GUBERNUR Banten, Wahidin Halim, telah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Namun, besaran yang ditetapkan malah bikin gerah buruh. Mereka pun mengggelar aksi mogok dan unjuk rasa besar-besaran, namun Gubernur juga ikut gerah dan meminta pengusaha mencari pekerja baru.
Setelah mengumumkan besaran UMK 2022, gelombang penolakan memang terus berlangsung. Buruh melakukan aksi unjuk rasa di sejumlah tempat, mulai di lingkup perusahaan, hingga menggeruduk kantor Gubernur di KAwasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), di Kota Serang.
Menanggapi aksi demonstrasi dan mogok buruh, tak membuat gentar langkah pemprov. Bahkan Gubernur Banten, Wahidin Halim (WH) di hadapan wartawan, meminta kepada pengusaha agar mencari pegawai baru jika karyawannya tidak mau digaji sesuai ketentuan oleh pemerintah provinsi.
“Saya bilang ke pengusaha, ya kalian cari tenaga kerja baru, masih banyak yang nganggur, yang butuh kerja, yang cukup gaji Rp2,5 juta, Rp4 juta juga masih banyak,” kata WH.
Ia pun tidak mau ambil pusing apabila buruh melakukan mogok kerja, sebab aksi tersebut hanya bentuk kekecewaan buruh lantaran UMK yang ditetapkan tidak sesuai keinginannya. Padahal keputusannya tersebut sudah sesuai aturan.
“Biar aja dia mogok, dia mengekspresikan ketidakpuasan. Tenaga vaksin dari pagi sampai malam Rp2,5 juta gajinya,” katanya.
Wahidin juga mengaku akan konsisten dengan besaran UMK 2022 yang sudah ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 561/Kep.282-Huk/2021. Menurutnya, keputusan itu sudah berdasarkan hasil pembahasan antara perwakilan buruh di dewan pengupahan dengan pihak perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
“Posisi Pemprov Banten tentu hanya sebagai fasilitator saja, karena yang menentukan besaran kenaikan itu mereka yang kemudian diperkuat dengan SK,” kata WH usai membuka Pelatihan Dasar Calon Pegawai Negeri Sipil di Gedung Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah (BPSDMD) Banten, pekan lalu.
Besaran UMK yang sudah ditetapkan menurut WH, merupakan angka minimal yang harus menjadi acuan para pengusaha dalam menetapkan upah. Biasanya, buruh yang menerima upah minimal adalah mereka yang baru bekerja 0 hingga 1 tahun. “Sementara, pekerja yang sudah lebih dari satu tahun bekerja, gajinya bisa lebih besar dari itu,” tambahnya.
Terkait dengan penetapan UMK, WH mengaku tidak memihak atau membela kepentingan salah satu pihak, tetapi lebih karena pertimbangan komprehensif, seperti bagaimana agar investasi tetap berjalan, menciptakan kondusivitas, masyarakat mendapatkan pekerjaan, dan mendapatkan gaji atau penghasilan.
“Saya tidak mempunyai kepentingan apapun dengan pengusaha. Kepentingan saya cuma bagaimana membuat iklim investasi di Banten ini terjaga dengan baik. Karena kalau sudah baik, maka dampak positifnya tentu akan dirasakan oleh masyarakat juga,” jelasnya.
Soal aksi mogok yang dilakukan oleh buruh, Gubernur WH mengatakan, perlu mempertimbangkan banyak hal dan risikonya. Ia mencontohkan, jika mogok kerja berlama-lama dan jika pengusaha memindahkan usahanya ke daerah lain maka akan banyak pihak yang menerima risikonya dan angka pengangguran akan kembali bertambah.
“Tentu mereka (buruh, red) juga yang akan menerima dampak negatifnya kalau para pengusaha di Banten banyak yang melakukan eksodus ke daerah lain,” tuturnya.
Ketua DPD Serika Pekerja Nasional (SPN) Banten, Intan Indria Dewi, menilai statement yang disampaikan WH soal kaum buruh, seharusnya tidak diucapkan oleh seorang Gubernur. Karena saat itu, Gubernur jelas seolah-olah hanya berpihak kepada pengusaha saja, meski sudah banyak angka rekomendasi yang disarankan oleh buruh.
“Itu pun angkanya sudah sesuai dengan aturan yang ada, melalui pertimbangan pertumbuhan ekonomi dan inflasi secara nasional,” tuturnya.
Intan menyatakan, langkah selanjutnya, para buruh tetap melakukan pergerakan yang sudah disepakati, mogok kerja pada tanggal 6-10 Desember 2021. Kemudian, apabila sampai diakhir detik perjuangan namun SK UMK masih belum ada revisi, maka pihaknya akan melakukan gugatan terhadap SK tersebut.
“Karena SK tersebut, sebenarnya tidak sesuai dengan aturan. Karena Gubernur hanya memutuskan melalui PP 36, yang mana kita sama-sama ketahui bahwa PP 36 itu merupakan peraturan turunan dari undang-undang cipta kerja, dimana undang-undang cipta kerja sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi,” tandasnya.
Hal senada disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.
Bahkan ia mengancam akan berkampanye untuk tidak memilih Wahidin Halim dalam pemilihan kepala daerah selanjutnya. “Kaum buruh akan mencatat dengan tinta yang terus basah di atas kertasnya bahwa Gubernur Banten Wahidin Halim, kalau lah benar, kami akan kampanye ‘jangan pilih Wahidin Halim,’” ujar Said dalam konferensi pers, pekan lalu.
Said akan menyarankan kaum buruh untuk memilih orang lain sebagai kepala daerah Banten, yang mau peduli terhadap rakyatnya. Ia menilai sikap Gubernur Banten memiliki moral yang rendah dan tidak layak untuk menjadi pemimpin.
“Gubernur macam apa itu? Kalau orang dibayar Rp2,5 juta, Gubernur menyuruh orang dibayar melanggar undang-undang (UU). Moralnya sangat rendah sekali. Tidak layak menjadi seorang gubernur,” imbuh dia.
Desakan agar Gubernur Banten mundur karena ucapannya yang dinilai merendahkan buruh, mengemuka dalam sejumlah aksi unjuk rasa buruh. Seperti sejumlah buruh yang tergabung dalam serikat Federasi Kebangkitan Buruh Indonesia yang menggelar aksi di depan PT Parkland World Indonesia (PWI) 1. Mereka menuntut agar Gubernur Banten, Wahidin Halim (WH) diganti, lantaran telah menyakiti puluhan ribu buruh melalui statementnya yang dinilai tidak pantas terucap dari seorang kepal daerah.
Ketua Federasi Konstruksi, Umum dan Informal (FKUI) Kabupaten Serang, Fajar Janata, menegaskan bahwa kalimat yang disampaikan oleh WH tidak sepatutnya dilontarkan. Ia menyebut, daripada mengganti puluhan ribu buruh, lebih baik mengganti satu orang Gubernur.
“Salah satu tuntutan aksi ini ya ganti Gubernur, karena telah mencederai kami para buruh yang berjuang untuk menghidupi keluarga. Seharusnya seorang pimpinan tidak berbicara seperti itu,” ucapnya, disela-sela aksi.(RUS/MUF/ENK)
Tinggalkan Balasan