BANJIR yang terjadi di Banten, khususnya di Kota Serang, dinilai sebagai bentuk enggannya pemerintah untuk belajar dari sejarah. Pasalnya, kalimat langganan banjir, siklus hujan tahunan, dan kalimat-kalimat yang menggambarkan peristiwa itu sebagai peristiwa normal untuk terjadi di waktu-waktu tertentu, kerap dilontarkan oleh pemerintah.
Seorang penyintas Banjir di Kampung Benggala Tengah, Kelurahan Cipare, Kecamatan Serang, Danie Abdullah mengisahkan bahwa banjir serupa pernah terjadi di wilayah itu pada tahun 1974. Dia mendapat menceritakan banjir itu dari orangtuanya yang ikut mengalami banjir besar tersebut.
“Orang-orang tua di Benggala menjadi saksi waktu banjir pada tahun 1974 yang parahnya sama dengan banjir tahun 2022. Artinya, tak menutup kemungkinan banjir serupa bisa terjadi di masa depan,” kata Danie yang juga merupakan ketua RT di lingkungannya.
Sekretaris Yayasan Saung Hijau Indonesia (SAHID), Ridho Ali Murtadho, menyayangkan bahwa hingga saat ini, pemerintah baik di tingkat kota/kabupaten maupun provinsi yang enggan belajar dari sejarah.
“Jika memang bahasanya adalah ini kerap terjadi, maka jangan dibuat sebagai alasan untuk membuat peristiwa itu sebagai peristiwa yang normal. Harusnya mencari solusi untuk bagaimana kejadian ini tidak kembali terulang, bukan berlindung dibalik kata langganan, siklus dan lain sebagainya,” ujar Ridho.
Menurutnya, pemerintah saat ini seolah-olah bergerak berkebalikan dari upaya pengantisipasian bencana langganan tersebut. Sebab, yang dilakukan oleh pemerintah justru merubah tata ruang yang seharusnya menjadi pencegah terjadinya banjir, menjadi perumahan dan industri.
“Kita bisa lihat banyak sekali kavling-kavling yang dibangun di daerah yang seharusnya menjadi daerah resapan air. Pada akhirnya, air yang seharusnya bisa tertahan, meluncur bebas ke Kota Serang yang merupakan dataran rendah,” tuturnya.
Apalagi Pemprov Banten membangun Banten International Stadion (BIS) yang berada di Kecamatan Curug. Padahal menurutnya, Kecamatan Curug termasuk daerah resapan air dan pencegah terjadinya banjir.
“Mungkin pak Gubernur sengaja membangun BIS untuk menjadi bukti kemegahan Banten. Namun percuma saja jika pembangunannya justru menjadi petaka bagi Kota Serang dan sekitarnya. Ini menjadi bukti bahwa pemerintah tidak pernah mau belajar dari sejarah bencana yang pernah terjadi,” ungkapnya.
Ketua DPRD Kota Serang, Budi Rustandi, mengatakan bahwa pihaknya sudah berkali-kali meminta agar sungai Cibanten dapat segera dinormalisasi. Namun ternyata, permintaan dari pihaknya tidak kunjung dilakukan, hingga terjadilah banjir pada Selasa lalu.
“Saya sudah berkali-kali meminta agar Cibanten ini segera dilakukan normalisasi. Tapi ternyata tidak dilakukan juga. Padahal dari tahun-tahun sebelumnya saya sudah tegaskan, banjir ini karena terjadi pendangkalan di sungai Cibanten,” ujarnya.
Budi mengatakan, sebenarnya pemerintah pun sudah tahu bahwa pendangkalan sungai merupakan salah satu penyebab terjadinya banjir. Akan tetapi, normalisasi sungai yang merupakan upaya untuk menyelesaikan masalah pendangkalan malah tidak kunjung dilakukan.
“Kalau seperti ini, kita berkali-kali diingatkan dengan adanya banjir, namun permasalahannya tidak kunjung diselesaikan. Artinya ada yang salah dalam menangkap pelajaran dari setiap bencana yang terjadi,” tegasnya.
Terpisah, Bupati Pandeglang, Irna Narulita, juga meminta agar sungai Ciliman dan Cilemer untuk dapat dilakukan normalisasi. Hal itu dikarenakan kedua sungai tersebut mengalami pendangkalan, sehingga mengakibatkan banjir terjadi di Pandeglang.
“Saya mohon bantuan dari Kepala Balai agar segera menormalisasi sungai Ciliman dan Cilimer, karena untuk sungai kewenangannya ada di Pemerintah Pusat,” kata Bupati Pandeglang, Irna Narulita saat meninjau lokasi Banjir di Kecamatan Patia beberapa waktu lalu.
Menurutnya, BWSC3 mempunyai tugas untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya air di wilayah sungai, sehingga untuk melakukan normalisasi memiliki kewenangan. “Dengan adanya normalisasi dapat meminimalisir terjadinya banjir karena sudah tidak ada lagi pendangkalan, sehingga masyarakat kami bisa lebih nyaman tinggal disini,” ungkapnya.
Sementara itu, Camat Patia, Entus Maksudi mengatakan, ada sekitar kurang lebih lima desa di wilayah Kecamatan Patia, terendam banjir. “Yang paling parah itu ada tiga desa yaitu Desa Idaman, Surianen dan Desa Babakan Ciawi,” katanya.
(MG-01/DHE/DZH)
Tinggalkan Balasan