SERANG, BANPOS – Gubernur Banten, Wahidin Halim (WH) melantik ratusan pejabat eselon III dan IV di lingkungan Pemprov Banten pada Senin (9/8) lalu. Namun, dari ratusan yang dilantik, hanya diwakili oleh beberapa pejabat, sehingga dinilai cacat hukum, bahkan dinilai meriupakan yang teraneh dalam sejarah berdirinya Provinsi Banten.
Akademisi dari Untirta, Ikhsan Ahmad, Kamis (12/8) mengungkapkan, pelantikan seratus lebih pejabat eselon III dan IV bertentangan dengan peraturan perundang-undangan berlaku.
“Ini (pelantikan) tak sesuai dengan norma hukum. Sebab bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS,” katanya.
Pada pasal 87 PP Nomor 11 tahun 2017 itu disebutkan, bahwa setiap PNS yang diangkat menjadi pejabat wajib dilantik dan diambil sumpah atau janjinya menurut agama atau kepercayaannya masing-masing.
“Patut diduga, pelantikan yang dilakukan oleh tersebut adalah pelantikan ‘kucing dalam karung’ dalam kerangka membangun kepentingan politik. Bahkan patut dicurigai pelantikan itu menjadi ajang pasar gelap jual beli jabatan,” tegas Ikhsan Ahmad.
“Pasar gelap tentu saja tidak memerlukan perencanaan, aturan apalagi kompetensi, yang ada adalah adanya pertemuan kepentingan dalam suatu jabatan yang dikehendaki,” imbuh Ikhsan.
Birokrasi seperti ini, lanjut dia, tentu saja beresiko berjalan sempoyongan dalam menjalankan amanat, fungsi, capaian dan tugasnya untuk memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat.
“Suatu birokrasi yang tak mampu mengidentifikasi dirinya pada situasi dan tantangan yang dihadapinya. Birokrasi seperti akan menjadi potensi mata rantai korupsi yang lebih kuat kedepannya,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata Ikhsan, gubernur sebagai penanggungjawab utama sudah selayaknya mendapat pengawasan tegas DPRD Banten melalui hak interpelasi dewan. “Interpelasi. Itu juga kalau dewan tidak ikut menjadi pedagang pasar gelap jabatan. melalui hak interpelasi dewan karena momentum pelantikan ini adalah kegiatan strategis dan akan berdampak luas terhadap jalannya pembangunan kedepan,” ujarnya.
Terpisah, Direktur Eksekutif Aliansi Lembaga Independen Peduli Publik (ALIPP), Uday Suhada juga mempertanyakan pelantikan itu. Ia menuding, janji politik WH untuk melakukan reformasi birokrasi terbukti hanya bualan belaka. Hal ini terlihat dari kacaunya rotasi dan pengisian jabatan di berbagai dinas instansi.
“Pelantikan yang dilakukan beberapa waktu terakhir ini nampak sangat sekehendak hati, tanpa memperhatikan aspek kompetensi, regulasi dan ketelitian,” katanya.
Pertama, proses open bidding atau lelang jabatan hanya menghamburkan anggaran, sebab hasilnya diabaikan. Kedua, rotasi dilakukan tertutup, sebab dua kali pelantikan, daftar nama pejabat yang dilantik di masing-masing dinas/instansi tidak di-publish, serba gaib.
“Ketiga, aspek kompetensi sama sekali diabaikan. Sebagai contoh, seorang instruktur menjahit di BLKI menjadi pejabat pengawas di lingkungan Disnakertrans. Banyak jabatan yang diemban seseorang tidak linier dengan basis keilmuan dan keahliannya,” katanya.
Kemudian, keempat, seorang EE sudah jelas pindah menjadi ASN pemerintah pusat yang ditempatkan di Satker BKKBN Bantul, Yogyakarta. SK kepindahannya tertanggal 1 Maret 2021 dan diterima oleh EE pada bulan April 2021. Pada pelantikan beberapa hari yang lalu EE justru dipromosikan BKD menjadi eselon IV di BPMD Banten. Padahal semestinya berbasis Simpeg.
“Mengutip seorang ASN di lingkungan Pemprov Banten, “Ini pelantikan teraneh sepanjang sejarah pemprov Banten”. Ada pula kalimat “Penempatan tidak sesuai dengan kualifikasi geus teu (sudah tidak, red) aneh. Tuh ada bidan di Samsat”, mengisyaratkan betapa bobroknya pengelolaan birokrasi di Pemprov Banten,” kata Uday.
Kelima, seorang pejabat di lingkungan Inspektorat, ditempatkan di lingkungan Dinas Kelautan dan Perikanan. Padahal ada aturan yang mensyaratkan harus mendapat rekomendasi dari Kemendagri.
Kepala Bapaerjakat yang juga Sekda Banten Al Muktabar dihubungi melalui teleponnya tidak merespon. Begitu juga Kepala BKD Banten, Komarudin.(RUS/ENK)
Tinggalkan Balasan