SERANG, BANPOS – Dewan Pengurus Cabang (DPC) Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Banten mendesak agar penegakkan hukum atas kasus suap yang terjadi di Banten, dilakukan secara komprehensif. Artinya, baik penerima suap, pemberi suap hingga perantaranya pun harus turut diadili.
Pernyataan tersebut merespon adanya pemberitaan yang dipublikasikan oleh BANPOS pada edisi Senin (20/12) berjudul ‘Jual Beli Proyek Tumbuh Subur’ pada rubrik Liputan Utama. Kepada BANPOS, Ketua DPC Permahi Banten, Rizki Aulia Rohman, mengatakan bahwa seluruh aparat penegak hukum harus adil, tegas dan menyeluruh dalam mengurus perkara korupsi, khususnya suap.
Ia menegaskan, dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1495, perlu penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme
“Bahwa para penegak hukum baik Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi, perlu ditingkatkan sinergitasnya agar berdaya guna dan berhasil guna tepatnya untuk asas kesetaraan kewenangan dan perlindungan hak asasi manusia,” ujarnya dalam rilis yang diterima BANPOS, Senin (20/12).
Ia mengatakan, aparat penegak hukum perlu memiliki strategi pencegahan yang tersistematis dan komprehensif, serta tetap mengedepankan penghormatan terhadap hak asasi manusia tanpa mengabaikan harkat dan martabat manusia sesuai ketentuan peraturan perundang undangan.
“Sesuai amanat Undang-undang nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi, bahwa perlu adanya penegakan yang baik secara menyeluruh tanpa mengabaikan penegakan baik pelaku penyuap dan yang disuap,” katanya.
Menurutnya, terjadi penindakan yang tidak komprehensif kepada pemberi suap, penerima suap dan perantara suap serta pihak-pihak lain yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Padahal Rizki menegaskan, keseluruhannya perlu ditindak sesuai aturan yang berlaku.
“Namun dalam beberapa kasus ini hanya penindakan pada pihak yang disuap saja, pihak yang menyuap tidak ditindak. Padahal UU Tipikor mengamanatkan agar ditindak dan tegas juga untuk pihak-pihak yang terlibat tersebut,” ungkapnya.
Menurutnya, kasus suap yang terjadi di Kota Cilegon maupun kasus suap yang terjadi di Kota Serang berakhir hanya pada pidana umum, sangat disayangkan. Namun lebih mirisnya lagi, Rizki menuturkan bahwa yang diproses hukum hanya pihak penerima suap, padahal pemberi suap sudah jelas keberadaan dan keterlibatannya.
“Kami sangat menyayangkan adanya dua kasus tindakan korupsi mengenai dugaan suap izin pengelolaan lahan parkiran di Kota Cilegon yang menyeret pejabat setempat atas nama Inisial UDA dan pengadaan proyek atau SPK Bodong di Kota Serang menyeret atas nama inisial AM. Perlunya perhatian bersama agar kasus korupsi ditegakan untuk pemberi suap dan penerima surat serta perantara suap,” tegasnya.
Pihaknya pun mendorong kepada pihak Kepolisian dan Kejaksaan, agar dilakukan pemeriksaan secara utuh dan penegakan yang menyeluruh bagi pelaku tindak pidana korupsi di Banten, khususnya dua kasus tersebut yang perlu diperjelas, agar tidak ada tebang pilih penindakannya.
“Padahal aturannya sudah jelas menurut, Pasal 2 Undang-undang nomor 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap menyatakan, barang siapa yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp15 juta,” tandasnya.(DZH/PBN)
Tinggalkan Balasan