JAKARTA, BANPOS – Masyarakat kini sudah bisa membeli sendiri vaksin secara
individu di Kimia Farma mulai 12 Juli 2021, kemarin. Vaksin yang digunakan adalah
vaksin Sinopharm dan diklaim masih terjaga kualitasnya.
Padahal sebelumnya,
Presiden Joko Widodo menegaskan, bahwa vaksin Covid-19 gratis untuk seluruh
masyarakat,
Kimia Farma mengungkapkan alasan pemberlakuan ini karena dasar hukumnya
mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021. Alasan lainnya
adalah perluasan program Vaksinasi Gotong Royong demi mempercepat herd
immunity.
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari PT Bio Farma (Persero) Bambang Heriyanto
menegaskan bahwa vaksin Covid-19 dalam program ini sama dengan VGR
sebelumnya. Vaksin diyakini masih terjaga kualitasnya.
“Mohon dilihat dari satu kesatuan ya. Ini sama VGR, hanya diperluas tak hanya dari
individu tapi dari badan hukum,” tegasnya secara daring, Minggu (11/7).
Menurutnya vaksin gotong royong yang digunakan sama persis untuk program
vaksinasi massal. Ia menegaskan vaksin yang jual ini memiliki kualitas baik dan dengan
nilai efikasi yang sama.
“Saya tegaskan ini bukan vaksin lungsuran. Bukan hasil seleksi. Bukan vaksin yang
bermasalah. Sama kualitasnya, efikasi dijaga, sama persis. Hanya saja ini tak gunakan
vaksin program pemerintah,” jelasnya.
Sekretaris Perusahaan PT Kimia Farma Tbk, Ganti Winarno mengatakan dengan
adanya perluasan ini nanti diharapakan herd immuniy tercapai. Menurutnya jika herd
immunity tercapai diharapkan secara bertahap akan berdampak pada perekonomian.
“Ini perluasan pencapaian herd immunity. Kami tegaskan lagi, agar tidak seolah-olah
Kimia Farma yang menginisiasi program ini. Bukan ya. Ini adalah program pemerintah
dengan ketetapan yang ada,” tegas Ganti.
Vaksin Sinopharm sendiri saat ini ketersediaannya sebanyak 1,5 juta. Dari total jumlah
tersebut, sebanyak 500 ribu merupakan hibah dari Pemerintah Uni Emirat Arab.
Hal ini pun dikritisi oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh. Sebab,
penjualan vaksin itu bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19
Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Permenkes Nomor 10 Tahun 2021 tentang
Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.
Khususnya di Pasal 7A ayat 4 yang mengatakan bahwa vaksin covid yang digunakan
untuk pelaksanaan vaksinasi program yang diperoleh hibah, sumbangan atau
pemberian baik dari masyarakat atau negara lain dilarang diperjualbelikan.
Diketahui, salah satu vaksin Gotong Royong Individu yang mau dijual itu adalah vaksin
Sinopharm. Padahal Indonesia menerima hibah 500.000 dosis vaksin Sinopharm dari
Uni Emirat Arab.
“Nah ini kontra dengan Permenkes 19/2021 Pasal 7A ayat 4. Jelas ini sangat
bertentangan dengan Permenkes 19/2021,” jelas Nihayatul kepada JawaPos.com,
Minggu (11/7).
Namun, apabila pemerintah mengatakan bahwa yang dijual bukan yang hibah, hal itu
pun belum tentu benar. Sebab, tidak ada jaminan jika vaksin tersebut benar-benar
bukan hibah.
“Kalaupun pemerintah bilang yang akan dijual bukan yang hibah. Bagaimana
membedakan yang hibah dan yang bukan?” imbuhnya.
Khawatirnya lagi, lanjutnya, program ini dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan
secara pribadi. Sama seperti yang pernah terjadi yang dilakukan oleh oknum Kimia
Farma di Medan yang menggunakan alat rapid test bekas dalam memeriksa pasien
untuk mendapatkan untung.
“Iya (untuk kepentingan pribadi program vaksinasi berbayar). Bagaimana kalau ternyata
ada yang menjual Sinopharm ke pihak lain untuk dijual,” pungkasnya.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga menyoroti praktik vaksin berbayar,
yang dijual di apotek apotek tertentu. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi
menyebut, hal itu sangat tidak etis di tengah pandemi yang sedang mengganas.
“Vaksin berbayar harus ditolak,” ujarnya dalam keterangan persnya, Senin (12/7).
Menurutnya, kebijakan ini bisa jadi hanya akan makin membuat masyarakat malas
untuk melakukan vaksinasi. “Yang digratiskan saja masih banyak yang nggak mau,
apalagi bayar,” tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, kebijakan tersebut juga membingungkan masyarakat, mengapa
ada vaksin berbayar, dan ada vaksin gratis. “Dari sisi komunikasi publik, sangat jelek,”
imbuhnya.
Tulus menuturkan, vaksin berbayar juga bisa menimbulkan ketidakpercayaan pada
masyarakat, bahwa yang berbayar dianggap kualitasnya lebih baik, dan yang gratis
lebih buruk kualitasnya.
Hal ini bertolak belakang jika dibandingkan dengan negara lain, di mana masyarakat
yang mau divaksinasi Covid-19 diberikan hadiah oleh pemerintahnya. “Ini dengan
maksud agar makin banyak warga negaranya yang mau divaksin. Bukan malah disuruh
membayar,” ucapnya.
Dengan denikian, pihaknya mendesak agar vaksin gotong royong berbayar untuk
kategori individu dibatalkan. “Kembalikan pada kebijakan semula, yang membayar
adalah pihak perusahaan, bukan individual,” pungkasnya.(ENK/JPG)
Tinggalkan Balasan