Menyelaraskan Omnibus Law dan Kearifan Lokal

DALAM beberapa hari belakangan, mata dan telinga kita disibukkan dengan hiruk-pikuk kata Omnibus Law. Sebuah kata yang tergolong kurang familiar untuk kebanyakan orang Indonesia.

Mengacu pada Audrey O Brien (2009), omnibus law adalah suatu rancangan undang-undang yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang. Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu UU baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus.

Awalnya, perbincangan soal omnibus law hanya menjadi bahan perbincangan kalangan terbatas. Namun, beberapa hari ini pembahasannya menjadi lebih luas, seiring dengan gelombang protes yang dilakukan kelompok buruh terhadap Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka).

Melihat semangatnya, omnibus law digagas untuk mendorong terciptanya iklim investasi demi peningkatan ekonomi makro di Indonesia. Dari semangat itu, aturan yang selama ini dianggap tidak pro investasi akan diamandemen dan diatur dalam satu regulasi integral.

Semangat ini tentu harus mendapat dukungan dari seluruh masyarakat Indonesia. Peningkatan investasi, memang menjanjikan dinamisasi roda ekonomi dan menumbuhkan multiplier effects dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Masalahnya, perubahan-perubahan terhadap regulasi yang dianggap menghambat investasi juga menyasar aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah daerah, Peraturan Daerah (Perda). Aturan ini merupakan regulasi tingkat daerah yang biasanya memiliki kekhasan maupun kekhususan tersendiri yang disesuaikan dengan kultur masyarakat di daerah itu.

Melihat semangat penyusunan Omnibus Law oleh pemerintah pusat, bisa jadi kekhasan dan kekhususan yang selama ini sengaja dipelihara oleh sebuah daerah, teriliminasi oleh kepentingan investasi yang menjadi arwah dari penyederhanaan regulasi itu. Padahal, kekhasan dan kekhususan itu, bisa jadi merupakan nilai-nilai kearifan lokal yang dijaga demi kepentingan masyarakat di wilayah tersebut.

Kita bisa mengambil contoh Provinsi Bali, dimana investasi harus bisa menyelaraskan diri dengan budaya-budaya setempat. Karena budaya yang dipelihara itu merupakan sumber kekayaan Bali yang mampu mendatangkan ketenangan, kenyamanan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

Sebuah komunitas masyarakat, termasuk pemerintahannya, memang memiliki kepentingan untuk memelihara kearifan lokal yang dianut di daerahnya. Karena kearifan lokal merupakan aset sekaligus penjaga nilai-nilai kebaikan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.

Karenanya, kehadiran omnibus law perlu untuk mempertimbangkan kearifan-kearifan lokal yang berkembang di setiap daerah. Jangan sampai, demi kepentingan investasi, nilai-nilai luhur yang selama ini dianut sebuah komunitas masyarakat, dikesampingkan dan digusur oleh nilai-nilai yang bersifat materiil.

Kehadiran regulasi, tentu bertujuan untuk menjadi sistem dan acuan dalam tata kelola di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Karenanya, penyusunan omnibus law harus mempertimbangkan banyak aspek, termasuk kearifan-kearifan lokal yang berlaku di masyarakat.

Jangan sampai regulasi membuat masyarakat menjadi korban karena terlalu berpihak kepada kelompok-kelompok tertentu. Apalagi, kelompok-kelompok tertentu itu yang justru memiliki akses yang luas untuk melakukan pendekatan kepada para pembuat regulasi, dan memang berniat untuk mengambil keuntungan sepihak dari kehadiran omnibus law.(*)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *