Dibalik wabah Covid-19 yang melanda dunia saat ini terdapat hikmah yang menyadarkan kita tentang tanggung jawab pendidikan.
Dalam keyakinan Islam dijelaskan bahwa tanggungjawab pendidikan anak terletak pada keluarga di Rumah, terutama dalam menanamkan iman dan takwa serta akhlak mulia. Orangtua waib menanamkan iman dan takwa kedalam hati sanubari seluruh anggota keluarga, sehingga semua terbebas dari api neraka.
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (Qs. At-Tahrim [66]: 6).
Dalam tradisi Islam, rumah adalah tempat tinggal yang nyaman untuk berbagi cinta dan kasih sayang, belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Pendidik di rumah adalah orangtua –khususnya ibu– bersama anggota keluarga lainnya. Ibu adalah orang pertama yang memberikan sentuhan kasih sayang, mulai dari mengandung, melahirkan dan menyususi selama dua tahun sempurna, hingga mengasuhnya dengan interaksi yang bersifat edukatif.
Maka, sangat tepat jika ibu disebut sebagai madrasah utama sebagaimana diungkapkan Hafezd Ibrahim “Ibu adalah madrasah, apabila dipersiapkan dapat membentuk bangsa yang baik lagi kuat”.
Dalam bahasa Arab, “ibu” dilambangkan dalam kata “Umm”. Kata “Umm” ini seakar kata dengan kata “Imam” yang menggambarkan konsep kepemimpinan dan kata “Ummah” yang menggambarkan kesatuan sosial atau bangsa.
Melalui pendekatan kebahasaan ini dapat ditarik pemahaman, bahwa ibu (“Umm”) memiliki peran strategis sebagai madrasah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa (“Ummah”) yang bermartabat, dengan kepemimpinan (“Imam”) masa depan yang memiliki integritas watak, ketajaman intelektual dan kreativitas yang tinggi, serta memiliki jiwa leadership yang mantap dan penuh percaya diri.
Di sinilah peran strategis keluarga khususnya ibu dalam mewujudkan doa berikut:
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Furqan [25]: 74).
Berkenaan dengan posisi ibu dan wanita pada umumnya tersebut ada pepatah yang menyatakan: “Wanita adalah tiang negara”.
Masa depan suatu bangsa dipengaruhi oleh kualitas perempuan yang bertanggung jawab mendidik anak-anak yang mereka lahirkan, dan ditentukan oleh seberapa besar komitmen mereka mencurahkan energi dalam memerankan fungsi pengasuhan dan pendidikan anak itu secara sungguh-sungguh dan istiqomah.
Peran mulia ini tentu tidaklah dapat diberikan kepada “sembarang wanita” karena wanita yang tidak bertanggung jawab hanya akan melahirkan anak-anak yang terlantar, tunas bangsa yang tidak kenal aturan dan keadaban.
Sehubungan dengan itu, Islam sejak awal telah memberikan nasihat kepada para pemuda untuk memilih pasangan hidup secara selektif.
Faktor agama menjadi pertimbangan penting dalam memilih pasangan hidup. Indikator kualitas dari faktor agama ini dalam pandangan penulis meliputi: (1) kesehatan jasmani dan rohani, (2) beriman dan bertakwa kepada Allah swt. serta berbudi luhur, (3) cerdas dan memiliki komitmen dalam pendidikan anak, (4) memiliki pengetahuan yang memadai tentang ilmu jiwa dan pendidikan anak. Hanya perempuan yang memiliki komitmen kepada agama, yang dapat dipercaya dan diharapkan dapat membina generasi Islam masa depan.
Selain menekankan faktor agama sebagai landasan, Islam mengharuskan suami agar sepadan (kufu) dengan isterinya. Karena perkawinan adalah hubungan di antara dua keluarga bukan hanya antara dua pribadi, maka mayoritas ahli fikih mensyaratkan kesepadanan (al-kafa’ah) suami dengan keluarga isteri agar dapat langgeng pergaulan di antara keluarganya.
Dengan dasar pilihan itu, keluarga dapat diharapkan bertanggung jawab mendidik anak menjadi keluarga sakinah.
“Mereka (isteri) adalah pakaian bagimu dan kamu (suami) pun adalah pakaian bagi mereka”. (QS. Al-Baqarah [2]: 187).
Tali kasih yang diikat dalam akad nikah ini akan langgeng ketika pasangan suami-isteri, saling memahami hak dan kewajiban mereka, dan mampu bekerja sama dalam menunaikan kewajiban bersama mendidik anak.
Rumah dirancang secara sadar, teratur dan terarah sebagai madrasah, home-based learning di mana anak belajar 24 jam: mulai bangun tidur sampai berangkat tidur kembali.
Mulai bangun tidur pada waktu sahur di sepertiga malam; sholat subuh disertai tadarus Al-Qur’an, dhuha sebelum bekerja dan istirahat saat dzuhur, dilanjutkan dengan refleksi pada waktu ashar hingga maghrib. Kemudian tidur sesudah isya’.
Keteraturan ini, diharapkan mampu menumbuhkan pola hidup sehat, sopan, percaya diri, berani, kreatif, dan bijaksana.
Keunggulan pendidikan anak di rumah adalah belajar tanpa instruksi, konstekstual, tematik, dan nonskolastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu. Anak bersama orangtua dapat belajar sesuai minat, bakat, dan gaya belajar masing-masing.
Pendidikan keluarga kepada anak dapat dilakukan melalui pembiasaan, pendelegasian, magang dan pemberian tanggung-jawab untuk melaksakan tugas tertentu mewakili keluarga. Tugas dapat berupa pekerjaan di rumah, ladang, bengkel kerja, laboratorium, ruang kesenian, perpustakaan.
Pendidik di Rumah tidak hanya dilakukan oleh orangtua. Orangtua dapat mengundang guru privat untuk mengajar anak-anaknya, sebagaimana para bangsawan pada zaman dahulu. Wabah Covid-19 mengingatkan kita tentang akar teologis belajar di rumah yang berlaku sejak dahulu.***
Tinggalkan Balasan