GRUP WhatsApp yang saya ikuti lagi ramai oleh tayangan video Kapten Ruslan Buton. Statement yang bersangkutan initinya adalah meminta Presiden mundur dari jabatannya.
Dia, yang mengaku sebagai Panglima Serdadu Eks Trimatra Nusantara, beralasan bahwa saat ini tata kelola negara sulit dicerna. Kebijakan pemerintah dia anggap melukai kepentingan rakyat.
Selain itu dia memandang ada ancaman atas lepasnya kedaulatan NKRI. Dia anggap negara dalam kondisi amburadul. Lalu menuduh nahwa Presiden tidak memiliki kemampuan.
Tidak hanya itu. Dia menduga ada bisikan kepentingan, Presiden tersandera kepentingan elit politik. Atas dasar itulah dia meminta agar Presiden mengundurkan diri.
Lebih jauh dia memandang bahwa Presiden belum memiliki kemampuan, yang menyebabkan kebijakan banyak yang jadi blunder.
Menurutnya, bila Presiden tidak mundur, akan ada gelombang revolusi rakyat, yang akan memburu para pengkhianat. Pelengseran Orde baru dia jadikan sebagai contoh.
Kapten, kita ini negara besar dengan demokrasi sebagai model pemerintahan dan telah menjadi kesepakatan bersama para pendiri bangsa.
Dalam model demokrasi, pemimpin itu dipilih berdasarkan suara terbanyak. Siapa yang lebih banyak dipercaya oleh rakyat, maka dialah yang jadi pemimpin.
Satu orang satu suara. Suara rakyat sama. Tidak memandang apakah dia pejabat negara ataukah rakyat jelata. One man on vote.
Bahwa demokrasi itu memiliki kelemahan, itu benar. Diantaranya tidak setiap yang terpilih adalah yang paling mumpuni.
Sejarah membuktikan, apa kurangnya Amin Rais saat dia maju sebagai calon Presiden? Sebagai tokoh reformasi yang digadang bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Tapi faktanya, rakyat lebih memilih yang lain. Ini menunjukkan bahwa kehendak rakyat mayoritas tidak bisa dikalahkan dengan dalih bahwa calon tertentu lebih berkualitas. Itulah resiko demokrasi.
Saya kira tidak elok bila hanya karena persoalan yang menurutnya bermasalah, lantas meminta Presiden untuk mundur dari jabatannya.
Dia hasil pilihan mayoritas lewat Pemilu yang sah. Biarkan Presiden bekerja dengan baik. Rentang lima tahun adalah baginya untuk bekerja mengelola negara.
Bahwa ada persoalan dalam pengelolaan, ada banyak tersedia saluran dan cara untuk menyampaikan masukan, bahkan kritikan. Bukan malah menyuruh mundur! Cara konstitusional untuk mengakhirinya adalah Pemilu.
Alih-alih menyuruh mundur diklaim sebagai langkah ksatria, malah bisa bermakna pecundang. Apalagi menyertainya dengan statement bernada ancaman; revolusi rakyat. Orasi itu bisa berubah makna menjadi provokasi.
Lebih dari setengah penduduk negeri ini yang punya hak pilih memilihnya saat Pemilu lalu. Bila menggunakan ancaman dengan revolusi rakyat, tentu akan berhadapan dengan rakyat lainnya.
Terakhir, bila menganggap bahwa kinerja pemerintah sekarang berpotensi terhadap perpecahan bangsa, saya kira justeru statement yang bersangkutan yang bisa memantiknya.
Sabarlah! Masih ada waktu empat tahun ke depan, bila ada niat untuk mengganti pemerintahan. Menggantinya lewat Pemilu. Bukan mengganti dengan cara menyuruh mundur!
Eh, dengar kabar, hari ini yang bersangkutan dijemput aparat ya? Apakah ini menandakan bahwa rezim dzolim? Terserah anda memaknainya!
Tinggalkan Balasan