DALAM Islam, ada prinsip “qulil haq walau kaana murran”, yang bermakna bahwa “sampaikanlah kebenaran walau terasa pahit”. Dalam bahasa saya, prinsip ini dikenal dengan jargon idealisme.
Prinsip ini sejatinya mengandung pertentangan dengan adagium bahwa “tidak setiap yang benar adalah baik”. Ada banyak situasi dimana kita merasa ewuh pakewuh saat akan menyampaikan kebenaran, karena khawatir dimaknai salah, atau menimbulkan ketersinggungan.
Prinsip diatas, merupakan sikap seseorang yang menyampaikan atau melakukan pembelaan atas sebuah perkara karena benar. Bukan membela karena dekat, sahabat, kerabat, seetnis, segolongan, bahkan seiman, atau seagama.
Benar itu, bukan otoritas moral yang ada pada agama tertentu. Benar itu, “ada” dalam tiap agama. Eit, jangan dulu ngegas! Ini tidak lantas bermakna menganggap bahwa setiap agama adalah benar. Itu beda!
Pluralisme itu bukan meyakini bahwa setiap agama itu sama, dan dengan demikian semuanya benar. Tapi “meyakini seluruhnya akan benarnya agama sendiri, dan mengakui ada kebenaran pada agama lain”. Ada lho!
Poros kesamaan yang terdapat pada ajaran lintas agama itu adalah kebenaran berdasarkan kemanusiaan. Ramah dan menolong misalnya. Dua sifat ini bukan hanya perkara baik pada ajaran agama tertentu. Saya yakin, semua agama punya pandangan sama; bahwa ramah dan menolong adalah sifat baik.
Dengki dan dzalim adalah perbuatan buruk. Saya sekali lagi yakin, keduanya dianggap buruk bukan hanya oleh agama tertentu. Tapi semua agama sepakat mengamininya; bahwa dengki dan dzalim adalah buruk.
Jadi, yang menyatukan sikap karena kesamaan cara pandang adalah karena keberpihakan pada kebenaran, yang ada pada tiap ajaran agama. Bukan keberpihakan kepada kebenaran, karena faktor kesamaan agama.
Dengan begitu, tidak lantas karena seorang melakukan kesalahan, karena faktor seagama, lalu tetap dibela. Disitulah makna qulil haq walau kana murran mendapatkan tempatnya.
Atau sebaliknya. Jangan karena seseorang berbeda agama dengan kita lalu melakukan hal yang benar, baik menurutnya maupun menurut kita, lantas tidak mendapatkan pembelaan.
Bila “pokoknya, mau benar atau salah, kalau seagama, kita bela”, atau “pokoknya, bila dilakukan oleh orang yang tidak seagama, jangankan yang salah, yang benarnya saja kita hantam”, itu bisa ambyar.
Itulah kenapa kita kerap dihadapkan pada satu situasi, dimana ada orang yang dianggap lebih membela orang beda agama, dibanding pembelaan bagi yang seagama, lalu mengerenyitkan dahi, seperti hampir habis pikir.
Lalu muncullah anggapan dan stigma nyinyir pada kawan seiman, dan anggapan memuja pada orang beda iman. Padahal, bila kita sportif, gentleman, dan keberpihakan pada kebenaran, sejatinya perbedaan lintas Iman bukan jadi hambatan.
Gejala itu terjadi akibat konsepsi “pembelaan” dimaknai sepanjang masih dekat, sahabat, kerabat, segolongan, dan seiman. Pembelaan bukan atas dasar kebenaran.
Saya, kerap menyampaikan pembelaan atas orang yang seagama, karena menurut saya, dia benar. Saya, kadang juga memberikan pembelaan atas orang yang beda agama, karena menurut saya, dia benar. Jadi, pembelaan yang saya lakukan bukan karena faktor kesamaan iman, tapi karena kebenaran.
“Qulil haq walau kaana murran! Kebenaran itu pahit, Jenderal! Walau demikian, terpaksa aku sampaikan. Demi kebaikan”.
Wallahualam..
Tinggalkan Balasan