Pengadaan Lahan Pesta Oknum Timses

SERANG, BANPOS – Upaya hukum KPK dengan menyita dokumen dugaan mark up pembelian lahan SMKN 7 Tangsel, termasuk dua kendaraan disebut-sebut merupakan pintu masuk pengungkapan kasus korupsi lainnya di Pemprov Banten.Sejumlah pengadaan lahan untuk kebutuhan pembangunan SMK, diduga melibatkan sejumlah tim sukses Wahidin Halim (WH)-Andika HAzrumi (AA).

Dalam pemberitaan soal kasus dugaan korupsi pengadaan lahan SMKN 7 Tangsel yang sedang digarap KPK, disebut sejumlah nama yang sudah dimintai keterangan oleh KPK. Selain sejumlah nama mantan pejabat Dindik, satu nama lain yang disebut adalah seseorang dari swasta bernama Farid.

Direktur Eksekutif Aliansi Lembaga Independen Peduli Publik (ALIPP), Udaya Suhada dihubungi BANPOS (5/9) menyebutkan jika Farid adalah tim sukses WH-Andika pada Pilgub Banten. Farid yang bernama lengkap Farid Nurdiansyah ini adalah Ketua Forum Pemuda Betawi (FPB) di Tangsel, juga Ketua WH (Wahidin Halim) Network yang merupakan, kelompok relawan pendukung Pasangan Calon (Paslon) Gubernur Banten Pilkada 2017 Wahidin Halim-Andika Hazrumy di Kota Tangsel.

“Ada. Dia kan dulu timses WH-Andika,” kata Uday saat ditanya apakah Farid ini ada hubunganya dengan WH dan Andika saat Pilgub 2017 lalu.

Bahkan kaya Uday, dua kendaraan yang disita oleh KPK pada Kamis lalu (2/ 9) lalu adalah milik Farid. “Infonya rumah dia juga digeledah dan ada yang disita,” ujarnya.

Farid diduga merupakan orang kepercayaan Abdul Sukur (AS) yang merupakan adik kandung dari WH. Farid membeli lahan SMKN 7 Tagsel dari pemilik pertama hanya Rp7,3 miliar, yang kemudian dibeli oleh Pemprov Banten sebesar Rp17,9 miliar. Sehingga ada selisih Rp10,6 miliar.

Farid dihubungi oleh wartawan melalui telepon genggamnya, namun tidak aktif.

Dugaan mark up atau penggelembungan harga pembelian lahan SMKN 7 Tangsel sekitar Rp10,6 miliar pada APBD Banten tahun 2017, kata Uday, berawal dari pembelian lahan oleh Farid pada pemilik pertama.

Secara terperinci, dari hasil uji petik ALIPP, lahan SMKN 7 Tangsel, terletak di Jalan Cempaka III RT.002/003 dan Jalan Punai I RT.007/008 Bintaro Jaya Sektor II Kelurahan Rengas Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangsel. Pemilik Tanah seluas 6.000 meter persegi tersebut bernama Sofia M. Sujudi Rassat, SH. Beralamat di Jalan Salemba Tengah Nomor 16 RT.001/005 Paseban Kecamatan Senen Jakarta Pusat.

Dalam dokumen Nilai Ganti Rugi (NGR) tanah tersebut dibayar Rp2,997 juta per meter atau total Rp.17,982 miliar yang tertuang dalam SP2D, dan ditransfer oleh Dinas Pendidikan kepada rekening bank BCA KCP Tanah Abang 2 Nomor: 6540068*** milik kuasa pemilik tanah bernama Agus Kartono. Hal ini sudah melanggar aturan. Sebab yang berhak menerima uang tersebut adalah pemilik tanah. Dana tersebut kemudian dicairkan oleh oknum di Dinas Pendidikan bersama Agus Kartono.

Namun dana yang diterima oleh Agus Kartono hanya sebesar Rp10,589 miliar. Kemudian Agus Kartono memberikan uang kepada pemilik Tanah (Sofia M. Sujudi Rassat) sebagaimana yang tertera dalam kwitansi tertanggal 29 Desember 2017, hanya Rp7,3 miliar.

Artinya, dari uang sebesar Rp17,982 miliar, terbagi ke dalam tiga bagian. Satu, diterima oleh pemilik tanah Rp7,3 miliar. Dua, dipegang Agus Kartono sebesar Rp3,289 miliar, sedangkan yang ketiga, uang sebesar Rp7,392 miliar lebih, tidak jelas keberadaannya.

Selain di SMKN Tangsel, aroma timses diendus ALIPP di pengadaan SMAN dan SMKN Cikeusik. Kemudian titik ketiga, lahan SMAN dan SMKN Cikeusik Kabupaten Lebak. Lokasi SMAN Cikeusik berada di Blok Blengbeng Desa Cikeusik Kecamatan Cikeusik Kabupaten Lebak, seluas 16.090 meter persegi. Sedangkan lokasi tanah SMKN Cikeusik berada di Desa Nanggala Kecamatan Cikeusik, seluas 14.784 meter persegi.

Dari Nilai Ganti rugi (NGR) masing-masing sebesar Rp107 ribu dan Rp103 ribu per meter. Dalam temuan di lapangan, para pemilik tanah mengaku hanya menerima uang sebesar Rp60 ribu per meter untuk kedua bidang lahan itu. Sedangkan selisihnya Rp47 ribu per meter dan Rp43 ribu per meter masing-masing sebesaar Rp756,230 juta dan Rp635,712 juta.

Diduga uang selisih itu diambil oleh Tim Sukses Gubernur Wahidin Halim berinisial Dad yang merupakan mantan caleg DPRD Provinsi Banten dari Partai Demokrat Daerah Pemilihan Kota Serang. Sehingga total sisa pembayaran yang diduga diambil oleh Dad sebesar Rp1,391 miliar lebih. Informasi ini diperoleh dari seorang warga Cigeulis Kabupaten Pandeglang yang mengetahui dan ikut langsung sebagai perantara, bernama Wawan.

Selain di Tangsel, ALIPP juga menemukan indikasi korupsi dalam pengadaan lahan SMAN 1 Bojongmanik Kabupaten Lebak. Berdasarkan penelurusan database oleh BPKAD Kabupaten Lebak, pada tahun 2013 tanah tersebut sudah tertulis sebagai aset Pemerintah Kabupaten Lebak seluas 15.000 meter persegi. Namun pada tahun 2017 tanah tersebut dibeli oleh Pemprov Banten sebesar Rp60 ribu per meter persegi dari M. Khusen. Namun, dalam kenyataannya M Khusnen hanya menerima Rp20 ribu per meter.

Dalam hal ini M. Khusen yang saat itu menjabat sebagai Kepala Desa Bojongmanik yang menerangkan bahwa tanah tersebut adalah miliknya. Sedangkan selisihnya Rp40 ribu per meter, diambil oleh pihak oknum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten. Di lokasi tanah/lahan SMAN 1 Bojongmanik, sudah ada bangunan sekolah dan diserahkan oleh Pemkab Lebak kepada Pemprov Banten. Tidak ada gugatan ataupun sengketa. Artinya dalamm kasus ini ada potensi “tanah negara dibeli oleh negara”.

ALIPP juga melihat adanya ketidaklayakan atas lokasi lahan atau tanah SMKN 7 Tangsel, SMKN Cikeusik dan SMAN 1 Bojongmanik Kabupaten Lebak tidak atau belum ada akses jalan masuk, karena terhalang pagar perumahan setempat. Demikian juga dengan jarak yang jauh dengan jalan raya dan atau sekolah filial.

“Dari hasil uji petik di tiga tempat tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa patut diduga telah terjadi praktek Tindak Pidana Korupsi dan Gratifikasi. Menurut perhitungan kami, potensi kerugian keuangan negara atas pembebasan tiga lahan tersebut setidaknya berjumlah Rp12,673 milair lebih,” kata Uday.

Kerugian negara dari tiga titik Rp12,673 miliar lebih tersebut terinci, dari SMKN 7 Tangsel sebesar Rp10,682 miliar, SMAN Bojongmanik Rp600 juta dan SMKN Cikeusik Rp1,391 miliar. “Ini baru tiga lokasi. Dan kalau prediksi saya dari sembilan titik itu bisa mencapai Rp20 miliar lebih. Karena dari toga alokasi yang telah kami uji petik saja, dugaan uang yan dikorupsi itu lebih dari Rp12 miliar,” katanya.

Ditambah lagi, Udah melihat seluruh pengadaan lahan SMA/SMKN pada tahun 2017 tidak memiliki perencanaan matang. Dan terkesan sengaja demi kepentingan pribadi.

“Semua kegiatan FS dan appraisal terindikasi direkayasa atau abal-abal. Akibatnya harga di semua lokasi tidak wajar, diantaranya karena akses jalan ke lokasi tidak layak,” ujarnya.

Oleh karena itu Uday berharap kepada KPK agar melakukan penyelidikan semua titik pembelian lahan SMA/SMK di Provinsin Banten. “Jadi tidak hanya di Tangsel, tapi juga lahan SMA/SMK yang di Kabupaten Serang, Lebak dan lain-lain,” ujarnya.

Untuk itu, tim KPK diharapkan terbuka dan lebih cepat lagi dalam penanganan dugaan korupsi di Pemprov Banten. Masyarakat saat ini menunggu perkembangan atas kasus dugaan korupsi lahan.

“Penting KPK segera publish apa yang sudah mereka lakukan. Sebab tradisi di KPK itu, biasanya penggeledahan diikuti dengan pengaman para tersangkanya,” ujarnya.

Selain pengadaan lahan SMKN 7 Tangsel, ada delapan titik lagi lahan untuk SMA dan SMKN se-Provinsi Banten yang telah dibeli pemprov pada tahun 2017 lalu. Ditambah berdasarkan dokumen APBD Banten pada tahun tersebut, total untuk belanja modal dan belanja barang dana jasa pengadaan lahan beserta biaya konsultan dan opersionalnya mencapai Rp40,868 miliar.

Dari total Rp40,868 miliar terealisasi Rp39,962 miliar terdiri dari pembelian 9 lahan Rp38,893 miliar dan biaya operasional atau pendukung Rp1,069 miliar. Adapun realisasi belanja barang atau jasa sebesar Rp852,12 juta, yang terdiri atas belanja jasa konsultansi Feasibility Study (FS) sebesar Rp426,420 juta dan Jasa Tim Penilai Appraisal sebesar Rp425,7 juta.

Tak tanggung-tanggung uji petik ALIPP di tiga titik dari sembilan titik lokasi lahan, diduga kerugian negara mencapai Rp12 miliar lebih.

Sementara disinggung mengenai banyaknya penghargaan pemprov atas keberhasilan dalam pengelolaan keuangan yang baik dan bersih dari berbagai lembaga, Uday melihat hal tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan.

“Bagi saya ya amburadul. Tapi biarlah publik yang menilai. Beragam penghargaan itu tak berbanding lurus dengan kenyataan. Contoh konkrit soal langkah KPK, diapresiasi oleh Gubernur. Apa maksudnya? Lah yang digarap KPK adalah para anak buahnya di lingkungan Dindikbud. Itu artinya apa? Artinya pemerintah korup. Belum lagi yang digarap Kejati Banten, urusan lahan Samsat Malingping di lingkungan Bapenda, perampokan dana hibah di lingkungan Biro Kesra, Korupsi Masker di lingkungan Dinkes. Silakan buka mata,” ujarnya.

Karena itu, ALIPP meminta kepada KPK agar melakukan penyelidikan kasus dugaan korupsi pengadaan komputer yang telah dilaporkan juga berbarengan dengan lahan SMA/SMKN. Sehingga penyelenggara pemerintah di Provinsi Banten tidak serampangan dalam mengelola uang APBD milik 12 juta rakyat Banten.

“Pengadaan Komputer UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer) senilai Rp 40 miliar. Ini juga kami melhat adanya dugaan korupsi. Saya harap KPK mendalami data dan dokumen ya telah kami sampaikan pada tahun 2018 lalu, ” harapnya.

Sementara, pada Kamis (2/9) lalu, Kepala Dindikbud Provinsi Banten, Tabrani, mengaku bahwa dirinya tidak tahu menahu terkait dengan penggeledahan KPK di kantor Dindikbud Provinsi Banten pada Selasa (31/8).

“Sejauh yang saya tahu tidak ada, meskipun memang Selasa itu saya ada tugas di luar, tapi saya tidak mendapatkan informasi kalau ada kegiatan penggeledahan. Jadi sejauh yang saya tahu itu tidak ada (penggeledahan),” kata Tabrani kepada awak media.

Namun Tabrani mengungkapkan bahwa dirinya mengetahui adanya penyelidikan yang dilakukan oleh KPK, atas pengadaan lahan SMKN 7 Kota Tangerang Selatan yang merupakan kegiatan tahun 2017. Akan tetapi menurutnya, ia belum menjabat pada saat itu.

“Peristiwa itu terjadi tahun 2017, sedangkan saya masuk di Dindik pada Oktober tahun 2020. Jadi saya tidak tahu,” ucapnya.

Namun saat ingin dikonfirmasi ulang oleh BANPOS, Tabrani tidak kunjung merespon. Beberapa kali BANPOS mencoba melakukan konfirmasi melalui sambungan telepon, namun tidak diangkat. Begitu pula dengan pesan WhatsApp yang dikirim, tidak mendapat jawaban.(RUS/ENK)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *