CILEGON, BANPOS,- Proyeksi Kemenangan Kandidat Pilkada di Banten menarik perhatian para pengamat politik nasional.
Diskusi kedua yang digelar ‘The Aksara Institute’ kembali digelar pada Minggu (8/11) di Kantor Indonesia Analisis Politik Institute (Indpol), Jakarta.
Seperti diskusi sesi pertama, tuan rumah Ananda Prasetya dari Indpol kembali mengundang tiga narasumber yakni Abdul Hakim MA, alumni The Australian National University Canberra, Alexander Aur Apelaby, kandidat doktor filsafat sosial, yang juga Dose Etika Politik Universitas Pelita Harapan, dan Musa Maliki, PhD, alumni Politics and International Relations, Charles Darwin University.
Kali ini diskusi mengerucut pada tingkat elektabilitas para kandidat di Pilkada Banten khususnya Pilkada Cilegon.
Abdul Hakim MA yang lebih menyoroti Pilkada Cilegon mengungkapkan, sosok kandidat pasangan nomor 02 Ati Marliati -Sokhiidin datang dari bawah.
Dengan lapisan pengalaman yang cukup panjang baik karir di dunia profesional birokrasi maupun kontribusi dalam kegiatan pengembangan masyarakat Cilegon, Ati Marliati cukup mendapat tempat di masyarakat.
“Ati Marliati meniti karir dari seorang guru, karir birokrasi, aktivitas pengembangan masyarakat dan pemberdayaan melalui dunia pendidikan hingga saat ini,” tuturnya.
Sosok ini (Ati Marliati, red) dilengkapi dengan tokoh seperti Sokhidin yang memulai karir di kepolisian negara Indonesia, aktif di dunia usaha, kepartaian, dan mengelola jaringan pengajian keagamaan bersama dengan para kyai yang dikenal jelas sanad dan silsilah keilmuan keagamaannya.
“Aktivitas keagamaan Sokhidin itu mewakili semangat santri dan para kyai. Ini juga point penting bagi kandidat sehingga wajar jika elektabilitasnya tinggi,” kata Abdul Hakim.
Survei yang dilakukan oleh tim internal pemenangan pasangan Ati-Sokhidin, lanjutnya, menunjukkan bahwa tingkat keterpilihan pasangan ini karena alasan pengalaman birokrasi, keberpihakan pondok pesantren dan serta peduli pada rakyat.
“Kedua sosok kandidat ini mendapatkan dukungan atas dasar reputasi karir dan investasi sosial yang sudah lama disemai melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat, dan itu ditangkap oleh warga sebagai figur yang mewakili agenda perubahan Cilegon di periode yang akan datang,” kata dia.
Andanda Prasetya yang menjadi moderator diskusi terbatas lalu bertanya kepada narasumber, apakah isu dinasti dan korupsi tidak berpengaruh pada tingkat elektabilitas?
Abdul Hakim kemudian menegaskan, pertanyaan itu sesungguhnya sudah terjawab dengan prediksi tingginya tingkat keterpilihan Ati-Sokhidin.
“Jika diverbalkan kira-kira begini. Isu itu (dinasti dan korupsi, red) secara nyata dipatahkan oleh tingkat elektabilitas yang tinggi itu. Artinya, isu itu nggak nendang. Tidak punya dampak elektoral,” tegasnya.
Alexander Aur Apelaby menambahkan, pemilihan pemimpin publik, seperti pemilihan kepala daerah, kepala pemerintahan pusat, wakil rakyat di parlemen, sungguh absah bila mempunyai legitimsasi demokratis.
Legitimasi demokratis tidak semata-mata berarti warga negara secara bebas masuk dalam bilik pemungutan suara dan memilih calon pemimpin yang mempunyai kapasitas sebagai pemimpin publik, tetapi lebih dari itu adalah legitimasi demokratis juga terwujud dalam partisipasi warga negara bersama wakil rakyat dalam merancang undang-undang atau peraturan daerah.
“Hanya itu kuncinya. Legitimasi itu didasari oleh pilihan warga. Bukan yang lain,” pungkasnya.
Dikusi pun diakhiri dengan sebuah kesimpulan dari Ananda Prasetya bahwa Pilkada Cilegon menarik untuk diikuti karena turbulensi politiknya lumayan keras.(BAR)
Tinggalkan Balasan