SERANG, BANPOS – Sejumlah jurnalis kampus Politeknik Negeri Jakarta, dikabarkan hilang saat meliput aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja di Istana Negara, Kamis (8/10). Ketiganya yaitu Ajeng Putri, Dharmajati Yusuf dan Muhammad Ahsan Zaki.
Diketahui, tim peliputan Badan Otonom Gerakan Mahasiswa (BO GEMA) berangkat pukul 07:48 WIB dengan jumlah 9 personil yang menggunakan Id Card, kecuali Ahsan yang memakai pakaian hitam, rompi serta celana cokelat tanpa memakai atribut GEMA. Sebagai antisipasi, mereka membawa jaket kuning di dalam tas masing-masing.
“Ketemuannya kita di stasiun Juanda, salah satu tim liputan kita namanya Fikri, berkabar di jam 08:24 sudah berada di kawasan Istiqlal yang menjadi titik kumpul kita (tim GEMA, red),” ujar salah satu rekan jurnalis GEMA, Indah, saat dihubungi oleh BANPOS, Kamis (8/10) malam.
Pukul 09:32 para jurnalis kampus menunggu anggota lainnya yang bernama Fero di titik kumpul yang sudah ditentukan. Kemudian, pukul 10:08 anggota lainnya yaitu Adnan memberikan kabar bahwa dirinya belum dapat menembus kawasan Monumen Nasional (Monas).
“Berarti dia sudah bergerak ke tempat liputan. Pukul 10:41, Arya (anggota GEMA) berkabar sudah berada di Mahkamah Agung (MA),” katanya.
Pada pukul 10:42, Indah berinisiatif untuk berkirim pesan melalui grup peliputan pada aplikasi perpesanan WhatsApp untuk meminta live report suasana. Selanjutnya pukul 10:51, ia mendapatkan kabar bahwa Ajeng dan Dharma serta Ahsan standby di Istana.
“Pukul 11:07 di grup itu Ajeng laporan bahwa di lokasi itu belum ada siapa-siapa, masih sepi. Pukul 11:10 Ajeng live report suasana (lewat grup) dan bilang masih sepi, dia bilang ‘tapi tenang aja, gue bakal update terus’. Udah setelah itu kita lose kontak sama dia,” jelasnya.
Ia berupaya untuk menghubungi Ajeng, menanyakan terkait dengan konten GEMA, mengingat Ajeng merupakan ketua reporter yang berurusan pada konten-konten berita GEMA. Hingga akhirnya, Indah membuat keputusan sendiri karena Ajeng sama sekali tidak membalas pesannya.
“Padahal status WhatsApp media online. Sekitar pukul 14:00 saya mulai panik, dan akhirnya saya menelpon lewat WhatsApp dan berdering, posisinya juga online, tapi nggak diangkat sama sekali. Saya coba bertahap menghubungi dia dan menghubungi Dharma untuk minta konten. Sama sekali tidak ada balasan, padahal status mereka online,” tururnya.
Ia pun meneruskan pesan ke grup reporter pusat GEMA, mengabarkan kalau kedua reporter yaitu Ajeng dan Dharma tidak ada kabar termasuk Ahsan. Sempat menelpon melalui panggilan seluler, statusnya semua berdering tapi tidak juga diangkat.
“Akhirnya kita mencoba melacak, tapi karena kami kekurangan tim IT yang jago untuk melacak sampai sedalam itu, kami putuskan pakai aplikasi tapi ketika dicoba error. Mencoba pakai nomor lain, lokasi masih menunjukkan di tempat yang sama. Terkahir mereka berkabar ada di sekitar istana,” katanya.
Pukul 16:00, ia mendapati nomor ketiga reporter GEMA berstatus panggilan sedang dialihkan. Sehingga tim GEMA berupaya untuk melakukan pencarian melalui pamflet yang disebarluaskan dan menghubungi Lembaga bantuan hukum (LBH) pers dan LBH pusat, serta berkontak dengan aliansi jurnalis independen (AJI).
“Dan mereka sudah mau untuk mendampingi GEMA, apabila teman kita ditahan di kepolisian. Tapi sampai sekarang kita belum tau posisi mereka dimana, karena berita banyak banget simpang siur makanya kami membuat pers rilis, kalau teman kita belum ketemu,” tandasnya.
Selain itu, dalam peliputan yang sama, terjadi penganiaayaan, intimidasi, dan perampasan alat kerja Jurnalis Suara.com, Peter Rotti. Ia mengalami kekerasan dari aparat kepolisian saat meliput aksi unjuk rasa penolakan Omnimbus Law Undang-undang Cipta Kerja di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (8/10).
Pemred Suara.com, Suwarjono mengungkapkan dalam press rilisnya bahwa peristiwa itu terjadi sekitar pukul 18.00 WIB, saat Peter merekam video aksi sejumlah aparat kepolisian mengeroyok seorang peserta aksi di sekitar halte Transjakarta Bank Indonesia.
Ketika itu, Peter berdua dengan rekannya, yang juga videografer, yakni Adit Rianto S, melakukan live report via akun YouTube peristiwa aksi unjuk rasa penolakan Omnimbus Law.
“Melihat Peter merekam aksi para polisi menganiaya peserta aksi dari kalangan mahasiswa, tiba-tiba seorang aparat berpakaian sipil serba hitam menghampirinya,” kata Suwarjono.
Kemudian disusul enam orang Polisi yang belakangan diketahui anggota Brimob. Para polisi itu meminta kamera Peter, namun ia menolak sambil menjelaskan bahwa dirinya jurnalis yang sedang meliput.
“Namun, para polisi memaksa dan merampas kamera Peter. Seorang dari polisi itu sempat meminta memori kamera. Peter menolak dan menawarkan akan menghapus video aksi kekerasan aparat polisi terhadap seorang peserta aksi,” jelasnya.
Para polisi bersikukuh dan merampas kamera jurnalis video Suara.com tersebut. Peter pun diseret sambil dipukul dan ditendang oleh segerombolan polisi tersebut.
“Saya sudah jelaskan kalau saya wartawan, tetapi mereka (polisi) tetap merampas dan menyeret saya. Tadi saya sempat diseret dan digebukin, tangan dan pelipis saya memar,” kata Peter melalui sambungan telepon.
Setelah merampas kamera, memori yang berisi rekaman video liputan aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar di sekitar patung kuda, kawasan Monas, Jakarta itu diambil polisi. Namun kameranya dikembalikan kepada Peter.
“Kamera saya akhirnya kembalikan, tetapi memorinya diambil sama mereka,” ujarnya.
Kekinian Peter dalam kondisi memar di bagian muka dan tangannya akibat penganiayaan aparat kepolisian.
“Saya selaku Pemred Suara.com mengecam aksi penganiayaan terhadap jurnalis kami, maupun jurnalis media-media lain yang mengalami aksi serupa,” kecamnya.
Sebab, jurnalis dalam melakukan tugas-tugas jurnalistik selalu dilindungi oleh perundang-undangan.
“Saya juga mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas hal ini,” tandasnya.(MUF/PBN)
Tinggalkan Balasan