Inovasi Pembelajaran Daring pada Masa Pandemi

PEMBELAJARAN luar jaringan (luring) atau tatap muka dan dalam bahasa Inggris di sebut ofline masih dalam tahap perencanaan, yaitu awal 2021. Saat ini, siswa dan mahasiswa masih terus melaksanakan proses pembelajaran dalam jaringan (daring), sehubungan dengan masih tingginya penyebaran covid-19.

Bagi sebagian siswa, proses belajar daring merupakan hambatan, karena terbatas dengan sinyal, sarana dan prasarana. Meski sebagian masyarakat menganggap bahwa itu tidak menjadi masalah.

Namun, ada satu kata yang mungkin saja dirasakan oleh semua siswa dan orang tua siswa, yaitu membosankan. Seperti kita ketahui, dalam delapan bulan terakhir ini, siswa harus belajar di rumah, lengkap dengan segala bentuk permasalahan, mulai dari bosan, keterbatasan sarana, dan tentu saja kurang asyik.

Ada fakta yang kurang menggembirakan dari proses pembelajaran daring ini. Pembelajasan daring yang menjadi persoalan adalah pertama guru yang selama ini dilatih untuk persiapan pembelajaran daring dengan biaya mahal, relatif tidak berhasil. Dalam pengertian, tidak semua guru tidak berhasil, tetapi ada fakta bahwa para guru “kolonial” yang kurang cepat beradaptasi dengan situasi pandemi sekarang ini.

Covid-19 memang memaksa kita untuk berubah. Berubah untuk menyesuaikan dengan era baru informasi, di mana tanpa harus bertatap muka, kita bisa menyampaikan pesan, menyampaikan materi pembelajaran dan juga bisa melaksanakan kegiatan rapat penting sekalipun.

Istilah baru “the power of kepepet” mungkin pantas disematkan dalam kondisi kita sekarang ini. Di mana, guru dipaksa untuk melakukan proses pembelajaran secara daring dan karyawan/pegawai dipaksa bekerja dari rumah (work from home).

Para tenaga pendidik sudah dipersiapkan untuk menghadapi proses pembelajaran daring, seperti bagaimana membuat presentasi, power point dan tentu saja melakukan pembelajaran secara daring.

Berbeda dengan guru atau tenaga pengajar, orang tua banyak yang dihadapkan pada persoalan pengadaan alat. Apakah semua memiliki kesanggupan memiliki telepon genggam, bukan telepon genggam biasa tetapi telepon pintar (smartphone).

Padahal, dalam proses pembelajaran daring peran orang tua sangat besar. Guru yang sudah diberi kompetensi pedagogik, termasuk bagaimana mengajar dengan pendekatan psikologis masih mengalami masalah dalam proses pembelajaran daring. Lalu bagaimana masyarakat yang tidak diberi kompetensi. Guru sudah didik dalam bidang atau kompetensi tertentu, tetapi orang tua banyak yang tidak memiliki kemampuan. Kalaupun para orang tua banyak yang berpendidikan, tetapi boleh jadi sudah banyak yang lupa, karena mereka tidak fokus dalam proses pembelajaran.

Belum lagi, sekarang ini sudah mengalami banyak perubahan dalam kebiasaan hidup masyarakat. Dulu rumah itu adalah madrasah, di mana orang tua atau setidak-tidaknya ibu bisa membimbing anak-anaknya saat di rumah. Sekarang sudah bergeser, karena kedua orang tua banyak yang bekerja.

Dulu hanya ayahnya yang bekerja. Dalam kultur agraris, ibu di rumah. Jadi relatif memiliki banyak waktu untuk mengatur anak. Sementara sekarang, meskipun ada kebijakan tidak masuk kantor atau bekerja di rumah (WFH), dia harus tetap bekerja.

Apa yang harus dilakukan agar proses belajar mengajar daring tetap optimal. Tentu saja dibutuhkan suatu inovasi agar belajar daring efektif. Guru harus betul-betul merumuskan tujuan pendidikan. Guru harus menentukan beberapa kompetensi, tidak perlu semua kompetensi.

Kalau satu dua kompetensi sudah dimiliki maka yang lain akan mengikuti. Misalnya kalau anak sudah bisa membaca tinggal meneruskan dengan kebiasaan membaca (habit reading). Kalau di kurikulum ada sepuluh kompetensi, dalam kondisi pembelajaran daring sekarang ini, cukup diambil dua saja

Siapa yang akan menentukan dua kompetensi prioritas, tentu saja para guru atau guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Antara guru bisa bersepakat bahwa dari sepuluh kompetensi, hanya dua kompetensi saja. Bukan ditentukan oleh pemerintah, karena khawatir menjadi keputusan politik, bukan berdasarkan keputusan akademik.

Setelah ada keputusan kempetensi apa saja yang akan diambil, baru para guru memikirkan bagaimana cara penyampaian pelajaran daring agar bisa diterima dengan baik oleh peserta didik. Misalnya penyajian materi dengan menggunakan pendekatan animasi. Dengan pendekatan itu, anak-anak tidak bosan.

Bagaimana kita mengevaluasi keberhasilan anak dalam belajar daring, harus melibatkan orang tua. Cara mengevaluasinya adalah dengan menggunakan projek. Orang tua beserta anak melakukan projek, misalnya soal kecakapan hidup. Bagaimana aktivitas anak membantu orang tua, seperti mencuci piring dibuat rekaman atau membiasakan diri bercocok tanam.

Dengan pola itu, tidak perlu dijelaskan bagaimana tahapan cuci piring atau pelajaran biologi mengenal tanaman. Kelebihannya, proses belajar dengan pendekatan projek, tidak menjadi beban bagi orang. Sebaliknya, justru membantu meringankan beban orang tua.

Intinya, selama guru bisa berinovasi, pendekatan pelajarannya tepat dan sesuai tahapan perkembangan peserta didik kultur milenial, tahapan evaluasi melalui pendekatan projek dengan melibatkan orang tua maka tidak ada problem, malah bisa menyenangkan. Dalam proses pemilihan kita mengenal efek ekor jas (coat-tail effect), dengan kata lain pihak lain akan mengikuti seseorang yang dianggap panutan.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *