SERANG, BANPOS – Administrasi hibah ponpes pada tahun 2017 terungkap tidak sesuai jadwal penyusunan anggaran dan banyak intervensi dari Gubernur Banten, Wahidin Halim (WH). Bahkan, menurut saksi yang merupakan mantan wakil Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), WH menyebut alasannya agar tidak dimintai bantuan setiap saat.
Demikian yang terungkap dalam lanjutan sidang dana hibah Ponpes dengan agenda menghadirkan tiga saksi, Senin (27/9) di Pengadilan Tipikor Serang.
Ketiganya adalah mantan pejabat di lingkungan Provinsi Banten, diantaranya mantan Sekda, Ranta Soeharta, mantan Kepala Bappeda, Hudaya Latuconsina dan mantan kepala BPKAD dan BUD, Nandy Mulya Sudarman.
Berdasarkan keterangan saksi, mantan Kepala Bappeda, Hudaya Latuconsina, WH memerintahkan untuk mengalokasikan dana sejumlah Rp120 miliar untuk dana hibah Pondok Pesantren (Ponpes). Dana tersebut, seharusnya digunakan untuk penyertaan modal BUMD Bank Banten yang saat itu sedang dalam keadaan kolaps.
“Beliau (WH) memanggil saya ke ruangan, menyampaikan permintaan, ‘apakah memungkinkan untuk bantuan Ponpes, apakah masih tersedia anggaran’. Secara kebetulan, anggaran masih bisa diperbaiki sehubungan pak Gubernur sepakat untuk anggaran bantuan modal Bank Banten Rp120 miliar digunakan untuk hibah Ponpes,” ujar Hudaya.
Ia sebagai mantan wakil ketua tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) juga mengakui, perjalanan keputusan Gubernur Banten memang tidak sesuai jadwal. Seharusnya, pembahasan program untuk ditetapkan dalam KUA-PPAS dilakukan pada bulan Mei 2017.
“Bantuan Ponpes Rp20 juta perintah langsung oleh Gubernur, kemudian dibahas oleh TAPD. Tanggal 1 Mei, beliau (WH) memanggil saya untuk menanyakan adakah anggaran untuk hibah Ponpes, pak Gubernur mengatakan ‘biar saya nggak dimintai sarung terus’,” katanya.
Hudaya mengatakan, KUA-PPAS ditetapkan pada bulan Juni 2017. Saat bersama dengan WH, ia mengaku sudah mengatakan bahwa prioritas utama anggaran saat itu adalah untuk pemulihan Bank Banten.
“Saya juga kurang mengerti mengapa Gubernur lebih memilih untuk menggunakan uang tersebut untuk hibah Ponpes, padahal yang dikatakan lebih urgent (mendesak, red) saat itu adalah pemulihan BUMD Bank Banten. Saat saya tanya, dijawab ‘suka-suka gua lah’,” katanya menirukan WH saat berbincang dengannya.
Hudaya menceritakan bahwa saat itu, WH yang baru saja dilantik meminta dirinya untuk menganggarkan sejumlah Rp25 juta per Ponpes, namun ia menolak karena anggaran Pemprov Banten tidak cukup.
“Saya sempat menyarankan ke Gubernur bahwa nilainya disesuaikan dengan jumlah masing-masing santri, tapi pak Gubernur tetap dengan nilai Rp20 juta,” ucapnya.
Selanjutnya, ia melakukan pertemuan dengan Sekda yang saat itu dijabat oleh Ranta. Ia membawa hasil pembahasan dengan Gubernur, bahwa disepakati setiap Ponpes mendapatkan dana hibah sejumlah Rp20 juta.
“Selain itu, ada bantuan-bantuan hibah diluar Rp20 juta. Teknisnya saya kurang mengetahui, apakah Ponpes yang telah mendapatkan itu bisa mendapatkan hibah lagi atau tidak, bantuannya ada macam-macam, mulai Rp20 juta sampai Rp200 juta,” tuturnya.
Hudaya mengungkapkan, permintaan dari Gubernur sudah lewat batas waktu. Kata dia, sebenarnya apabila program tersebut melalui proses usulan, batas waktu usulan adalah bulan Mei.
“Ini posisinya terbalik, bukan karena pengajuan permohonan, tapi karena perintah. Kami tidak melihat usulan dari Ponpes, dan upaya yang kita lakukan untuk mengetahui ribuan nama Ponpes itu meminta data dari Kemenag dengan data 3200-an, lalu kita menetapkan dalam rangka rencana APBD yang dibahas kembali dengan adpem,” jelasnya.
Saat ditanya oleh hakim ketua dan hakim anggota, Hudaya menegaskan bahwa program hibah Ponpes merupakan perintah Gubernur Banten melalui lisan. Kaitanya dengan Forum silaturahmi pondok pesantren (FSPP), ia sendiri tidak mengetahui sejauh mana kedekatannya dengan WH saat itu.
“Ini perintah Gubernur, melalui lisan. Rencana anggarannya, ada anggaran Rp120 miliar yang tidak akan digunakan untuk penangguhan Bank Banten, Gubernur menolak untuk menambah dana Bank Banten,” ujarnya.
Hudaya mengatakan, secara organisasi, FSPP sudah biasa bersinergi dengan Pemprov Banten dalam berkegiatan. Sehingga, pihaknya memaklumi ketika mereka mengusulkan dana operasional di luar dari dana hibah Ponpes sejumlah Rp5-6 miliar pada tahun 2017.
“Untuk hibah Ponpes ini adalah perintah langsung oleh Gubernur ke Ponpes pada bulan Mei, tidak melalui FSPP,” katanya.
Namun saat dimintai keterangan lebih lanjut soal keterlibatan FSPP dalam pendistribusian dana hibah Ponpes, ia mengaku baru mengetahui tanggal 20 Mei 2018 saat dirinya menjadi pendamping. Saat itu ia pertama kali melihat dokumen naskah Pergub nomor 49 tahun 2017 tentang hibah Ponpes di bagian lampiran penjabaran, berbeda saat dirinya masih menjadi TAPD.
“Saya baru tahu pendistribusian bantuan melalui FSPP tanggal 20 Mei. Saat saya menjadi pendamping (pensiun) dan itu pertama sekali saya melihat dokumen (Pergub) hibah ponpes, tapi lampiran penjabaran Gubernur itu berbeda,” jelasnya.
Sebelumnya, ia hanya mengetahui bahwa dalam lampiran itu dinyatakan realisasi dana hibah ponpes dilaksanakan oleh Kesra. Tetapi dalam naskah lampiran, disebutkan bahwa FSPP ditunjuk sebagai lembaga penerima dan penyalur dana hibah ke pesantren-pesantren.
“Setelah itu saya tidak tahu lagi, karena bulan Juli saya sudah pensiun,” ucapnya.
Sebelumnya, dari nilai Rp66 miliar hibah 2018, rinciannya yakni untuk operasional rutin sekretariat FSPP banten Rp3,8 miliar dan program pemberdayaan 3.122 ponpes dengan besaran masing-masing Rp20 juta dengan total Rp 62 miliar. Namun dalam dakwaan JPU kegiatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh FSPP. Sementara untuk pelaksanaan hibah ponpes 2020, negara mengalami kerugian Rp5,3 miliar dari Rp117 miliar total anggaran.
“Intinya, instruksi hibah Ponpes adalah instruksi top-down. Lampiran 3 dalam Pergub Ponpes adalah bentuk operasional dana hibah untuk ponpes. Tetapi tanggal 20 Mei saya diperiksa di kejati, saya melihat tidak sesuai antara proses diawal dengan Pergub. Konteks dalam lampiran diluar konteks pembahasan APBD,” tandasnya.
Saksi lainnya, mantan Sekda Banten, Ranta Soeharta mengungkapkan, hibah ponpes sudah berdasarkan aturan, karena dana hibah Ponpes sudah diverifikasi, maka dirinya membuat rekomendasi usulan langsung ke Gubernur.
“Diusulkan Tahun 2017. Kalau nggak salah di RKPD KUA PPAS untuk hibah (keseluruhan) Rp2 triliun, untuk Ponpes, kalau nggak salah Rp66 miliar, terus dikurangi karena ada biaya operasional, jadi sekitar Rp64 miliar,” ujarnya.
Ia mengaku tidak begitu banyak mengetahui akan keterlibatan FSPP dalam perkara hibah Ponpes. Ia hanya mengetahui bahwa FSPP adalah lembaga yang membina pondok pesantren.
“Saya dengan FSPP nggak (dekat), setahu saya di dinas badannya, bahwa biro Kesra kerjasama dengan FSPP mungkin,” katanya.
Saat ditanya oleh Hakim, ia lebih banyak menjawab tidak tahu dengan alasan sedikit lupa. Kemudian untuk realisasi pun, ia mengatakan tidak mengetahui secara mendetail.
“Dalam KUA-PPAS masuk operasional FSPP Rp1 miliar, disini FSPP saja,” katanya.
Karena ada kesepakatan perjanjian NPHD, seharusnya Ponpes melaporkan realisasi, namun ia tidak mengetahui apakah pelaporan ditujukan kepada Gubernur Banten atau Kesra. Ia mengaku mendengar terjadi kasus dalam realisasi dana hibah Ponpes, bahwa ada pemotongan-pemotongan dana yang seharusnya diterima utuh oleh Ponpes.
“Dari informasi yang saya dapat, ada yang fiktif, ada yang dipotong. Saya secara detail tidak tahu, saya dengarnya itu, saya pensiun Juli,” tandasnya.
Sementara itu, saksi terakhir yang dimintai keterangan yaitu Nandi. Sebagai kepala BPKAD sekaligus BUD, ia mengaku jarang mengikuti rapat hibah Ponpes.
“Saya jarang ikut rapat, biasanya diwakilkan oleh kabag. Kalau info setelah saya dipanggil untuk di BAP terkait dengan masalah hibah Ponpes ini, saya menjelaskan mengenai tahapan teknis pencairan. Sesuai dengan Perda dan Pergub, pencairan dapat dilakukan melalui SKPD yang bersangkutan yang mengusulkan pencairan ke BPKAD dan BUD,” jelasnya.
Kaitannya dengan pencairan dana hibah Ponpes, ia mengatakan bahwa tanda tangan dirinya sebagai kepala badan dan BUD dikuasakan oleh bidang. Mulanya, ia menerima usulan dari SKPD untuk pencairan.
“Jadi yang tandatangan itu di bawah. Saya menerima usulan dari SKPD yang mengusulkan pencairan. Setelah verifikasi ke bawah, sampai terbit SP2D tidak ada laporan, berarti sudah lengkap, sudah cair,” katanya.
Ia menyebut bahwa mekanisme pencairan sesuai aturan Kemendagri dan Pergub. Untuk Ponpes sendiri, ia mengaku lupa.
“Saat itu saya tidak ingat, kebetulan saya diperlihatkan di penjabaran (pemeriksaan Kejati), saya baru tahu. Kalau FSPP itu memang sudah dikenal sejak lama, tapi mengenai menerima hibah saya baru tahu tahun 2018, itu karena memang di TAPD yang dipimpin oleh wakil ketua 1 ditayangkan siapa yang menerima hibah,” jelasnya.(MUF/PBN)
Tinggalkan Balasan