‘Bancakan’ Cuan Sekolah

UNDANG-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 49 ayat 1 telah mengatur bahwa besaran anggaran pendidikan dari APBD dan APBN di luar gaji pendidikan dan biaya pendidikan kedinasan, minimal dialokasikan sebesar 20 persen.

Besarnya anggaran untuk pendidikan hingga seperlima total anggaran APBD dan APBN diharapkan menjadi salah satu modal, dalam melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan dapat bersaing.

Akan tetapi, beberapa peristiwa dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) serta karut-marut dalam pengelolaan anggaran, justru sering kalinya muncul dari dunia pendidikan di Provinsi Banten. Bahkan beberapa diantaranya tengah ‘digarap’ oleh Korps Adhyaksa hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Seperti kasus dugaan korupsi pada pengerjaan Feasibility Study (FS) untuk pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) pada Dindikbud Provinsi Banten. Proyek pembuatan FS tersebut diduga bodong alias fiktif, lantaran tidak ada pembangunan atau tindak lanjutnya.

Kasi Penkum pada Kejati Banten, Ivan H. Siahaan, mengatakan bahwa kasus dugaan pengadaan FS fiktif pembangunan USB pada Dindikbud Provinsi Banten senilai Rp800 juta, saat ini masih dihitung kerugian negaranya oleh BPK.

“Masih Perhitungan Kerugian Negara (PKN) di BPK. Ini kan kasus tunggakan, dari yang sebelum-sebelumnya,” ujar Ivan saat dihubungi BANPOS melalui sambungan telepon, Sabtu (11/9).

Kasus pengadaan FS fiktif pembangunan USB tersebut mencuat setelah LSM Perkumpulan Maha Bidik Indonesia melaporkan dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) tersebut ke Kejati Banten pada 2019 yang lalu.

Mereka menduga bahwa proyek pengerjaan FS senilai Rp800 juta pada tahun anggaran 2018 tersebut untuk pembangunan USB dan perluasan sekolah SMA dan SMK, telah dikorupsi. Beberapa pihak telah dipanggil untuk dimintai keterangan, mulai dari Kepala Sekolah, PPTK kegiatan hingga mantan sekretaris Dindikbud Provinsi Banten, Djoko Waluyo.

Kepada BANPOS, Ketua Maha Bidik, Moch Ojat Sudrajat mengungkapkan, laporannya ke Kejati Banten berawal dari dibatalkannya sejumlah proyek pengadaan lahan sekolah di tahun 2018. Dalam angaran itu, juga tertera anggaran untuk Belanja Jasa Konsultasi Perencanaan untuk Belanja Modal Tanah – Pengadaan Tanah Untuk Bangunan Gedung sebesar Rp1,6 miliar.

Untuk jasa konsultasi itu dibagi dua, yaitu belanja Jasa Konsultan FS sebesar Rp800 juta dan belanja Jasa Konsultan Appraiser sebesar Rp800 juta. Kedua jasa konsultasi itu seharusnya dikerjakan untuk 16 titik lokasi,” kata Ojat.

Namun, meski dibatalkan, Ojat mengungkapkan, bahwa Dindikbud Banten telah dilakukan pembayaran jasa kepada pihak perusahaan penyedia jasa, pada tanggal 26 dan 27 Desember 2018. KArena itu, pihaknya melihat ada potensi kerugian keuangan daerah di Provinsi Banten atas pembayaran tersebut sebesar Rp782,539 juta.

Ojat juga membeberkan, ada dua dua orang pejabat pengadaan lahan di Dindikbud Banten di tahun anggaran 2018 yang diduga seharusnya tidak berhak untuk mencairkan dana pembayaran FS kepada pihak ketiga. Dua pejabat itu termasuk seorang Pegawai Negeri Sipil dari Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi (BPKP) Banten yang dipekerjakan di Dindikbud Banten, berinisial DW.

“Bapak DW dipekerjakan di Pemprov Banten dengan masa tugas selama tiga tahun berdasarkan surat dari BPKP dengan nomor : R-1168/SU/02/2014 tanggal 7 Juli 2014 dan ditempatkan serta dipekerjakan di Pemprov Banten dengan dasar Keputusan Gubernur Banten Nomor : 800/Kep.55-BKD/2015 tanggal 15 Januari 2015,” kata Ojat.

Dengan begitu, kata Ojat, masa kerja DW di Dindikbud Banten seharusnya habis pada 3 Februari 2018. Namun, pada 5 April 2018 DW justru sebagai diangkat sebagai sekretaris di Dindikbud Banten berdasarkan Keputusan Gubernur Banten Nomor : 821.2/KEP.95-BKD/2018 tanggal 5 April 2018. Posisi ini juga sekaligus membuat DW secara otomatis menjadi kuasa pengguna anggaran (KPA) di Dindikbud Banten.

“Sehingga dapat diduga pengangkatan Bapak DW sebagai sekretaris di Dindikbud Banten sudah berakhir. Sedangkan Pemprov Banten baru mengajukan Permohonan Perpanjangan Jangka waktu dipekerjakan PNS BPKP yang salah satunya adalah Bapak JOKO WALUYO dengan surat nomor : 800/3128-BKD/2018 tanggal 5 Oktober 2018,” ungkap Ojat.

Selain itu, Ojat juga mengungkapkan dugaan peran seorang pejabat lain yang bertugas sebagai pejabat teknis pelaksanan kegiatan (PPTK) dalam kegiatan pengadaan lahan itu. PPTK dalam kegiatan itu diduga telah menandatangani dokumen-dokumen sebelum dirinya ditetapkan sebagai PPTK.

“Diantaranya dokumen berupa Nota Pencairan Dana (NPD) Tanpa nomor tanggal 13 Desember 2018 yang ditandatangani oleh PPTK, sehingga diduga ada beberapa dokumen lainnya yang ditandatangani oleh pejabat yang menyatakan dirinya sebagai PPTK padahal saat ditandatanganinya dokumen tersebut belum ditetapkan sebagai PPTK,” kata Ojat.

Kasi Penkum pada Kejati Banten, Ivan H. Siahaan, mengatakan bahwa kasus dugaan pengadaan Feasibility Study (FS) fiktif pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) Dindikbud Provinsi Banten senilai Rp800 juta, saat ini masih dihitung kerugian negaranya oleh BPK.

“Masih Perhitungan Kerugian Negara (PKN) di BPK. Ini kan kasus tunggakan, dari yang sebelum-sebelumnya,” ujar Ivan.

Kasus pengadaan FS fiktif pembangunan USB tersebut mencuat setelah LSM Perkumpulan Maha Bidik Indonesia melaporkan dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) tersebut ke Kejati Banten pada 2019 yang lalu.

Mereka menduga bahwa proyek pengerjaan FS senilai Rp800 juta pada tahun anggaran 2018 tersebut untuk pembangunan USB dan perluasan sekolah SMA dan SMK, telah dikorupsi.

Beberapa pihak telah dipanggil untuk dimintai keterangan, mulai dari Kepala Sekolah, PPTK kegiatan hingga mantan sekretaris Dindikbud Provinsi Banten, Djoko Waluyo.

Digarap KPK
Sebelum kasus FS, dugaan bancakan dana sekolah juga terjadi di Dindikbud Banten pada 2017 lalu. Tepatnya pada pembebasan lahan untuk pembangunan SMK Negeri 7 Kota Tangerang Selatan (Tangsel). Dalam pembebasan tersebut, Pemprov Banten merogoh kocek hingga Rp17,9 miliar.

Direktur Aliansi Independen Peduli Publik (ALIPP), Uday Suhada, yang juga merupakan pelapor dugaan korupsi tersebut mengatakan, berdasarkan hasil temuan pihaknya, terjadi transaksi yang mencurigakan. Pasalnya, dalam pembebasan lahan tersebut, diduga terdapat beberapa pihak yang ikut menikmati pembebasan. Sebab, pemilik lahan yang dibebaskan yakni Sofia, hanya menerima uang ganti rugi sebesar Rp7,3 miliar dari anggaran pembebasan lahan sebesar Rp17,9 miliar. Uang tersebut pun tidak ditransfer ke rekening Sofia, melainkan melalui kuasa pemilik tanah berinisial AK.

Adapun sisanya, diduga telah dipotong sejak pertama melakukan transfer ke rekening AK. Karena, yang ditransfer ke rekening AK hanyalah Rp10.589.063.000 saja. Sedangkan untuk sisanya yakni Rp7.392.937.000, tidak diketahui keberadaannya. AK selaku kuasa pemilik tanah pun menerima sebesar Rp3.289.063.000.

“Artinya, yang riil untuk pembebasan tanah itu Rp7,3 miliar. Sedangkan Rp10,6 miliar itu yang patut dipertanyakan,” terang Uday.

Untuk diketahui, tanah seluas 6.000 meter persegi tersebut berdasarkan dokumen Nilai Ganti Rugi (NGR), dihargai per meter persegi sebesar Rp2.997.000.

Pada tahun 2017, Dindikbud Provinsi Banten bukan hanya melakukan pembangunan dan pembebasan lahan untuk SMKN 7 Tangsel saja, namun terdapat 8 sekolah lainnya yang dibangun dan dilakukan pembebasan lahan. Selain SMKN 7, ALIPP pun menemukan kejanggalan pada dua lokasi pembebasan lahan.

Seperti yang terjadi pada pembebasan lahan SMAN 1 Bojongmanik, Kabupaten Lebak. Menurut ALIPP berdasarkan penelusuran, lahan seluas 15 ribu meter persegi yang dibebaskan oleh Pemprov Banten, ternyata telah tercatat sebagai aset milik Pemkab Lebak. Terdapat potensi ‘tanah negara dibeli oleh negara’.

MK selaku Kades Bojongmanik pada saat itu, mengaku bahwa tanah tersebut merupakan miliknya. Hingga akhirnya dibeli oleh Pemprov Banten seharga Rp60 ribu per meter persegi. Namun, yang didapat oleh MK hanyalah Rp20 ribu per meter persegi saja. Rp40 ribu lainnya diduga dinikmati oleh oknum Dindikbud Provinsi Banten.

Lalu, ALIPP juga menemukan kejanggalan pada pembebasan lahan SMAN dan SMKN CIkeusik, Kabupaten Lebak. Lokasi SMAN Cikeusik berada di blok Blengbeng, Desa Cikeusik, Kabupaten Lebak seluas 16.090 meter persegi. Sedangkan lokasi tanah SMKN Cikeusik berada di Desa Nanggala, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Lebak dengan luas 14.784 meter persegi.

Nilai ganti rugi yang telah ditetapkan untuk tanah di Blok Blengbeng yakni Rp107 ribu per meter persegi. Adapun untuk ganti rugi di Desa Nanggala sebesar Rp103 ribu per meter persegi. Namun ternyata, berdasarkan pengakuan pemilik tanah, mereka hanya dibayarkan sebesar Rp60 ribu per meter persegi saja.

Selisih yang muncul pada pengadaan tanah tersebut sebesar Rp756.230.000 pada pengadaan lahan di blok Blengbeng dan Rp635.712.000 pada pengadaan lahan di Desa Nanggala diduga diambil oleh salah satu tim sukses Gubernur Banten, inisial Dad. Informasi tersebut didapat dari perantara pengadaan lahan, inisial Waw.

ALIPP juga melihat adanya ketidaklayakan atas lokasi lahan atau tanah SMKN 7 Tangsel, SMKN Cikeusik dan SMAN 1 Bojongmanik Kabupaten Lebak, karena tidak adanya akses jalan masuk, karena terhalang pagar perumahan setempat. Demikian juga dengan jarak yang jauh dengan jalan raya dan atau sekolah filial.

“Dari hasil uji petik di tiga tempat tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa patut diduga telah terjadi praktek Tindak Pidana Korupsi dan Gratifikasi. Menurut perhitungan kami, potensi kerugian keuangan negara atas pembebasan 3 lahan tersebut setidaknya berjumlah Rp12,673 milair lebih,” ujar Uday.

Minggu pertama di bulan September, KPK merilis upaya hukum yang telah dilakukan oleh lembaga anti rasuah tersebut atas dugaan kasus korupsi pada pengadaan lahan SMKN 7 Tangsel. Beberapa barang pun diamankan untuk dijadikan sebagai barang bukti, salah satunya yakni dua unit mobil.

Plt. Juru bicara KPK, Ali Fikri, dalam keterangannya mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan upaya paksa penggeledahan, terhadap beberapa kediaman dan kantor pihak-pihak yang berkaitan dengan pengadaan lahan SMKN 7 Tangsel.

“Tim Penyidik telah selesai melakukan upaya paksa penggeledahan di beberapa tempat di wilayah Jakarta, Tangerang Selatan, Serang dan Bogor, yaitu rumah kediaman dan kantor dari para pihak yang terkait dengan perkara ini,” ujarnya melalui keterangan tertulis beberapa waktu yang lalu.

Ia mengatakan, dalam penggeledahan yang dilakukan pada Selasa (31/8) lalu tersebut, pihaknya mengamankan beberapa barang. Ke depan, barang tersebut akan dijadikan sebagai barang bukti perkara.

“Selama proses penggeledahan tersebut, telah ditemukan dan diamankan berbagai barang yang nantinya akan dijadikan sebagai barang bukti diantaranya dokumen, barang elektronik dan dua unit mobil,” tuturnya.

Barang-barang tersebut pun akan dilakukan analisa dan menurutnya akan segera dilakukan penyitaan untuk melengkapi berkas perkara tersebut. Kendati demikian, Ali Fikri mengaku belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut.

“KPK belum dapat menginformasikan secara menyeluruh konstruksi perkaranya dan siapa saja pihak-pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka,” katanya.

Namun menurutnya, informasi lebih detail mengenai perkara tersebut akan diumumkan apabila telah dilakukan upaya paksa penangkapan dan atau penahanan terhadap para tersangka.

“KPK nantinya akan selalu menyampaikan kepada publik setiap perkembangan penanganan perkara ini, dan kami berharap publik untuk juga turut mengawasinya,” terangnya.

Kepala Dindikbud Provinsi Banten, Tabrani, enggan mengomentari mengenai beberapa kasus dugaan korupsi, yang saat ini tengah digarap oleh Korps Adhyaksa maupun KPK. Menurutnya, beberapa kasus tersebut terjadi sebelum dirinya menjabat.

“Ya jangan tanya yang tahun sebelumnya, saya mah ogah. Saya mah kan baru menjabat kepala dinas 15 Oktober tahun 2020,” ujarnya dikonfirmasi melalui sambungan telepon.

Namun ia menjelaskan bahwa pada 2021 ini, pihaknya memang telah merencanakan adanya pembangunan beberapa unit sekolah baru (USB).

“Satu diantara tujuan itu adalah untuk menyiapkan USB bagi sekolah-sekolah filial yang ada di Provinsi Banten, dan memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap SMA, SMK dan SKh,” tuturnya.

Menurutnya, Dindikbud Provinsi Banten telah melakukan beberapa pembebasan lahan untuk pembangunan USB itu. Namun ternyata, rencana pembangunannya tidak sesuai dengan yang direncanakan, karena terjadi refocusing anggaran sehingga beberapa USB tidak jadi dibangun.

“Tetapi juga tetap ada yang dilaksanakan. Misalkan ada yang di Lebak, Banten Selatan. Di situ kan banyak sekolah-sekolah filial yang masih menumpang di sekolah lain. Bagaimana dengan yang lainnya? Kami tetap akan bangun. Ini kan prosesnya masih berjalan, untuk tanah yang sudah kami beli pada 2021, akan kami bangun di tahun 2022 besok. Mudah-mudahan awal tahun sudah bisa dibangun,” ungkapnya.

Dalam pembebasan lahan tersebut, Tabrani mengakui bahwa pihaknya telah mengikuti aturan dan prosedur yang berlaku. “Saya dalam merencanakan sebuah pembangunan, saya akan tetap berpegang pada prosedur dan aturan yang ada,” ujarnya.

Ia mengatakan, pada pengadaan lahan untuk pembangunan USB tersebut, pihaknya telah memilih konsultan yang kredibel sehingga hasil dari Feasibility Study atau Uji Kelayakan tanah untuk pembangunan, benar-benar layak untuk dibangun sekolah.

“Kalau pengadaan lahan, kami akan awali dengan mengadakan Feasibility Study yang dilakukan oleh konsultan yang kredibel. Biarlah dia yang menilai, titik mana yang menurut konsultan layak untuk digunakan, itu yang kami pakai. Tidak boleh ada intervensi dari siapapun,” katanya.

Setelah ditemukan lokasi lahan yang menurut konsultan layak untuk dibangun, pihaknya pun melakukan koordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN), agar tanah tersebut mendapatkan surat keterangan tanah dari BPN.

“Kami berkoordinasi dengan BPN. Itu untuk melakukan pengukuran sampai dengan keluar Surat Keterangan Tanah oleh BPN. Setelah BPN selesai, maka kemudian kami serahkan kepada konsultan appraisal untuk menilai berapa harga jual dari tanah tersebut,” jelasnya.

Jika konsultan appraisal sudah mengeluarkan nilai jual tanah, pihaknya baru menyampaikan harga tersebut kepada pemilik tanah. Sehingga jika pemilik tanah bersepakat dengan nilai harga hasil appraisal, tanah tersebut akan dibeli.

“Setelah appraisal, maka kami sampaikan kepada pemilik. Kalau dia setuju, maka terjadi proses jual beli. Kalau si pemilik tidak setuju, maka tidak boleh. Tidak jadi jual beli. Jika memang seluruhnya sudah selesai, maka dilakukan pembayaran,” ungkapnya.(RUS/DZH/ENK)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *