKTM itu kan dibiayai oleh pemerintah,” tutur Amir, seraya menirukan gaya sang dokter jaga.
Amir menegaskan, jika memang tidak ada sama sekali kasur pasien, jangan membandingkan pasien dengan pelayanan SKTM dan BPJS. Kalau memang tidak ada kasur pasien, sudah pasti meskipun datang pasien pengguna BPJS, tetap tidak bisa dilayani juga sebab tidak ada kasur pasiennya.
“Kalau memang gak ada kasur buat ibu saya, gimana kalau ada pasien darurat atau maaf saya katakan, ada pasien sekarat. Apakah mau didiamkan saja sampai hilang nyawanya?” ujarnya dengan nada tinggi.
Ia menyesalkan dengan pelayanan RSUD Banten yang dinilai pilih-pilih pasien. Amir juga mengaku, dirinya sempat diminta untuk ke puskemas terdekat untuk meminjam kasur pasien.
“Iyah, saya dan keluarga diminta ke puskemas. Suruh pinjam kasur pasien,” katanya.
Setelah berdebat selama satu jam lebih, Kamsiah akhirnya diterima oleh pihak RSUD Banten untuk ditangani lebih lanjut.
Untuk diketahui, berdasarkan penuturan beberapa pasien lainnya, sudah terjadi penolakan terhadap pasien sebanyak tiga kali. Pihak RSUD menolak dengan alasan yang sama, yaitu kehabisan tempat tidur pasien. (MUF)
Tinggalkan Balasan