Democratic Policing: Polisi dan Demonstran

Oleh Zunnur Roin
Sekretaris Jenderal PB HMI MPO

Pemolisian Demokratis (Democratic Policing) patut menjadi konsekuensi agenda reformasi Polri, suatu agenda reformatif terhadap postur Polri dalam sistem politik NKRI melingkupi kultur personil Polri dalam pelaksanaan keamanan nasional. Sederhananya begitulah titik tolak konsep pemolisian yang di urai oleh Tito Karnavian dan Hermawan Sulistyo dalam buku yang mereka tulis lebih dari 400 halaman, terbit di tahun 2017 dengan judul Democratic Policing. Kritik dan perdebatan konseptual sempat mencuat, hingga merangsang aspek historis ABRI (TNI/Polri) dan skeptis profesionalisme terhadap institusi maupun personil Polri itu sendiri.

Fakta reformasi Polri sebagai anak kandung reformasi adalah keniscayaan demokratisasi Indonesia. Yang sebelumnya pemungsian institusi keamanan dan pertahanan Negara oleh rezim Orde Baru dibingkai sebagai power play pada banyak aspek, melaui pola yang otoriter. Dengan demikian reformasi polri pada tataran nilai demokratis mewajibkan penyelenggaraan keamanan nasional berbasis civilian, yang menjadi paradigma utuh konsep Democratic Policing tersebut. Disokong dengan argumentasi modernitas serta diintegrasikannya Polri dalam bangunan politik dan hukum yang dicita-citakan Reformasi. Mengutip artikel di Media Indonesia yang berjudul Polri,politik dan polemik democratic policing (https://bit.ly/2HkOM8I), menyebutkan bahwa penghormatan terhadap HAM, pelayanan yang adil dan nondiskriminasi, penggunnaan kekerasann yang minimal, serta Polri yang akuntabel dan profesional ialah aspek-aspek yang penting untuk terinternalisasi dalam institusi Polri.

Manifestasi Democratic Policing semakin tampak dalam butir-butir Tagline Promoter (Profesional,Modern,Terpercaya),yang salah satunya menjadi jargon praktik penyelenggaran keamanan nasional oleh Polri, pastinya terbangun sebagai nilai yang berpayung Hukum. Artinya,atas nama Hukum praktik Promoter punya ruang pelaksanaan yang mengikat. Meskipun dalam opini publik, pelaksanaan supremasi hukum oleh Polri selalu diwarnai pesimistis.

Sebagai aktor sipil yang saaat ini aktif di organisasi gerakan mahasiswa, penulis ingin mengulik problem klasik Demonstran dan Polisi ikhwal penyampaian pendapat dimuka umum, yang syarat dengan pelanggaran nilai-nilai HAM. YLBHI dalam siaran pers yang dikutip dari situs LBH Yogyakarta (https://bit.ly/3ckm4Ao) mencatat, bahwa aparat Kepolisian merupakan aktor paling dominan dalam kasus pelanggaran fiar trial pada tahun 2019, terdapat 1.847 korban dari 160 kasus. Angka yang sangat tinggi tersebut berkaitan erat dengan aksi-aksi massa yang terjadi sepanjang 2019. Maka menarik kemudian jika tema Democratic Policing direfleksi, disaat banyaknya catatan-catatan buruk pemolisian, terkhusus hubungannya dengan massa aksi.

Sebelum tulisan ini tayang, problem klasik ini menimpa kader HMI MPO Cabang Bogor, saat aksi demonstrasi didepan kantor Bupati Kabupaten Bogor pada tanggal 17 september 2020 lalu. Beberapa demonstran mengalami perlakuan represif oknum Polri dan Satpol PP Kabupaten Bogor. Di Sulawesi Tenggara, meninggalnya dua Mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) pada gerakan Reformasi Dikorupsi september 2019 lalu (Randi dan Muh. Yusuf Kardawi) menyulut solidaritas Mahasiswa Kendari, dan menggelar Aksi pada 26 September 2020. Bentrokan antara massa aksi dengan aparat kepolisian tak terhindari, hingga Polisi mengerahkan Helikopter untuk membubarkan massa. Selanjutnya, beredar video ketua umum HMI MPO Cabang Serang di seret dan diperlakukan tidak manusiawi saat aksi bersama puluhan mahasiswa lainnya dalam peringatan HUT Provinsi Banten ke 20 di kantor DPRD Banten (4/10/2020). Secara umum, peristiwa-peristiwa tersebut melulu dibenarkan atas nama Hukum, ragam macam dalil regulasi yang lentur bahkan mengikat di pakai sebagai landasan tindakan-tindakan pengendalian massa yang berujung represif tersebut.

Demonstrasi dan Regulasinya

Langkah demonstrasi menjadi pilihan demokratis masayarakat sipil dalam upaya mengemukakan pendapat dengan dalil-dalil pro keadilan. Langkah konstitusional tersebut dilindungi oleh UUD 1945 pada Pasal 28E, dan mekanisme pelaksanaannya di atur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaiakan Pendapat di Muka Umum. Polri sebagai institusi keamanan dalam negeri diamanatkan dalam Pasal 13 ayat 3 UU No. 9 Tahun 1998 untuk bertanggungjawab menyelenggarakan pengamanan guna menjamin ketertiban umum. Sebagai acuan turunan, Polri menerbitkan Peraturan Kapolri (Perkap) No.16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa dan Perkap No. 9 tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Selain itu ikhwal perlindungan HAM terdapat Perkap No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, serta Perkap No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Teks-teks peraturan dan perundangan-perundangan tersebut di claim mengatur hak demokrasi dan menjamin perlindungan HAM terhadap Demonstran yang diklasifikasikan dalam kerangka ideal. Namun beberapa tindakan represif yang terjadi,menurut hemat penulis selalu disebabkan oleh dua perspektif tindakan kontrademokratis-kontra yuridis, sehingga beberapa aksi demonstrasi berujung pada konflik.

Pertama, dengan dalil menjamin keamanan dan ketertiban umum, langkah demonstrasi diatur ketat dan santun sebagai manifestasi yuridis dan tata krama Demokrasi Indonesia. Dalam hal itu Polri merujuk segala Pasal hukum yang tertuang dalam keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut diatas. Dengan demikian, persitiwa aktual dalam keseluruhan proses aksi massa terkungkung dalam fatwa-fatwa Hukum yang bisa bersifat diskresi fungsional oleh personil dilapangan. Dirujuk dari artikel Hukum Online yang berjudul Penting! Meski Dijamin Hukum, Ini 5 Jenis Demonstrasi yang Dilarang (https://bit.ly/30cGyWX).

Kedua, Metode demonstrasi ideal relatif tidak layak pakai jika kritik direspon melalui metode pembelaan atau pengekangan yang nondemokratis, meskipun kritikan atas objek masalah yang diperjuangkan oleh para demonstran adalah narasi keadilan. Secara teoritis kontradiksi itu dapat disebut sebagai Deprivasi Relatif yang bermuara pada kebutuhan perjuangan. Sehingga metode demonstrasi yang berenergi perjuangan seperti itu cenderung/terkesan sporadis, dan tak jarang menimbulkan kerugian materil dan immateril. Disisi lain, metode demonstrasi ideal pun mengalami ambiguitas demokratis jika konten gerakannya memenuhi syarat pelarangan dengan dalil-dalil hukum yang lentur, naif jika polisi dalam asumsi liar diduga terlibat mengaburkan konten-konten persoalan yang diperjuangkan.

Jembatan Keadilan, Prasyarat Keamanan Nasional

Polri merupakan salah satu institusi Negara yang secara massif memiliki intensitas interaksi yang tinggi dengan masyarakat sipil, artinya polri merupakan representasi konkret dari Negara pada konteks mengukur sejauh mana keadilan dapat dinikmati serta dapat mencermati kebebasan dan efektifitas pelayanan Negara. Sepatutnya ruang tersebut potensial difungsikan optimal untuk pro keadilan.

Dua perspektif tersebut diatas seyogyanya dapat direfleksi guna memperkaya aktualisasi Democratic Policing. Artinya, Proporsi nilai demokratis tidak di interpretasikan pada pengayaan Institusional Polri sebagai fungsi penegakan hukum semata, Tidak pula mengakuisisi peran kepolisian pada banyak sektor, praktik tersebut jelas bertentangan dengan prinsip reformasi polri yang mengurai paradigma superioritas institusi ABRI pada banyak aspek. Namun lebih kepada pengamalan institusi yang menjembatani Demokratisasi untuk seluruh elemen sipil dalam mencapai keadilan.

Merubah Regulasi Pengendalian Massa

Penerapan Democratic Policing tercermin dari terjaganya nilai-nilai HAM , termasuk pada proses pengendalian massa. Dengan demikian, pada domain pengendalian massa diperlukan pendekatan transformatif, yang bertumpu pada keberpihakan atas hak-hak sipil secara utuh.

Secara kultural, pengamalan Democratic Policing mesti keluar dari bayangan superioritas institusional yang justru mempengaruhi pola pemolisian personal polri. Maka perilaku demokratis personil Polri dalam fungsi-fungsi keamanan Nasional harus dinternalisasikan sejak dalam sistem pembinaan hingga pengawasan personil Polri.

Secara yuridis, pendekatan transformatif tersebut terwujud dengan perlunya Perubahan regulasi-regulasi pengendalian massa yang saat ini masih memberi ruang diskresi fungsional secara berlebihan. Sehingga pelanggaran HAM tak terelekkan dalam tiap aksi massa yang bercorak Deprivasi Relatif.

Menengok masa depan aksi massa, Situasi ekonomi politik indonesia saat ini membuka celah tingginya gelombang gerakan massa. Dengan demikian, urgensi pendekatan transformatif tersebut tersebut tidak semata mengupayakan Demonstrasi berjalan lancar dan damai, tapi situasi Keamanan dan Pertanahan negara stabil dari dampak kondisi ekonomi-politik Global.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *