SERANG, BANPOS – Demi menghindari celah hukum , Gubernur Banten dan DPRD Banten melanjutkan pembahasan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Banten. Dua Kementerian, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Dalam Negeri mengultimatum Pemprov agar segera mengesahkan Raperda ini menjadi Perda. Namun, arus penolakan terhadap Raperda yang dikebal dengan sebutan Raperda Zona Pesisir ini tetap kencang. Simalakama buat Gubernur Banten?
Berdasarkan informasi dihimpun, DPRD serta Pemprov Banten sepakat membahas Raperda Zona Pesisir untuk menghindari jeratan hukum yang akan berakibat kepada Gubernur Banten Wahidin Halim (WH). Karena akan banyak kerugian negara jika dua Raperda ini tidak segera disahkan.
Untuk Raperda RZWP3K, akan berpotensi pada tindakan pembiaran terhadap kegiatan eksploitasi sumber daya laut seperti tambang pasir.
Surat Mentri KKP Edy Prabowo dikeluarkan awal tahun lalu dengan nomor B-16/MEN-KP/I/2020 prihal Tindaklanjut RZWP3K Provinsi Banten, dan surat dari Dirjen Bina Pembangunan Daerah, Muhammad Hudori atas nama Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, bernomor 523/1479/Bangda Perihal, Percepatan Penetapan Raperda tentang RZWP3K Provinsi Banten.
Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Banten Madsuri, beberapa waktu yang lalu mengatakan, setelah mendapat tembusan surat peringatan tersebut, dirinya langsung berkoordinasi dengan tim serta OPD terkait untuk melakukan kelanjutan pembahasannya.
“Ini kan program yang dibahas oleh Pansus pada periode dewan sebelumnya yang belum selesai. Oleh karena itu, kemarin kami sudah melakukan koordinasi dengan OPD terkait untuk mengevaluasi kembali, sudah sejauh mana pembahasan Raperda ini,” katanya.
Dari hasil koordinasi tersebut, lanjutnya, pembahasan masalah ini ternyata sudah hampir selesai semua, baik itu tahapan naskah Akademis, kajian akademis maupun penentuan titik koordinatnya. Sehingga, kini prosesnya sudah ada di Badan Musyawarah (Bamus) DPRD Banten.
“Bapemperda hanya fasilitasi saja antara dewan dengan Pemprov. Untuk masalah teknis lanjutannya ada di Bamus dan Pimpinan,” ujarnya.
Wakil Ketua DPRD Banten, Nawa Said Dimyati mengaku pembahasan Raperda Zona Pesisir dikebut bersama Raperda penambahan modal Bank Banten karena adanya pembatasan waktu dari pusat, serta untuk mengejar target di APBD perubahan untuk penambahan penyertaan modal Bank Banten.
Untuk Raperda RZWP3K, lanjut Cak Nawa, harus dipercepat karena ada batas waktu dari Kementerian KKP sampai awal tahun 2021. Jika dalam waktu itu tidak bisa selesai, maka konsekuensinya Pemprov Banten harus mengulangnya dari awal lagi.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Banten Muhtarom mengatakan, pihaknya sudah menyelesaikan terkait seluruh aspek teknis maupun administratif berkenaan dengan Raperda RZWP3K ini. Namun karena pembahasan di dewannya tidak sampai selesai, untuk itu pihaknya harus menunggu kelanjutan pembahasan pada anggota dewan yang baru ini.
“Sudah. Sudah selesai semua. Termasuk titik koordinat dan batasan-batasan wilayahnya,” katanya.
Terpisah, kelanjutan pembahasan Raperda Zona Pesisir juga kembali memantik penolakan. Saat Raperda ini dibahas oleh anggota DPRD Banten periode sebelumnya, gelombang aksi unjuk rasa dari aktivis lingkungan hidup dan kelompok masyarakat pesisir terus mengepung DPRD Banten untuk menyuarakan penolakan raperda tersebut.
Ketika pembahasan raperda dibuka kembali, Aliansi Masyarakat Untuk keadilan (AMUK) Bahari Banten, dengan melayangkan surat protes yang disampaikan kepada Ketua DPRD Provinsi Banten serta seluruh ketua fraksi.
Dalam surat tersebut, AMUK Bahari Banten menilai bahwa Gubernur Banten tidak menjalankan pasal 96 UU nomor 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam mengusulkan Raperda RZWP3K.
Selain itu, mereka menilai bahwa Raperda RZWP3K akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan nelayan tradisional dan nelayan kecil yang berada di seluruh pesisir Provinsi Banten. AMUK Bahari Banten pun menolak penyampaian nota Gubernur atas usulan Raperda yang disampaikan pada Sabtu (11/7).
Koordinator AMUK Bahari Banten, Aeng, mengatakan bahwa selama ini draft Raperda tersebut masih berisi perampasan ruang hidup masyarakat bahari. Apalagi dalam penyusunannya, Gubernur sebagai pengusul Raperda tidak melibatkan masyarakat pesisir untuk memberikan masukan baik lisan maupun tulisan.
“Gubernur dalam menyusun draf tersebut tidak melibatkan masyarakat nelayan untuk memberikan masukan baik lisan maupun tulisan. Padahal hal tersebut diatur pada pasal 96 ayat 1 sampai dengan ayat 4 UU No 11 tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” ujarnya.
Aeng juga menegaskan bahwa Raperda tersebut sangat sulit untuk diakses oleh masyarakat nelayan dan komunitas-komunitas nelayan. Bahkan hingga saat ini pun, Aeng mengatakan bahwa Pemprov Banten belum pernah menggelar rapat dengar pendapat dengan masyarakat pesisir.
“Gubernur Banten melalui Pemprov Banten belum pernah melakukan rapat dengar pendapat, kunjungan kerja, sosialisasi dan atau seminar, lokakarya dan atau diskusi terkait rancangan peraturan daerah ini kepada masyarakat nelayan dan komunitas-komunitas nelayan sebagai masyarakat terdampak,” katanya.
Pihaknya pun menjabarkan fakta-fakta yang bisa dijadikan pertimbangan dan alasan kenapa dan mengapa mereka memprotes rencana penyampaian nota Gubernur Banten atas usulan Raperda RZWP3K.
Petama, ia menjelaskan bahwa dalam dinamika konstitusi dan rencana strategis pembangunan baik nasional maupun daerah terkait RZWP3K, tidak melibatkan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dalam penyusunannya.
“Rencana zonasi merupakan rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin,” ucapnya.
Kedua, ia mengatakan bahwa usulan Raperda RZWP3K Provinsi Banten patut dipertanyakan apakah akan memberikan ruang yang adil untuk pemukiman nelayan. Padahal, provinsi ini memiliki rumah tangga nelayan tradisional sebanyak 9.235, yang terdiri dari 8.676 keluarga nelayan tangkap dan 559 keluarga nelayan budidaya. “Inilah bentuk ketidakadilan sekaligus bentuk perampasan ruang yang akan dilegalkan melalui Perda,” jelasnya.
Yang ketiga yakni alokasi ruang untuk perikanan tangkap berada di titik-titik terjauh yang kecil kemungkinan tidak dapat diakses oleh nelayan tradisional, dengan menggunakan kapal di bawah 10 Gross Tonnage (GT).
Dengan memperhatikan informasi alokasi ruang tersebut, ia mengatakan bahwa sangat terlihat arah pembangunan laut di provinsi Banten yang berorientasi pembangunan infrastruktur melalui Kawasan Strategis Nasional (KSN), sekaligus pembangunan ekstraktif-ekspolitatif melalui proyek pertambangan. Belum lagi alokasi ruang untuk proyek reklamasi yang berada di 54 kawasan pesisir Banten.
“Proyek-proyek ini dipastikan akan menggusur ruang hidup masyarakat pesisir. Kami menolak RZWP3K disampaikan dalam Nota Gubernur. Kami meminta DPRD Banten sebagai reprentasi rakyat yang bekerja melakukan fungsi pengawasan dan legislalasi untuk menolak penyampaian nota Gubernur terkait Raperda RZWP3K tersebut, sebagai bentuk melindungi rakyat nelayan dari upaya perampasan ruang laut sebagai ruang hidup milik nelayan,” tegasnya.
Ia juga menegaskan bahwa Raperda RZWP3K pernah diajukan Gubernur Banten sebelumnya pada DPRD Banten periode 2014-2019, dianggap cacat yuridis oleh pihaknya karena tidak menyertakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), yang diamanatkan dalam peraturan menteri Kelautan dan perikanan.
“Selain itu, Gubernur juga tidak melakukan konsultasi publik sebagaimana diatur dalam Pasal 49 huruf (e) dan Pasal 50 ayat (6) Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 34/Permen-Kp/2014 Tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil,” ujarnya.
Ia pun menuding bahwa Raperda RZWP3K didorong hanya untuk melegalisasi investasi yang terlanjur ada dan berkonflik dengan masyarakat. Usulan Gubernur Banten atas Raperda RZWP3K Provinsi Banten seyogyanya ditolak DPRD karena bertentangan dengan Undang-Undang lainnya.
“Seperti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Ketiadaan ruang untuk pemukiman nelayan yang bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, UU No. 32 tahun 2009, Putusan MK No. 3 Tahun 2010, serta UU nomor 1 tahun 2014 yang melarang penambangan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,” terangnya.
Menurutnya, Negara pun seharusnya menjamin implementasi putusan MK No. 3 Tahun 2010 yang mengakui Hak Konstitusi Masyarakat Bahari. Mulai dari hak melintas dan mengakses laut, hak untuk mendapatkan perairan bersih dan sehat, hak untuk mendapatkan manfaat dari sumber daya kelautan dan perikanan serta hak untuk mempraktikkan adat istiadat dalam mengelola laut yang telah dilakukan secara turun-menurun.
“Negara harus menghentikan segala bentuk proyek yang ekstraktif dan eksploitatif di pesisir dan pulau-pulau kecil, serta menjamin penuh kedaulatan masyarakat bahari. Negara juga harus menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan intimidasi yang dilakukan oleh oknum aparat terhadap masyarakat,” katanya.
Dengan demikian, ia meminta kepada pimpinan DPRD Provinsi Banten dan seluruh ketua Fraksi-fraksi yang ada di DPRD Banten, untuk bersama-sama rakyat menolak Nota Gubernur Banten, atas inisiasi Raperda RZWP3K yang dinilai dapat meminggirkan hidup nelayan dalam haknya mengelola ruang laut sebagai ruang hidup milik nelayan.
Terpisah, Gubernur Banten, Wahidin Halim (WH), dalam penyampaian nota pengantar mengungkapkan bahwa Raperda RZWP3K merupakan amanat pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa provinsi diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya laut yang ada di wilayahnya.
“Serta, amanat Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 pasal 7 ayat (3) tentang Pengelolalaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014. Pemerintah daerah wajib menyusun rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil paling jauh 12 (duabelas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan,” ujarnya.
Dijelaskan WH, RZWP3K berfungsi sebagai dokumen formal perencanaan daerah, kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, memiliki keterkaitan dengan kebijakan perencanaan pembangunan nasional dan kebijakan penataan ruang, untuk memberikan kekuatan hukum dalam pemanfaatan ruang laut, alat sinergitas pemanfaatan spasial, acuan pemberian izin pemanfaatan ruang, rujukan konflik ruang laut, serta perisai legitimasi peruntukan ruang laut.
Pemprov Banten, kata WH, dalam penyusunan Raperda ini mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan perikanan Nomor 23 Tahun 2016 dan surat Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor B-16/Men-KP/I/2020 tentang Tindak Lanjut Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Banten.
“Penyelesaian Raperda ini juga mendapatkan atensi dari Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 523/1479/BANGDA, perihal percepatan penetapan Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Proviinsi Banten,” tandasnya. (DZH/ENK)
Tinggalkan Balasan