PANDEMI Covid-19 yang sedang melanda Indonesia membuat instansi pendidikan mengambil kebijakan untuk menggelar pembelajaran secara daring.
Termasuk juga salah satu PTN yang ada di Kota Serang, yakni Untirta. Melalui surat edaran Rektor, Untirta secara resmi memperpanjang perkuliahan daring hingga akhir semester.
Tak ayal, kebijakan tersebut membuat banyak mahasiswa Untirta yang pulang ke kampung halamannya. Sebab, banyak dari mereka yang merasa bahwa kebutuhan hidup di perantauan lebih besar ketimbang di rumah.
Selain itu, rasa jenuh juga melanda mereka. Sebab, mereka setiap waktu hanya bisa berdiam diri di indekos mereka.
Namun ternyata tidak semua mahasiswa pulang kampung. Beberapa dari mereka masih bertahan di Kota Serang.
Alasannya, mereka ingin mengikuti imbauan pemerintah untuk tidak pulang kampung terlebih dahulu. Selain itu, beberapa juga ada yang terpaksa karena kampung halaman mereka menerapkan karantina wilayah.
Seperti yang dialami oleh Arinta Ronauli Sinaga. Mahasiswi jurusan Pendidikan Matematika Untirta semester dua ini terpaksa tetap bertahan di Kota Serang, lantaran kampung halamannya yakni Kabupaten Fak-Fak, Provinsi Papua Barat, diberlakukan karantina oleh warga masyarakat setempat.
“Sebenarnya pada waktu kebijakan perkuliahan dari pertama itu masih bisa pulang. Tapi kan dari pihak kampus menyebutkan perkuliahan daring dilakukan hanya dua minggu saja, jadi saya tidak pulang terlebih dahulu,” ujar mahasiswi yang memiliki panggilan Kapas ini, Minggu (12/4).
Ketika surat edaran terkait perpanjangan masa kuliah daring keluar, ia pun sempat ingin pulang ke kampung halamannya.
Namun ternyata, masyarakat setempat melakukan karantina dengan inisiatif sendiri. Mereka memblokir bandara, sehingga penerbangan dari luar Papua tidak bisa masuk.
“Akhirnya sampai sekarang saya masih bertahan di Kota Serang. Saya indekos di sebuah rumah dekat kampus Untirta Pakupatan. Sesekali supaya gak bete, datang ke sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Mapalaut. Disana ketemu sama teman-teman organisasi,” terangnya.
Meskipun ia juga memaklumi apa yang dilakukan oleh masyarakat Papua Barat untuk melakukan karantina wilayah mereka, namun ia tetap mengaku sedih.
Sebab, disaat kebanyakan orang berkumpul dengan keluarganya pada saat adanya kebijakan pembatasan sosial, ia justru harus sendirian di perantauan.
“Kalau dibilang sedih sih, pasti sedih. Karena kan saat ini orang-orang semua kumpul dengan keluarga masing-masing. Tapi yah saya sendiri di sini. Meskipun masih ada mahasiswa dan teman saya yang juga tetap bertahan di Kota Serang untuk mengikuti imbauan pemerintah agar tidak mudik,” jelasnya.
Ia pun sedikit menceritakan kisah salah satu rekannya yang ditolak warga sesampainya di Bandara. Usai ditolak, rekannya melakukan aksi nekat dengan menyebrang hingga ke Sorong menggunakan speed boat menuju Kabupaten Fak-Fak.
Namun warga tetap menolak kedatangannya dengan alasan isolasi mandiri wilayah tersebut.
“Sorong itu kan tempat terakhir untuk menuju Kabupaten Fak-Fak. Sampai di sana heboh dan langsung dikarantina. Bener-bener enggak boleh masuk ke Fak-Fak,” ujarnya.
Meski demikian, ia tetap melakukan kegiatan perkuliahan daring seperti biasa di indekos dirinya. Melakukan kegiatan lainnya seperti mengerjakan tugas dan aktivitas sehari-hari berkontak melalui aplikasi perpesanan dan media sosial.
“Kalau untuk kebutuhan memang masih dikirim oleh keluarga di Fak-Fak. Tapi yah dengan keadaan seperti ini, rasanya tentu berbeda seperti hari-hari biasa,” ucapnya.
Kapas pun berharap, pandemi Covid-19 dapat segera usai. Sebab, ia mengaku sudah merasa rindu dengan kampung halamannya. Terlebih saat ini pun dirinya tidak leluasa untuk bepergian.
“Sedih, yang lain bisa kumpul dengan keluarga, sedangkan saya sendirian di sini. Masak sendiri, apa-apa sendiri. Semoga pandemi ini dapat segera selesai dan kita bisa kembali hidup normal seperti semula. Kangen juga kan kumpul bareng teman-teman kampus,” tandasnya. (DZH/AZM)
Tinggalkan Balasan