BADAN Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 3,49% pada kuartal III-2020. Sebelumnya pada kuartal II, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5,32%. Realisasi pertumbuhan ekonomi nasional yang kembali negatif tersebut menjadi penanda Indonesia resmi mengalami resesi dan masuk dalam daftar negara yang masuk ke jurang resesi di masa pandemi.
Dampak dari resesi ini antara lain terlihat dari PHK sudah menerpa Indonesia menimpa ribuan orang dari berbagai sektor usaha. Mulai dari buruh pabrik sepatu, pabrik tekstil, garmen, makanan minuman, komponen elektronik, hingga sektor penerbitan.
Menurut peneliti ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira (detik.com, 8/11) badai PHK yang terjadi di Indonesia saat ini menjadi bukti nyata resesi terburuk yang dirasakan Indonesia selama 20 tahun terakhir. Pasalnya, resesi bukan cuma terjadi pada perusahaan bermodal besar saja tetapi juga melanda sektor UMKM. Bagi perusahaan, PHK sejatinya merupakan keputusan paling akhir setelah beragam ikhtiar telah ditempuh untuk bisa bertahan pada situasi pandemi ini. Salah satu pertimbangan penting untuk mengambil langkah PHK adalah kebutuhan terhadap karyawan-karyawan dengan kinerja yang baik, sehingga saat perekonomian pulih perusahaan tidak sulit mencari tenaga kerja lagi.
Dampak lanjutan dari PHK adalah menurunnya daya beli masyarakat akibat hilangnya pendapatan aktif kepala atau anggota keluarga. Karena itu pemerintah telah mengambil sejumlah langkah untuk menjaga daya beli masyarakat seperti memberikan subsidi gaji bagi yang berpenghasilan kurang dari Rp 5 juta per bulan, stimulus permodalan usaha super mikro sebesar Rp 2,4 juta per pengusaha super mikro hingga beragam BLT bagi kelompok masyarakat yang rentan terdampak Covid-19.
Disamping mempertahankan daya beli masyarakat beragam kebijakan yang menyasar masyarakat menengah ke bawah tersebut diharapkan dapat menyangga pertumbuhan ekonomi agar melambung ke atas mengingat kinerja ekonomi pada lapisan atas cenderung kolaps. Upaya ini cukup berhasil dilihat dari perubahan pertumbuhan yang semula -5,32% pada kuartal II menjadi -3,49 pada kuartal III sepanjang tahun 2020 ini.
Bahkan menurut para pengamat ekonomi dan keuangan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2021 mendatang setelah pandemi berakhir diproyeksikan akan mencapai 4,5% – 5,5%. Kuncinya adalah pandemi dinyatakan berakhir meskipun mungkin harus dengan keputusan politik. Karena nyatanya pandemi ini tidak hanya menyasar hebat pada aspek kesehatan dan ekonomi tetapi juga menyasar pikiran dan perasaan masyarakat sehingga aktivitas hidupnya dibayang-bayangi ketakutan terhadap Covid-19.
Program vaksinasi yang akan berjalan pada bulan-bulan mendatang meski sudah mulai menuai kontroversi terkait pertimbangan kehalalan dan keamanannya bagi kesehatan, setidaknya secara psikologis telah memberi kepercayaan publik bahwa pandemi Covid-19 bisa diakhiri sehingga pemulihan mental masyarakat dan upaya pemerintah untuk menyatakan bahwa era pandemi Covid-19 telah berakhir mendapatkan legitimasi psikologis dan moral.
Pernyataan ini penting agar perekonomian negara bisa keluar dari resesi yang ditandai dengan terus naiknya pertumbuhan ekonomi nasional secara positif. Kuncinya ada pada berakhirnya era pandemi Covid-19 dengan menjadikan vaksin sebagai garansinya.
Hadirnya vaksin setidaknya mengurangi beban pikiran dan perasaan masyarakat terhadap ancaman Covid-19 sehingga melakoni kehidupan di tahun 2021 mendatang lebih rileks dan lebih optimis. Dengan begitu masyarakat bisa bekerja dengan tenang dan dunia usaha bisa bergerak.
Walaupun harus berhadapan dengan postur APBN 2021 yang diperkirakan defisit sebesar Rp 971,1 triliun atau setara 5,5% terhadap produk domestik bruto (PDB) karena pendapatan negara diproyeksikan sebesar Rp 1.776,4 triliun sementara belanja negara Rp 2.747,5 triliun (Detik.com, 8/11). Sikap optimis tersebut penting untuk terus ditumbuhkan agar semangat pulih dari tekanan Covid-19 ini paralel dengan pulihnya pertumbuhan ekonomi negara yang didukung oleh peningkatan konsumsi domestik dan investasi sebagai motor penggerak utama.
Konsumsi domestik meningkat jika daya beli dan pendapatan masyarakat juga meningkat. Sepanjang tahun 2020 sektor pertanian tumbuh positif demikian juga dengan UMKM. Karena itu penguatan terhadap UMKM dan sektor pertanian sebagai lahan usaha mayoritas rakyat perlu terus diperkuat dan didukung dengan kebijakan yang konsisten berpihak kepada mayoritas rakyat. Proteksi terhadap produk UMKM dan sektor pertanian perlu dilakukan untuk memberikan perlindungan menyeluruh agar UMKM dan sektor pertanian Indonesia memiliki daya hidup di tengah derasnya gempuran dari pasar global.
Selain konsumsi domestik sumber pertumbuhan ekonomi juga ditopang oleh penanaman modal atau investasi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan yang berdampak pada pengurangan angka pengangguran, angka kemiskinan, meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing dan kemandirian. Pertumbuhan ekonomi membutuhkan penanam modal (Investor) baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.
Tinggi rendahnya investasi di suatu wilayah dipengaruhi oleh kepastian hukum, stabilitas politik, keamanan dan kebijakan pemerintah yang pro investasi. Faktor-faktor ini masih memerlukan perhatian khusus dalam rangka meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Lahirnya UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang kontroversial itu, semangatnya untuk mereduksi hambatan birokrasi, mengikis korupsi dan menggairahkan iklim investasi di Indonesia. Dengan investasi meningkat diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja dalam jumlah banyak sehingga pengangguran dan kemiskinan dapat direduksi.
Semangat dari UU ini juga menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan dan peningkatan daya saing UMKM serta mendorong masyarakat Indonesia mengambil jalan wirausaha dengan menekuni profesi sebagai pengusaha. Dengan meningkatnya jumlah pengusaha baik yang lahir dari rahim masyarakat Indonesia atau yang masuk dari negara asing diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dalam bentuk pajak penghasilan dan bentuk lainnya yang sah.
Kritik terhadap UU Ciptaker yang antara lain diekspresikan oleh maraknya demonstrasi dimana-mana karena UU ini dinilai bias pengusaha dan investor serta tidak ramah terhadap hak-hak tenaga kerja. Apakah kekhawatiran terhadap UU ini yang dinilai tidak ramah terhadap nasib tenaga kerja seperti banyak disuarakan oleh beragam serikat pekerja dan juga apakah benar UU ini akan merangsang gairah investasi atau sebaliknya tergantung pada implementasinya di tahun 2021 nanti?.
Yang jelas pertumbuhan ekonomi tidak saja membutuhkan investasi dan konsumsi tetapi juga membutuhkan stabilitas politik dan penegakan hukum yang berkeadilan baik pada yang pro maupun pada yang kritis terhadap pemerintah. Karena itu langkah-langkah penegakan hukum yang tidak profesional atau bias interes pribadi harus dihindari agar tidak menganggu iklim investasi dan agenda pencapaian pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan.
Target pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi prasyarat terbukanya lapangan kerja. Tetapi tanpa diikuti dengan pemerataan maka pertumbuhan ekonomi tinggi akan memicu besarnya indeks gini rasio yang menggambarkan besarnya kesenjangan. Karena itu untuk mengurangi kesenjangan dan membangun rasa keadilan yang hakiki maka aspek pemerataan sejatinya yang harus dijadikan sebagai permasalahan utama ekonomi suatu negara bukan hanya pertumbuhan. Dengan pemerataan berapapun ekonomi tumbuh akan dirasakan oleh semua masyarakat, tetapi dengan pertumbuhan ekonomi tinggi belum tentu dirasakan oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
Semoga ekonomi Indonesia tahun 2021 tumbuh positif dan merata setelah pendemi Covid-19 dinyatakan berakhir sebagai kunci mengakhiri resesi ekonomi dan membangun optimisme.
Wallahu’alam.
Tinggalkan Balasan