SERANG, BANPOS – Kuasa Hukum dari salah satu korban pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh Presiden Mahasiswa (Presma) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), KZ, mengungkapkan bahwa pihaknya disarankan oleh Wakil Rektor III Untirta, Suherna, untuk mencabut laporan yang dilayangkan ke Polres Serang Kota tempo beberapa waktu lalu. Selain itu, pihaknya juga disarankan untuk menyelesaikan kasus secara kekeluargaan.
“Intinya pak Suherna menelepon sejak siang pukul 2-3 an, tapi tidak terangkat. Begitu saya telpon kembali dan tanya ada apa, langsung beliau menjawab udah lah kalau bisa mah dicabut laporannya, enggak usah sampai ke polisi, diselesaikan secara kekeluargaan,” ujar Rizki Arifianto, kemarin.
Berdasarkan penuturannya, ketika ditelepon, Suherna mengaku kasihan kepada terduga pelaku dan korban disebut tidak diapa-apakan. Kasihan kepada terduga pelaku, karena menurutnya terduga pelaku sudah mendapat sanksi sosial dan lain-lain.
“Saya jawab, nggak bisa kalau kayak begitu. Karena perspektif saya, persepektif korban. Korban dapat (terkena dampak) psikologis dan lain-lain, tekanan psikologis dari pelaku, nggak bisa diselesaikan secara baik-baik,” tegasnya.
Rizki menceritakan, saat itu Suherna mengatakan bahwa korban terkena dampak psikologis karena adanya pemberitaan di berbagai media. Namun ia mengaku dalam mendampingi kasus pelecehan seksual bukan hanya satu dua kali saja, bahkan ada yang sama sekali tidak terpublikasi oleh media massa ataupun elektronik.
“Saya bilang, pak saya nanganin kasus kayak gini bukan sekali dua kali di LBH Rakyat Banten. Pernah ada kasus yang nggak ke- blow up di media, kasus pelecehan seksual, dia (korban) tetap kena psikologisnya,” tuturnya.
Menjawabi hal itu, Suherna menyebut bahwa kasus pelecehan seksual yang diduga melibatkan Presiden Mahasiswa (Presma) Untirta dan dua korban itu ambigu, lantaran tidak ada saksi dan tidak ada bukti.
“Pak Suherna bilang, oh gitu, yaudah kalau gitu. Lagian kan kasusnya ambigu, nggak ada saksi nggak ada bukti,” ujarnya menirukan Suherna saat bertelepon.
Kepada Suherna ia menjelaskan, didalam kasus pelecehan seksual, korban bisa bertindak sebagai saksi. Apabila ditanyai perihal bukti, ia mengungkapkan ada bukti diantaranya korban sudah visum, baju yang dipakai korban ketika mendapatkan perlakuan dari si terduga pelaku, surat pengakuan pelaku, tandatangan pelaku dan video pengakuan pelaku.
“Itu adalah bukti permulaan yang cukup pak buat polisi mengembangkan kasus ini. Akhirnya dia (Suherna) mengatakan ‘yaudahlah kalau gitu mah, bapak cuma mau kasih saran doang’,” tuturnya mengulangi apa yang disampaikan Suherna.
Rizki mengatakan kepada Suherna bahwa saran tersebut diterima. Ia juga mengingatkan, ini adalah kasus yang sudah masuk ke ranah hukum dan lain-lain, Instansi tidak ada sangkut paut soal kasus tersebut.
“Lalu untuk apa bapak mencoba untuk memberikan saran biar kita tarik pelaporan ini. Karena kita nggak mau tarik laporan ini, walaupun saran dari bapak ini akan saya sampaikan kepada rekan-rekan pengacara yang lain, kepada pihak korban dan kepada pihak keluarga korban. Tapi saya nggak bisa menjanjikan ke bapak bahwa saya akan tarik laporan ini, karena prespektifnya juga sudah beda bapak sama saya, kalau bapak perspektifnya kasihan pelaku, kalau saya perspektifnya dari korban,” jelasnya.
Sejauh ini, perkembangan kasus pelecehan seksual yang sudah ditangani pihak kepolisian ini, si terduga pelaku masih dipanggil untuk memberikan keterangannya sebagai saksi. Hanya saja, hingga saat ini, pelaku belum juga memenuhi panggilan dari pihak kepolisian yang keduakalinya.
“Panggilan ketiga, baru polisi bisa bertindak jemput paksa kalau sampai si terduga pelaku ini yang dipanggil sebagai saksi untuk memberikan keterangan, tidak datang-datang juga,” terangnya.
Disisi lain, LBH Rakyat Banten juga akan terus memfollow up ke Polres Serang terkait perkembangan kasus pelecehan seksual tersebut. Meskipun saat ini terduga pelaku sama sekali tidak ada komunikasi kepada pihak kuasa hukum korban.
“Terduga pelaku ini sama sekali nggak ada komunikasi, lost kontak, nggak aktif dan sebagainya. Makanya kita tidak tahu juga terduga pelaku ada di mana posisinya, tapi mungkin polisi tahu, kita nggak tahu posisi terduga pelakunya dimana. Yang jelas, surat pemanggilan terduga pelaku sebagai saksi untuk memberikan keterangan di Polres sudah diberikan sesuai dengan prosedural,” jelasnya.
Saat ditanyai apakah ada intimidasi terhadap korban, Rizki menjawab untuk korban pertama yang sudah melapor, tidak ada. Akan tetapi, korban kedua mengaku khawatir akan adanya intimidasi.
“Karena dia (korban kedua) pernah mendengar kajurnya berbicara soal kasus tersebut, karena kan psikologi korban kedua ini, satu jurusan sama pelaku,” tandasnya.
Sementara itu, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Suherna, membantah bahwa dirinya menyarankan kuasa hukum korban untuk mencabut laporan. Namun, ia menyatakan bahwa pihaknya hanya melakukan pendekatan, supaya tidak terjadi kehebohan dan mengaku kasihan terhadap korban.
“Nggak (menyarankan), bukan mencabut laporan. Artinya kan sudahlah damai saja, gitu aja. Itu juga bukan saran ke korban, silahkan saja itu kan individu kalau pidana itu. Kita secara organisasi, bahwa kita sudah memberikan sanksi organisasi, sanksi akademis, kan begitu ya. Urusan itu (laporan) mah individual itu mah, pidana mah (individu) dimana juga,” jelasnya.
Ia menyatakan, pihaknya melakukan pendekatan supaya tidak terjadi kehebohan lagi dan kasihan kepada para korban. Berbicara pidana, kata dia, ada kemanusiaannya.
“Ya silahkan saja gitu kalau saya mah, tidak ada kepentingan apapun. Kan sebagai pembina, namanya pembina kan harus menetralisir. Ya gitu aja, kan ke senior-senior, ke alumni-alumni sudahlah jangan bikin kehebohan. Ini kan di internal kasihan juga korban, korban merasa diekspos-ekspos, kan begitu kan baiknya kan. Kejahatan ya proses hukum gimana pelaporannya,” tandasnya.
Terpisah, kuasa hukum terduga pelaku, KZ, menyampaikan press rilis terkait dengan dugaan kriminalisasi terhadap Presma Untirta. Dalam rilisnya, kuasa hukum meminta Rektor Untirta untuk mencopot Surat Keputusan Rektor.
Keputusan Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Nomor: 670/UN43/KPT.KM.00.05/2021 Tentang Pemberian Sanksi Akademik Kepada Ketua BEM Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dan Nomor: 671/UN43/KPT.KM.04.01/2021 Tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Ketua Badan Ekesekutif Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Tahun 2021, dinilai menimbulkan dampak kerugian terhadap masa depan kliennya dengan memberikan sanksi skorsing berupa satu semester yakni semester ganjil tahun akademik 2021/2022 terhitung 08 Oktober 2021 dan memberhentikan sebagai Ketua BEM Untirta tahun 2021.
“Kami tim advokasi hukum Presma Untirta Khoirun Zarly, dengan ini keberatan atas diterbitkanya surat Keputusan Rektor tersebut dan akan melakukan upaya hukum untuk mengajukan gugatan melalui peradilan TUN Serang,” ujar salah satu kuasa hukum terduga pelaku, Raden Elang Yayan Mulyana.
Ia pun menyampaikan alasan -alasan pokok keberatan tim advokasi hukum atas terbitnya objek surat Keputusan Rektor antara lain telah menimbulkan dampak kerugian yang nyata terhadap masa depan Kliennya, dengan memberikan Sanksi skorsing berupa satu semester. Menurutnya, pada faktanya sejak diterbitkan Surat Keputusan Rektor tersebut, Kliennya tidak pernah dipanggil atau diperiksa terlebih dahulu oleh pihak Untirta, baik sebagai pelaku terduga pelaku seksual, sehingga keputusan tersebut dinilai tidak objektif, mendahului keputusan hukum dan Undang- Uundang.
“Sehingga berpotensi menimbulkan kerugian bagi Klien kami, karena dibuat dengan cara- cara tidak sah (cacat formil) dan seharusnya dicabut atau dibatalkan,” ungkapnya.
Selanjutnya, ia menyebut bahwa faktanya, Kliennya dipaksa dan dipersekusi oleh 7 tujuh orang oknum mahasiswa Untirta untuk mengakui apa yang tidak pernah dilakukan, dengan membuat surat pernyataan pengakuan telah bersalah atas perbuatan pelecehan seksual yang dilakukan terhadap korban yang terjadi pada tanggal 04 September 2021, tertanggal 07 Oktober 2021. Kliennya dipaksa ditekan untuk menandatangani surat tersebut, yang dibuat terlebih dahulu oleh ke- 7 orang mahasiwa dan dalam tekanan paksaan.
“Sehingga adanya penyalahgunaan keadaan (Misbruik Van Omstandingheden) ‘artinya perbuatan sedemikian rupa yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain yang terkait dalam perjanjian dengan memanfaatkan posisi yang tidak seimbang salah satu belah pihak dengan tujuan untuk mengambil keuntungan Ekonomi’. Atas perbuatan tersebut, maka surat pernyataan tidak sah karna diambil dengan cara-cara illegal (Exclusionary Rules) sehingga bukti surat tersebut tidak layak untuk dijadikan bukti hukum,” jelasnya.
Pihaknya mengaku keberatan atas pemberhentian kliennya sebagai Ketua BEM Untirta tahun 2021. Dimana dalam pemberhentian tersebut juga dilakukan atas dasar paksaan penyalahgunaan keadaan (Misbruik Van Omstandingheden) dan merupakan (Character Assassination) untuk menggulingkan sebagai Ketua BEM dengan cara-cara tidak demokratis (keji) dengan merekayasa hukum.
“Selanjutnya, dengan diterbitkanya surat Keputusan Rektor tersebut telah jelas merugikan Klien kami dengan menunggu sanksi berikutnya, menunggu keputusan akhir pengadilan. Artinya pihak Universitas Sultan Ageng Tirtayasa telah melakukan abuse of power, menyalahgunakan kewenangan dengan cara memberhentikan Klien kami, sehingga telah mendahului keputusan Undang- Undang dan melanggar asas praduga tidak bersalah presumption of innocene pasal 17 j0 18 UU 39 tahun 1999,” tuturnya.
Pasal 17 berisi ‘setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduanm dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar’. Pasal 18 ‘setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan’.
“Oleh karena alasan -alasan keberatan dan kerugian yang akan dialami akibat terbitnya Surat Keputusan Rektor, dengan ini Tim Advokasi Presma Untirta meminta kepada Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa untuk mencabut Surat Keputusan Rektor dalam waktu sesingkat-singkatnya,” tandasnya. (MUF/ENK)
Tinggalkan Balasan