Membaca Nuansa Politis di Kasus Masker

KETIDAKHADIRAN Kejati Banten sebagai pihak termohon pada gugatan praperadilan kasus dugaan korupsi pengadaan masker dinilai sebagai pengabaian hak tersangka, dalam mendapatkan keadilan dalam kasus tersebut. Apalagi akibat dari ketidakhadiran Kejati Banten, sidang sempat ditunda hingga satu minggu, yang disebut memberikan kesempatan kepada Kejati Banten untuk mendapatkan jadwal sidang perkara pokok, yang dapat membatalkan gugatan praperadilan.

Dosen Fakultas Sosial dan Politik Universitas Mathlaul Anwar (UNMA), Eko Supriatno, mengaku bahwa sejak awal dirinya melihat kasus tersebut sangat kuat bernuansa politis. “Dari awal saya melihat kasus masker ini nuansa politiknya sangat kuat pada kasus dugaan korupsi ini,” ujarnya.

Menurutnya, praperadilan terdiri atas dua kata yaitu pra dan peradilan. Pra berarti sebelum, sedangkan peradilan berarti suatu proses pemeriksaaan perkara di depan pengadilan. Sehingga, dari namanya pun jelas bahwa praperadilan dilaksanakan sebelum peradilan pokok mulai disidangkan.

“Dengan demikian dapat dikatakan bahwa praperadilan adalah suatu proses pemeriksaan sebelum pemeriksaan terhadap pokok perkara berlangsung di pengadilan. Gugatan praperadilan dimaksudkan juga dan dapat dijadikan pelajaran agar Kejaksaan tidak gegabah dalam menuntut seseorang, gegabah atau terlalu tergesa-gesa di dalam menetapkan seorang menjadi tersangka. Untuk itu, kita semua mengharapkan agar para penyidik dan penuntut umum lebih mampu bersikap profesional,” katanya.

Eko menjelaskan, ide praperadilan berasal dari hak habeas corpus dalam sistem hukum Anglo Saxon yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, maupun jaminan hak-hak asasi manusia.

“Apakah penetapan praperadilan yang menyatakan suatu penyidikan tidak sah merupakan akhir dari proses penanganan suatu tindak pidana? Apakah penyidik dapat melakukan Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali atau mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan baru? Putusan praperadilan pada dasarnya tidak dapat dimintakan banding, kecuali atas putusan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Pasal 83 ayat (1) berbunyi ‘Terhadap putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat dimintakan banding’,” jelasnya.

Dengan kata lain, ia menuturkan bahwa praperadilan sebenarnya merupakan forum perbaikan terhadap proses penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, untuk dapat menghormati hak asasi manusia dan putusan praperadilan bukan akhir perjuangan penyidik untuk membuktikan terjadinya suatu peristiwa pidana.

Eko menuturkan bahwa terdapat tiga hal yang mendasari perlunya mekanisme seperti praperadilan. Pertama yakni rights protection by the state. Menurutnya, upaya dari aparat penegak hukum yang dilakukan terkadang dapat melanggar hak asasi calon tersangka atau tersangka. Dalam rangka mengembalikan hak yang sudah dilanggar, maka diperlukan suatu mekanisme pengujian perolehan alat bukti apakah sudah diambil secara sah.

“Kedua, deterrence (disciplining the police). Pengesampingan atau pengecualian alat bukti yang diambil atau diperoleh secara tidak sah, akan mencegah atau menghalangi para penegak hukum mengulangi kembali kesalahan mereka di masa mendatang. Ketiga, the legitimacy of the verdict. Dalam proses acara pidana diperlukan suatu sistem yang dapat dipercaya sehingga masyarakat yakin terhadap sistem hukum atau sistem peradilannya,” terang Eko.

Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa seharusnya Kejati Banten benar-benar menghormati gugatan praperadilan dari tersangka kasus dugaan korupsi yakni LS. Sebab, hal tersebut telah melanggar hak dari tersangka.

“Atas kejadian ini apabila ditengarai ada upaya mengulur waktu pemeriksaan baik atau oleh siapapun untuk pengadilan. Bisa menduga juga ada permainan oleh pihak tertentu dengan mengulur-ulur waktu pemeriksaan dalam proses penyidikan. Saya meminta Kejati Banten tidak terjebak dalam permainan ini. Penyidik, juga harus menghitung waktu pemeriksaan agar efisien,” tegasnya.

Sementara, Dekan Fakultas Hukum Untirta, Agus Prihartono Permana Sidiq, mengatakan bahwa praperadilan memang kerap kali digunakan oleh para tersangka, untuk bisa lolos dari jeratan hukum. Baik itu pada perkara pidana khusus, maupun pidana umum.

Ia menuturkan bahwa terdapat alasan mengapa terdapat praperadilan dalam persidangan hukum. Pertama, ia menuturkan bahwa praperadilan digelar untuk membuktikan sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka, keluarga atau pihak lain atas kuasa tersangka.

“Kedua, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan, Ketiga permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan,” ujarnya kepada BANPOS.

Pada prinsipnya, Agus menuturkan bahwa praperadilan merupakan pemeriksaan administrasi dari suatu perkara pidana tanpa menyentuh pokok perkara yang disangkakan. Sementara pemeriksaan pokok perkara di Pengadilan Negeri, sesuai dengan namanya yakni untuk memeriksa pokok perkara yang disangkakan atau didakwakan kepada terdakwa.

“Mengenai tata cara pemeriksaan, sidang praperadilan diatur dalam Pasal 82 serta pasal berikutnya. Selama prosedur dijalankan sesuai dengan regulasi yang ada, maka (praperadilan) memiliki kekuatan hukum,” ucapnya.

Agus mengaku bahwa dirinya tidak bisa menduga apakah ketidakhadiran Kejati Banten selaku pihak termohon dalam sidang praperadilan tersebut merupakan upaya untuk mengulur waktu hingga pengadilan pokok mulai dilaksanakan.

Sebab bisa saja meskipun pejabat yang berwenang selaku pihak termohon tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan.
“Tetapi dalam praperadilan, terdapat ketidakseragaman interpretasi itu terkait dengan frasa ‘…hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang…’ pada pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP,” ucapnya.

Namun Agus menuturkan bahwa selama ini dalam praktik persidangan praperadilan, penafsiran dari pasal tersebut jamaknya diakui kalau kedua belah pihak wajib hadir dalam persidangan. Bahkan menurutnya, apabila salah satu pihak tidak hadir dalam persidangan, praperadilan bukan saja bisa ditunda melainkan juga bisa dibatalkan.

“Akibat dari penafsiran yang sudah jamak ini, pejabat yang berwenang sebagai termohon praperadilan, setelah dipanggil secara patut dan layak oleh pengadilan untuk hadir dalam sidang yang dibuka pertama kali, (namun) tidak menghadiri persidangan praperadilan tanpa alasan yang cukup jelas, sehingga (mengakibatkan) praperadilan tidak dapat dimulai dan bahkan dapat mengakibatkan permohonan praperadilan gugur,” terangnya.

Terpisah, akademisi Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa, Iron Fajrul Aslami, mengatakan bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) adalah bagian dari suatu proses untuk menguji secara administratif pekerjaan dari Penyidik Kepolisian dan Penuntut Umum dari Kejaksaan yang bekerja berdasarkan UU, baik KUHAP maupun UU terkait yang didakwakan.

“Pengujian hanya berupa tertib administrasinya Penyidik dalam proses Penyidikan dan Penuntutan dalam melakukan koordinasi Penyidikan hingga terdaftar Surat Perkaranya ke Pengadilan,” ujarnya.

Iron menjelaskan bahwa praperadilan bisa saja dilakukan oleh tersangka setelah adanya penetapan tersangka karena dianggap oleh penyidik telah terdapat minimal dua alat bukti yang kuat dan bisa dilakukan penahanan.

“Kemudian pihak tersangka melakukan upaya praperadilan. Dalam Hukum Acara Pidana saat ini, belum diatur secara formal, Penyidik Kepolisian dan Kejaksaan tidak tertulis harus dan wajib hadir saat sidang praperadilan. Karena sifatnya Administratif,” terangnya.

Menurutnya, jika ketidakhadiran Kejati Banten dalam beberapa sidang merupakan tindakan yang disengaja, Iron mengaku bahwa hal tersebut merupakan hal yang tidak melawan hukum. Namun tetap, itu menjadi dilema atas urgensinya pelaksanaan praperadilan.

“Memang menjadi dilema urgensi adanya praperadilan bila para Pelaksana UU Pidana tidak memenuhi panggilan pengadilan. Namun dalih bahwa surat perkara sudah didaftarkan ke pengadilan untuk tidak menghadiri praperadilan juga bisa dikatakan tidak melawan hukum yang ada,” jelasnya.

Sedangkan terkait dengan alasan adanya PPKM Darurat sehingga Kejati Banten tidak hadir dalam persidangan, pun tidak bisa disalahkan karena kondisi memaksa demikian. Akan tetapi, ketidakhadiran Kejati Banten dalam pengadilan dapat dinilai sebagai tindakan tidak menghormati persidangan yang digelar oleh pengadilan.

“Dalam proses praperadilan, tentunya setiap orang harus menghormati pengadilan. Maka pengunduran yang dilakukan oleh Kejaksaan hanya dapat dinilai oleh Hakim Pemeriksa Praperadilan untuk dapat menghadirkan para pihak. Kondisi PPKM dalam ranah hukum bisa dikatakan sebagai Force Majoer. Apabila hakim pemeriksa tidak mempermasalahkan, tentunya itu dianggap tidak menjadi permasalahan selama proses sidang praperadilan,” tegasnya.

Iron pun menuturkan bahwa terdapat upaya lain yang bisa dilakukan oleh tersangka, apabila dirasa terdapat hal yang janggal dalam proses pemeriksaan dan penetapan dirinya sebagai tersangka. Upaya tersebut yakni melaporkan secara resmi ke bagian pengawasan pada institusi penegak hukum tersebut.

“Kepolisian misalnya pada Pengawas Penyidikan (Wasidik) atau Bagian Pengawas Kejaksaan secara bertingkat ke atas. Sehingga adanya tekanan internal dan nama baik lembaga bisa jadi menjadi faktor untuk para penegak hukum tidak bermain-main dengan hukum dan nasib seseorang,” ucapnya.(DZH/ENK)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *