Kasus Hibah Ponpes, Kuasa Hukum Terdakwa: Jaksa Harus Obyektif

SERANG, BANPOS – Menjelang pembacaan tuntutan kasus dugaan korupsi hibah Ponpes dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Senin 3 Januari 2022 nanti, kuasa hukum terdakwa Irvan Santoso, Alloys Ferdinand, angkat bicara. Alloys berharap, JPU dapat lebih objektif melihat fakta-fakta persidangan terkait pemberian hibah pondok pesantren.

“Dari fakta yang terungkap di persidangan, berkaitan dengan penempatan Pasal 2 dan 3 terhadap terdakwa 1 (Irvan Santoso) dan terdakwa 2 (Toton Suriawinata) tidak bisa terbukti. Karena tidak ada kewenangan yang diperbuat oleh terdakwa 1 dan terdakwa 2 yang melawan hukum,” ujarnya, Jumat (31/12).

Menurut Alloys, terkait hibah Ponpes 2018, kedua terdakwa tidak memenuhi unsur kesalahan melanggar hukum. Sebab, apa yang direkomendasikan oleh terdakwa 1 telah sesuai dengan amanat Pergub 49 Tahun 2017.

Berkaitan dengan rekomendasi yang di ajukan oleh Irvan berkaitan dengan Proposal kedua FSPP pada tanggal 22 November 2017, menurutnya sudah tidak memiliki arti lagi dalam proses penyusunan anggaran di TAPD.

Sebab kesepakatan KUA PPAS antara Gubernur dengan Pimpinan Dewan telah disusun oleh TAPD dan disepakati menjadi RAPBD pada tanggal 21 November 2017, yang mana FSPP telah dialokasikan sebagai calon penerima hibah uang yang nilainya sebesar Rp65.280.000.000.

“Sehingga bagaimana mungkin Rancangan APBD lebih dahulu muncul dari rekomendasi permohonan penganggaran yang ditujukan kepada Gubernur melalui TAPD,” katanya.

Berkaitan dengan adanya perbedaan antara lampiran III Pergub No. 1 Tahun 2018 tentang Penjabaran APBD 2018 dengan DPA, menurut pihaknya bukanlah tanggung jawab dari Irvan. Sebab Irvan selaku OPD pengusul harus berpedoman pada lampiran III Pergub Nomor 1 Tahun 2018 tentang Penjabaran APBD 2018, sebagaimana Nota Dinas Sekda No. 978/644-ADPEM/18 tanggal 16 Maret 2018 perihal penyampaian daftar calon penerima hibah uang tahun 2018 yang ditujukan kepada Irvan.

“Sehingga atas dicairkannya dana hibah uang kepada FSPP sebagaimana mekanisme pencairan yang diatur dalam Pergub No. 49 tahun 2017, sepenuhnya tanggungjawab dari BPKAD yang dalam pelaksanaan pemberian hibah bansos mengacu pada DPA,” tuturnya.

Ia mengatakan, apabila BPKAD melihat permohonan pencairan dari OPD pengusul tidak sesuai dengan DPA, maka seharusnya BPKAD berkewajiban untuk mengembalikan usulan pencairan tersebut kepada OPD pengusul, bukannya mencairkan.

“Pertanyaannya, kenapa BPKAD Provinsi Banten tidak dimintakan pertangungjawabannya oleh Kejaksaan Tinggi Banten. Ada Apa Ini,” tegasnya.

Alloys juga menyoroti terkait hibah Ponpes tahun 2020. Alloy mengatakan, pemohon hibah itu bukan pondok pesantren melainkan FSPP. Sedangkan FSPP dalam pengajuan proposal, belum menggunakan e-hibah sebagaimana diatur dalam Pergub No. 10 Tahun 2019, dan belum finalnya laporan pertanggungjawaban hibah tahun 2018.

“Sedangkan batas akhir pengajuan proposal telah berakhir. Berkaitan dengan e-hibah, tidak hanya FSPP yang tidak dapat diberikan rekomendasinya, ada beberapa Lembaga seperti MUI, Baznas, LPTQ juga pada batas akhir pengajuan hibah uang belum dapat dikeluarkan rekomendasi oleh terdakwa 1,” ungkapnya.

Namun berdasarkan kajian dan pertimbangan yuridis, lembaga-lembaga yang sifatnya mandatori dapat langsung diberikan rekomendasi, sedangkan pihaknya menilai bahwa FSPP bukanlah organisasi yang bersifat mandatori. Sehingga FSPP tidak dapat diberikan rekomendasi.

“Sedangkan pondok pesantren dengan telah dikeluarkannya undang undang tentang Pondok Pesantren dapat dimasukkan dalam mandatori,” terangnya.

Namun ketentuan yang diatur dalam Pergub No. 10 tahun 2019, pondok pesantren yang tidak memiliki kepengurusan di tingkat provinsi tidak dapat menerima hibah uang yang dibiayai dari APBD Provinsi Banten tahun 2020, sehingga kliennya sama sekali tidak pernah mengeluarkan rekomendasi baik untuk FSPP maupun Pondok Pesantren.

Berkaitan dengan tuduhan Jaksa terhadap Irvan dan Toton yang disebut tidak melakukan evaluasi dan verifikasi terhadap pondok pondok pesantren penerima hibah tahun 2018 dan 2020, Alloys mengatakan bahwa evaluasi dan verifikasi berkaitan dengan permohonan hibah bansos dilakukan jika OPD pengusul menerima proposal permohonan dari penerima hibah.

“Ini amanat Undang-undang. Berkaitan dengan hibah uang TA. 2018 dan TA. 2020, tidak ada proposal permohonan dalam proses penyusunan anggaran dari pondok pesantren, kecuali 58 Pondok Pesantren diluar FSPP di tahun 2018, sehingga apa yang mau di evaluasi dan verifikasi,” katanya.

“Apakah Jaksa tetap menyalahkan Terdakwa 1 dan Terdakwa 2 tidak melakukan evaluasi dan verifikasi sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang ada padanya,?” tanya Alloys.

Yang lebih parah lagi menurutnya, berkaitan dengan pencairan hibah uang kepada Ponpes pada tahun 2020. Berdasarkan Pergub No. 10 Tahun 2019 tentang Hibah dan Bansos, OPD pengusul dalam pengajuan pencairan kepada BPKAD selaku Pengguna Anggaran.

“Berdasarkan ketentuan, OPD pengusul harus melampirkan salah satunya dokumen kertas Kerja yang dibuat oleh Tim Verifikasi dan Evaluasi pada saat proses penganggaran,” jelasnya.

Karena tidak adanya proposal pengajuan dari Ponpes pada proses penyusunan anggaran, maka tidak ada kertas kerja dari Tim evaluasi. Sehingga, permohonan pencairan tanpa disertai dengan kertas kerja proses penganggaran.

“Berdasarkan Ketentuan yang tertuang dalam Pergub No. 10 tahun 2019, jika terdapat kekurangan syarat yang harus dilampirkan dalam permohonan pencairan, maka BPKAD akan mengembalikan permohonan pencairan tersebut kepada OPD Pengusul untuk dapat dilengkapi,” ucapnya.

Namun Alloys mengaku, hibah tahun 2020 oleh BPKAD dicairkan meskipun ada satu syarat tidak ikut dilampirkan dalam permohonan pencairannya.

“Apakah atas dicairkannya dana hibah uang tersebut menjadi tanggungjawab dari Terdakwa 1 maupun Terdakwa 2. Jaksa seharusnya sejak awal telah menetapkan BPKAD sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kerugian negara ini,” paparnya.

Berkaitan dengan pengenaan kerugian Negara terhadap Irvan dan Toton, Alloys menegaskan bahwa seharusnya Jaksa konsisten dalam penerapan pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi. Sebab pihak pihak yang menyebabkan, dan pihak pihak yang menerima uang Negara tersebut harus di pertanggungjawabkan secara bersamaan.

“Bagaimana mungkin kerugian Negera di bebankan kepada Terdakwa 1 dan Terdakwa 2, jika nyata dan dapat dibuktikan uang tersebut diterima oleh pihak pihak yang termuat dalam surat dakwaan Jaksa, namun pihak pihak tersebut sampai saat ini tidak dimintakan pertanggungjawaban hukumnya. Ada apa dengan semua ini,” tegasnya.

Alloys berharap, surat tuntutan Jaksa nantinya dapat memberikan rasa keadilan bagi Irvan dn Toton, untuk menghindari dugaan bahwa keduanya merupakan kambing hitam untuk melindungi dan menyelamatkan pihak-pihak yang sesungguhnya harus bertanggung jawab. (DZH)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *