Belasan Anak Kota Serang Jadi Korban ‘Predator’ Seksual

SERANG, BANPOS – Mengawali tahun 2020, DP3AKB Kota Serang telah menerima laporan kekerasan seksual pada anak mencapai 17 kasus. Bahkan dari 17 kasus itu, 15 diantaranya dilakukan oleh satu orang pelaku.

Kurangnya pengawasan orang tua terhadap anak-anaknya disebut sebagai salah satu akibat banyaknya kasus tersebut. Diduga pula para pelaku mengalami kelainan seksual karena berhasrat pada anak di bawah umur atau pedofilia.

Kepala DP3AKB Kota Serang, Toyalis, menjelaskan dari 17 kasus kekerasan seksual pada anak, 15 diantaranya berada di Kecamatan Serang dan 2 lainnya di Kecamatan Walantaka. Selain itu, Toyalis juga mengatakan bahwa terdapat 15 kasus yang dilakukan oleh satu pelaku.

“Pada Januari ini saja sudah ada 17 kasus pada anak, tentu ini luar biasa angkanya. Di awal tahun saja sudah sebanyak itu. Kalau tahun lalu ada 43 kasus kekerasan yang didominasi dengan kekerasan seksual pada anak sebanyak 35 kasus. Sisanya KDRT,” ujarnya, Selasa (28/1).

Menurutnya, tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak di Kota Serang menjadi teguran kepada para orang tua, agar dapat memantau anaknya supaya tidak menjadi korban selanjutnya.

“Tentu peran orang tua berikut pengawasannya juga sangat penting, karena pelakunya ini orang dekat dan memiliki kelainan,” tutur mantan Kepala Dinkes Kota Serang ini.

Untuk meminimalisir dan mencegah terulangnya kasus tersebut, pihaknya tekah membentuk kelompok masyarakat (Pokmas) dan perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat (PATBM) di tiap kelurahan.

“Jadi penanganannya cepat, begitu ada laporan langsung ditangani. Tapi yang penting ini pencegahannya. Kami juga melakukan roadshow dan sosialisasi, karena kebanyakan pelaku merupakan orang terdekat,” katanya.

Kasi Pemenuhan Hak Anak pada DP3AKB Kota Serang, Ati Rohayati, mengaku dengan dibentuknya Pokmas dan PATBM, maka data kasus kekerasan seksual terhadap anak kemungkinan bertambah jumlahnya.

“Bukan karena semakin buruk keadaan, melainkan karena korban sudah berani melaporkan. Tapi tentunya kami mengharapkan tidak ada lagi kejadian-kejadian seperti itu,” ucapnya.

Ia juga mengatakan bahwa berdasarkan data tahun lalu dan tahun ini, korban mayoritas didominasi anak di bawah umur dengan kisaran setingkat TK dan SD.

“Banyaknya TK dan SD, karena mereka lebih mudah untuk diiming-imingi dengan berbagai jajanan. Seperti kasus baru-baru ini yang terjadi, itu korban diberikan permen dan jajanan kesukaan mereka,” katanya.

Sementara, Kasi Perlindungan Perempuan dan Anak, Shinta Damayanti, mengatakan pihaknya akan melakukan pendampingan pada korban, mulai dari pelaporan kepada kepolisian, pemeriksaan visum hingga ke pengadilan.

“Kami dampingi sampai benar-benar tuntas dan selesai. Bahkan, kami juga bekerjasama dengan psikologi untuk penanganan trauma pada korban,” tandasnya. (DZH/AZM)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *