TRANSFER ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) dari tenaga pendidik terhadap siswa, baik melalui luar jaringan (luring) maupun dalam jaringan (daring) boleh jadi akan efektif. Karena pada era teknologi informasi sekarang, orang bisa dengan bebas berkomunikasi dengan siapa pun. Bebas berkomunikasi tanpa mengenal ruang dan waktu.
Begitupun dalam proses pembelajaran, siswa dan guru bisa tanpa batas waktu melakukan transfer ilmu pengetahuan. Umpan balik (feed back) juga bisa dengan cepat dilakukan siswa, ketika memang ada hal yang perlu ditanyakan, minta penjeasan lebih lanjut dan memberi tanggapan, termasuk jawaban atas pertanyaan guru.
Jadi, kalau sekadar transfer ilmu pengetahuan, sepertinya tidak ada masalah. Hanya, proses pembelajaran itu bukan hanya sekadar mampu mentransfer ilmu pengetahuan dan siswa memahami apa yang disampaikan para gurunya, tetapi lebih dari itu, akhir dari proses pendidikan adalah membangun karakter dan membangun moral anak.
Bagaimana setelah mengikuti proses pendidikan, anak bukan hanya mengetahui tata cara hormat terhadap orang tua, tetapi juga bagaimana menunjukkan rasa hormat terhadap orang tua.
Apakah proses pembelajaran daring efektif untuk memperbaiki moral anak? Untuk mengetahui itu, pertama-tama saya ingin mengatakan bahwa moral ada tiga, ada pengetahuan dan pendidikan moral, perasaan moral dan sikap moral.
Daring bisa menumbuhkan pengetahuan moral anak atau kemampuan membedakan yang baik dan buruk, seperti melalui tayangan video ada anak membuang sambah sembarangan dan ada anak membuang sambah di tempat sampah. Anak ditunjukan mana bagaimana cara membuang sampah yang benar dan membuang sampah secara sembarangan. Jika ada anak sudah mampu membedakan maka sudah terjadi pengetahuan moral dan itu bisa melalui daring.
Perasaan moral bisa ditunjukan dengan bagaimana perasaan kita kalau menunggu lama. Misalnya anak ditunjukan pembelajaran melalui penayangan sebuah video seseorang yang sedang menunggu seseorang. Dalam video itu digambarkan bagaimana perasaan seorang anak ketika dihadapkan dalam posisi menunggu, apalagi menunggu dalam waktu yang sangat lama. Intinya akan tergambar bahwa menunggu sangat membosankan.
Maka pesan yang diharapkan dari penayangan itu adalah anak tidak datang terlambat, karena dia tahu betapa kesalnya anak-anak lain, ketika menunggu dirinya.
Soal sikap moral bisa dilakukan dengan memberikan keteladanan terhadap anak didik. Sikap moral juga soal pilihan (choicde), lalu anak menentukan pilihan, seperti setuju atau tidak setuju. Pada batasan seperti itu pendidikan moral bisa dilakukan dengan daring.
Kebanyakan orang mendefinisikan pendidikan moral adalah pembiasaan dan keteladanan. Ketika bicara keteladanan dan pembiasaan tidak bisa dilakukan dengan daring.
Dalam situasi daring, guru harus mengerti pendidikan moral, karena ketika tidak mengetahui berpotensi terjadi miss konsepsi, dan tidak bisa membedakan pengetahuan perasaan moral, dan sikap koral. Kalau hanya mengetahui pengetahuan moral maka proises pembelajaran daring menjadi gagal.
Jika sudah mengetahui, evaluasinya sangat sederhana. Guru cukup memberikan projek terhadap anak didik, seperti projek aktivitas keseharian (daily activity).
Inti dari pendidikan bermutu adalah guru yang bermutu, Oleh karena itu, harus ada peningkatan mutu guru. Kedua jika pengetahuan tentang moral tidak merata atau hanya mengetahui tentang pengetahuan moral maka suka atau tidak suka kita kembali kepada pikiran lama bahwa pendidikan moral melalui pembiasan dan keteladan dan kebiasan dan keteladan tidak bisa melalui daring.
Tinggalkan Balasan