BUKAN hanya masyarakat saja yang ‘buntung’ dalam program rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH). Ternyata, pelaku usaha material pun juga terkena dampak dugaan permainan oknum fasilitator program RTLH di Provinsi Banten.
Salah satu pengusaha material asal Cikeusal, Tb. Aep Saepulloh, mengaku bahwa dirinya turut buntung dalam pelaksanaan program rehabilitasi RTLH. Bedanya, program yang ia ikuti yakni program milik Pemprov Banten.
Mulanya, Aep mengaku dihubungi oleh rekannya berinisial T. Menurut T, ada proyek yang bisa digarap oleh Aep yakni borongan bahan material untuk program rehabilitasi RTLH. Untuk besaran nominalnya yakni Rp22,5 juta per unit, dan ia mendapatkan proyek untuk 9 unit rumah.
“Bulan November lalu saya dikenalin sama teman saya namanya T, dengan perempuan namanya M. Biasa disebut Ami dan Itoh. Saya ketemuan di Solaria, setelah Ashar. Ditawari proyek RTLH di Kabupaten Serang Kecamatan Kibin, Tirtayasa, Lebakwangi, Tanara dan Pontang dengan total 9 unit,” ujarnya kepada BANPOS.
Saat pertemuan tersebut, ia diperlihatkan rincian Rencana Anggaran Biaya (RAB) pembangunan setiap unit rumah. Tertera dalam RAB tersebut besaran anggaran sebesar Rp22,5 juta. Sebagai seorang pengusaha, ia cukup tertarik mengingat anggaran tersebut sesuai dengan harga modal.
Namun menurut Aep, rekannya yakni T meminta agar dirinya tidak terburu-buru mengambil proyek tersebut. Selain untuk memastikan anggaran, T menuturkan bahwa ada kemungkinan besaran anggaran bisa ditambah.
“Bulan Oktober tanggal 23, Itoh menghubungi saya menanyakan perihal pekerjaan tersebut, material kapan dikirim. Saya terima, tidak ada kontrak karena sudah saling percaya. Saya balas, mudah-mudahan hari itu bisa dikirim,” ungkapnya.
Namun karena kebutuhan materialnya cukup besar, ia pun mencari bantuan dana. Padahal berdasarkan perjanjian, akan ada uang muka sebagai modal pembelian bahan material tersebut.
“Saya banting tulang kesana kemari cari dana, karena Itoh bilang ada uang muka sekian puluh persen tapi ternyata tidak ada. Alhamdulillah saya masih dipercaya. (Proyek) berjalan, sudah bulan apa, dikasih pakai tanda serah terima uang dari Itoh Rp20 juta,” terangnya.
Namun setelah beberapa kali pencairan, menurut Aep pencairan tersebut berhenti. Padahal, pengiriman bahan material masih berjalan olehnya. Akan tetapi karena rasa tanggungjawab, Aep tetap mengirimkan bahan material sembari mencari kejelasan akan pencairan pembayaran tersebut.
Bahkan menurutnya, beberapa kali dirinya harus menanggung pembelian bahan material yang sebenarnya tidak ada di RAB. Hal itu dilakukan lantaran banyak masyarakat yang mengeluh terkait dengan kekurangan tersebut.
“Yang namanya pengusaha, kami harusnya mengerjakan yang sesuai dengan RAB. Tapi ternyata ada masyarakat yang mengaku kurang, tidak ada barang ini dan itu. Tapi tetap saya berikan, karena kalau saya itu lebih baik tidak ada untung,” ucapnya.
Seiring perjalanan waktu, persoalan pencairan anggaran belum juga usai. Saat ditagihkan ke Itoh, disebutkan bahwa uang pembayaran sudah diberikan kepada orang yang disebut sebagai Qinoy. Ia pun mengejar Qinoy untuk mendapatkan pembayaran tersebut.
“Karena saya sudah bingung mau bayar utang bagaimana. Bos saya sudah nagih, kapan mau dibayarkan. Karena kalau tidak segera dibayar, nama saya yang jelek. Makanya saya kejar Qinoy sampai ke rumahnya. Tapi selalu tidak ada kata orang rumahnya. Padahal kalau kata tetangga, Qinoy ada di rumahnya,” ucap Aep.
Tak berhasil menagih Qinoy, ia pun mendatangi kantor Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) Provinsi Banten, untuk menemui pejabat berinisial D yang merupakan pemegang kegiatan tersebut.
“Saya curhat ke pak D, saya sampaikan bahwa saya bingung bagaimana untuk membayar utang karena anggaran tidak cair-cair. Tapi katanya sudah dicairkan melalui Qinoy itu. Akhirnya tidak ada hasil,” tuturnya.
Tak habis akal, Aep pun kembali mencari informasi kemana sekiranya ia bisa mendapatkan bayaran. Hingga akhirnya ia mengetahui bahwa Koramil pun turut terlibat dalam program tersebut. Ia pun menemui M di markas Koramil Cipocok Jaya.
“Saya pun bertemu dengan M untuk meminta kas bon. Tapi ternyata tidak ditanggapi. Maksudnya mah tinggal nanti kalau sudah cair, potong saja dari pembayaran itu,” ungkapnya.
Bingung persoalan dirinya tak kunjung selesai, kembali datang masalah baru. Pengawas program berinisial A datang kepada dirinya dan menyatakan bahwa pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai. Sebab, masih banyak hal yang belum dikirimkan.
“Loh saya bingung, kok saya ditagih lagi. Seperti engsel, kunci. Padahal dalam Rencana Anggaran Pekerjaan (RAP) itu tidak ada. Tapi kata pengawasnya ada,” jelasnya.
Ia pun menduga bahwa ada permainan yang dilakukan dalam program tersebut. Usut punya usut, ternyata RAB yang ditunjukkan oleh Itoh kepada dirinya diduga bukan RAB asli. Sebab, material dan nominal yang diberikan berbeda dengan yang diberitahu oleh pengawas.
“Karena saat saya cari-cari itu ternyata anggarannya Rp50 juta. Kalau saya lihat itu memang RAP-nya Rp31 jutaan. Makanya saya bingung kenapa di RAP tidak ada, tapi ternyata disebutkan harus ada dalam dokumen yang sebenarnya. Dokumen yang diperlihatkan ke saya juga tidak ada kop suratnya,” ucap Aep.
Menyerah dengan kondisi tersebut, ia pun mendapatkan saran untuk melaporkan kejadian tersebut ke pihak berwajib, baik itu Kejati maupun Kepolisian. Mulanya ia tidak mau mengambil langkah hukum, namun karena dorongan dari teman-temannya, ia pun akhirnya melaporkan ke Polres Serang Kota.
“Sebelum melapor, saya sudah pernah menyampaikan ke pak D kalau saya mau melapor. Tapi katanya kalau lapor, semua ikut kena termasuk saya. Tapi karena dorongan dari teman dan saya juga tidak merasa bersalah, akhirnya Selasa lalu saya laporkan ke Polres Serang Kota,” ucapnya.
Untuk kerugiannya sendiri, ia menuturkan bahwa hingga saat ini masih terdapat sebesar kurang lebih Rp160 juta yang masih belum dibayarkan. “Yang baru dibayar itu Rp122 juta. Kalau kerugian saya karena menombok itu Rp43 juta,” tandasnya.(MUF/DZH)
Tinggalkan Balasan