Honorer di Ujung Tanduk

PEMERINTAH memutuskan untuk menghapus tenaga honorer di seluruh instansi pemerintah. Kebijakan yang mulai berlaku pada 2023 mendatang dinilai bisa menimbulkan gejolak di daerah, termasuk di Provinsi Banten. Lonjakan pengangguran pun dikhawatirakna bakal terjadi menyusul penerapan kebijakan ini.

Pemerintah melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo memastikan tidak ada lagi tenaga honorer di instansi pemerintah. Kebijakan ini sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Dalam beleid itu, pegawai non-PNS di instansi pemerintah masih tetap melaksanakan tugas paling lama lima tahun saat peraturan tersebut berlaku atau 2023. Artinya, status pegawai pemerintah mulai 2023 nanti hanya ada dua jenis, yakni PPPK. Para eks tenaga honorer itu pun tetap diberi kesempatan masuk ke dalam pemerintahan, tapi harus mengikuti seleksi dalam bentuk PPPK maupun CPNS.

Kebijakan itu pun menimbulkan keresahan di kalangan honorer di Provinsi Banten. Mereka berharap ada upaya dari pemerintah daerah untuk melindungi para honorer agar tidak terjerumus dalam jurang pengangguran ketika kebijakan itu resmi diberlakukan.

Sementara itu, salah seorang pegawai honorer atau Non ASN Pemprov Banten yang juga Ketua Umum Persatuan Pengamanan Dalam Indonesia (PERADA) Regional Banten, Asep Bima kecewa dengan kebijakan pemerintah pusat yang akan mengahus tenaga honorer, terlebih terdapat ketentuan bahwa wacana penghapusan yang dibarengi dengan rekruitmen CPNS, didalamnya tidak termasuk petugas pengamanan dalam atau Pamdal.

“Saya masuk sebagai pegawai Non ASN tahun 2015, dan bertugas sebagai Pamdal di Setwan Banten. Miris memang saat mendengar kabar seluruh honorer atau pegawai Non ASN akan diberhentikan. Terlebih lagi untuk profesi Pamdal tidak diberikan porsi untuk mengikuti seleksi CPNS. Dan yang lebih sadisnya lagi, untk profesi Pamdal akan di pihak ketigakan (outshorching),” kata Asep.

Dengan adanya wacana-wacana saat ini yang disampaikan oleh pemerintah pusat, posisi Pamdal bemar-benar terjepit, seakan-akan terdiskrimibasi.

“Lantas dimana sisi penghargaan pemerintah atas pengabdian rekan-rekan Pamdal yang sudah mengabdi cukup lama. Seharusnya ini jadi pertimbangan pula, bahwa honorer bukan hanya staf administrasi, guru, tenaga kesehatan atau Nakes,dan penyuluh pertanian saja, namun ada juga profesi Pamdal di dalamnya,” ujarnya.

Seharusnya lanjut Asep, pemerintah pusat, jika membuat kebijakan disesuaikan dengan konstitusi negara, yakni Pancasila. Sila Ke-5, disebutkan, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. “Terkecuali jika memang profesi Pamdal tidak dalam bagian Itu,” imbuh Asep.

Apalagi untuk menjadi Pamdal di pemerintahan, ia bersama rekan-rekannnya mengikuti rangkaian tes yang panjang dan melelahkan.

“Untuk Pamdal sendiri ada tahapan-tahapan. Proses seleksi mulai dari psikotes, capacity building, wawasan kebangsaan, tes fisik, hingga wawancara. Dan
saya mewakili seluruh Pamdal KP3B, menyatakan bahwa seluruh Pamdal yang saat ini statusnya sebagai pegawai Non ASN, memastikan sudah mengikuti seleksi. Dan terkait tingkat kesulitan pasti ada. Namun ini adalah hal yang wajar dalam setiap proses, apalagi dimaksudkan guna mencetak pegawai yang profesional dan ahli di bidangnya,” ujarnya.

Selain kecewa akan wacana penghapusan honorer lantaran tidak ada kriteria Pamdal masuk dalam rekruitmen CPNS, Asep mengaku sistem managerial ASN di Pemprov Banten belum seragam atau sama.

“Memang sebetulnya program ini bagus (peghapusan honorer). Tapi sekali lagi menurut saya kurang berkeadilan. Menurut saya, pusat ingin mereformasi birokrasi seluruh tatanan sistem, namun di daerah saya nilai belumlah siap untutk masuk kesana. Ini bisa dibuktikan dengan sistem managerial pegawai Non ASN yang belum termerger dan masih terkesan kurang rapi. Sistem pegawai yang dikatakan baik adalah sistem yang berbasis 1 pintu, dimana 1 OPD memanage dan mendistribusikan seluruh pegawai ke berbagai OPD, bukan seperti sekarang, beda OPD beda pula cara mainnya, sehingga sampai saat ini jumlah seluruh pegawai Non ASN Banten masih samar-samar,” terangnya.

Meski demikian pihaknya berharap wacana penghapusan honorer pada praktiknya berpihak ataa nasib teman-teman yang belum diangkat menjadi PNS.

“Kami berharap dengan adanya program ini seluruh honorer dapat diangkat menjadi ASN tanpa membeda-bedakan profesinya guna mencapai titik keadilan dalam berproses, dan semoga pemerintah Provinsi Banten dapat mengambil langkah tepat dan bijak,” harapnya.

Keresahan juga dialami 4.600 honorer di Kota Cilegon yang terancam kehilangan pekerjaan ketika PP nomor 49 resmi diterapkan. Mereka masih terus mencari kejelasan soal penerapan aturan ini agar dapat memperjuangkan nasib mereka.

Ketua Honorer Kategori 2 (K2) Kota Cilegon, Syamsudin menjelaskan, pihaknya sudah mencoba mencari kejelasan soal aturan tersebut. Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kota Cilegon, Bagian Hukum Kota Cilegon dia datangi untuk mencari tahu duduk persoalan dan solusi apa yang akan dilakukan pemerintah.

Namun, hasil dari pencarian itu hanyalah permintaan untuk wait and see, karena Pemkot Cielgon pun masih akan menunggu arahan dari pusat.
“Kami sudah berkeliling menanyakan itu ke BKPP Kota Cilegon dan Bagian Hukum. Kami ingin pastikan ada Peraturan Walikota (Perwal) untuk melindungi kami,” ujarnya.

“Sebab, kami tanyakan juga hanya bagaimana aturan pusat,” sambungnya.

Jika memang tenaga honorer dihapuskan, maka bukan hanya pegawai non ASN struktural saja. Namun, juga para guru honorer akan terdampak jika benar-benar diberlakukan. Total ada 4.600 lebih honorer bakal menganggur. Terlebih tahun ini tunjangan honorer tak naik untuk yang struktural.

“Kalau melihat berita di TV, penjaga kantor dan cleaning service itu akan outsourcing. Namun, honorer seperti kami dan guru itu terdampak dengan penghapusan,” tuturnya.

Terpisah, Hilman Faruk, warga Kampung Pasir Eurih, Desa Panancangan, Kecamatan Cibadak yang saat ini telah diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) mengatakan, sebelum diangkat menjadi PPPK, ia menjadi guru honor di sebuah pendidikan dasar (SD) mulai dari tahun 2004 hingga 2019.

Selama kurang lebih 15 tahun ia mengabdi menjadi tenaga guru honor, pada tahun 2019 kata Hilman, ia mengikuti tes seleksi PPPK dan berhasil lulus seleksi dan diangkat. Banyak proses yang dialami selama menjadi guru honor. Melihat masih banyaknya tenaga honor yang belum beruntung baik menjadi PNS maupun PPPK, ia berharap pemerintah mengkaji ulang wacana tersebut.

“Saya berharap tetap ada solusi dari pemerintah untuk mengakomodir tenaga honorer terutama bagi tenaga honorer yang jenjang kerjanya udah cukup lama. Kalau saya secara pribadi saya bersyukur telah menjadi guru PPPK,” katanya, Minggu (30/1) kepada BANPOS.

Wakil Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Serang, Abdul Kholiq, mengungkapkan bahwa dirinya telah mengkonfirmasi ke BKPSDM terkait penghapusan honorer. Beberapa hari yang lalu pun, ia menerima berbagai keluh kesah dari honorer di berbagai OPD.

“Beberapa hari yang lalu banyak dicurhatin teman-teman honorer dari dinas, terkait berita Serang Kabupaten dan Serang Kota tidak ada data honorer,” ungkapnya.

Ia mengatakan, pihaknya sudah pernah meminta data honorer kepasa BKPSDM. Hanya saja, belum ada data yang dikirim ke Komisi I.

“Awal tahun 2022 ini komisi I sudah berkoordinasi ke kantor BKPSDM terkait formasi P3K, Open Biding dan urusan-urusan kepegawaian lainnya,” tuturnya.

Tentang penghapusan pengangkatan dan penerimaan honorer yang sedang ramai diperbincangkan, pihaknya juga belum menerima petunjuk pelaksanaan (Juklak) maupun Petunjuk Teknis (Juknis) yang bisa dipedomani.

“Kami berharap, Pemkab Serang harus memikirkan para tenaga honorer yang sudah lama mengabdi untuk Kabupaten Serang, tentu disesuaikan dengan kemampuan anggaran,” tandasnya.

Di bagian lain, Anggota DPRD Kota Cilegon Qoidatul Sitta mengatakan adanya peraturan terbaru dari pusat terkait tenaga honorer di 2023 akan dihapuskan. Menurutnya harus dikaji terlebih dahulu secara menyeluruh.

“Saya melihatnya ini perlu dikaji dulu juklak-juknis nya seperti apa. Jangan sampai kita mendapatkan informasi itu setengah – setengah,” katanya.

Ia menyarankan agar dinas terkait untuk mempelajari secara utuh adanya aturan tersebut bilamana diberlakukan.

“BKPP sebagai leading sektor kepegawaian harus secara komprehensif untuk mendapatkan informasi secara utuh bagaimana, dan ini perlu dipelajari lagi bagaimana lebih lanjutnya pola teknisnya seperti apa, juklak juknisnya seperti apa, harus dilihat kembali, dipelajari kembali adanya informasi seperti itu. Apalagi itu di pusatnya juga baru dari Kemenpan-RB nya belum secara detail untuk turunan ke bawanya seperti apa, apakah nanti polanya dikembalikan kemampuannya kepada daerahnya masing-masing atau bagaimana, ini juga belum dijelaskan,” tandasnya.

Sementara, Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Serang, Aep Syaefullah, menyebut bahwa apabila melihat di lingkungan Pemkab Serang, ada beberapa OPD yang jumlah honorernya berlebih. Dia menilai, solusi bagi honorer untuk mengikuti tes PPPK merupakan altaernatif yang biosa diterima.

“Bagus juga sih, artinya ada kepastian bagi teman-teman honorer kalau memang diberikan saluran untuk bisa diangkat menjadi PPPK dengan cara tes dan sesuai persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah,” katanya.

Hanya saja, kata dia, dalam penyeleksian atau tes nanti, tentu tidak semua terakomodir. Sehingga masing-masing daerah diminta untuk memiliki inovasi lain.

“Kalau memang apabila tenaga itu masih dibutuhkan di OPD, dicarikan solusi lain,” ujarnya.

Apabila belum bisa terakomodir, ia mengkhawatirkan terjadi penambahan jumlah pengangguran di Kabupaten Serang. Oleh karena itu, ia berharap agar Pemerintah daerah bisa diberikan kewenangan untuk berinovasi.

“Kalau misal itu sudah diwacanakan dan sudah diberlakukan nanti, harapannya semua tenaga baik PPPK atau ASN, bisa meningkatkan kualitas pelayanan publik. Jangan sampai banyak tenaga, justru pelayanan publik terbengkalai,” tuturnya.

Di Kabupaten Lebak, Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya sudah melarang setiap OPD merekrut tenaga honorer. Bahkan Iti mengancam pejabat yang mengangkat honorer dengan pemeriksaan khusus dan memberikan sanksi tegas terhadap pejabat terkait.

“Saya sudah sampaikan tidak ada lagi OPD yang boleh merekrut tenaga honorer atau supporting staff, kecuali sudah menganalisa kebutuhan personelnya yang nanti kita sampaikan ke Kementerian RB (Reformasi Birokrasi). Kalau ada yang merekrut saya riksus dan saya akan turunkan jabatannya,” kata Iti.

(CR-01/RUS/LUK/MUF/PBN/ENK)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *