Pengadilan Lepas Tangan Terkait Penjualan Barang Bukti Migor?

SERANG, BANPOS – Pengadilan terkesan lepas tangan terkait polemik penjualan minyak goreng sitaan milik tersangka kasus penimbunan oleh Polres Serang Kota dan Polres Lebak. Sebelumnya, Polda mengklaim bahwa penjualan tersebut sudah sesuai dengan aturan.

Selain diklaim telah mengikuti pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penjualan barang bukti itu juga disebut merupakan hasil koordinasi dan kesepakatan, antara Criminal Justice System yakni Penyidik, Penuntut dan Hakim.

Saat dicoba konfirmasi kepada Pengadilan Negeri (PN) Serang terkait dengan hal itu. Menurut Humas PN Serang, Uli Purnama, hingga saat ini PN Serang hanya mengeluarkan surat izin penyitaan saja.

“Informasi dari PN bahwa barbuk (barang bukti) tersebut telah ada persetujuan penyitaannya. Sedangkan yang lain belum ada,” ujarnya saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Kamis (10/3).

Sedangkan pihak Kejaksaan mengatakan jika perkara tersebut masih dalam tahap penyidikan oleh Polres Serang Kota. Perkara itu belum dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Serang.

“Sudah saya tanyakan ke Kasi Pidum (Pidana Umum) bahwa masih SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) terkait dengan perkara minyak,” kata Kasi Intel Kejari Serang, Mali Diaan.

Berdasarkan sumber BANPOS di lingkungan Kejari Serang, klaim adanya kesepakatan antara penyidik dan penuntut, dalam hal ini Kejari Serang, untuk melakukan penjualan barang bukti tidaklah benar. Namun diakui, penyidik Polres Serang Kota telah berkonsultasi dengan Kejari Serang untuk menjual barang bukti tersebut.

“Kalau dari kami mah silahkan saja, asalkan memperhatikan Pasal 45 KUHAP. Kalau nanti ternyata tidak sesuai, mungkin kami tidak akan terima perkaranya. Karena ini belum dilimpahkan, masih penyidikan. Kecuali misalkan ada di tahap P-19, kami bisa berikan arahan dan petunjuk,” tutur sumber BANPOS.

Terpisah, praktisi hukum, Ferry Renaldy, mengatakan bahwa penjualan barang bukti yang dilakukan oleh Kepolisian, harus benar-benar dilakukan sesuai dengan aturan perundang-undangan. Jika pihak Kepolisian berpegang pada Pasal 45 KUHAP, maka seharusnya penerapan praktiknya pun sesuai dengan aturan tersebut.

“Dalam Pasal 45 secara jelas menyatakan barang mudah rusak atau berbahaya. Maka pertanyaannya, apakah minyak goreng ini masuk kategori barang mudah rusak barang yang berbahaya,” ujarnya.

Ia menuturkan, jika Kepolisian menganggap bahwa minyak goreng tersebut merupakan barang yang mudah rusak, maka Kepolisian harus bisa membuktikan hal itu. Sebab dalam penjelasan Pasal 45, harus ada lembaga ahli dalam menentukan barang masuk kategori mudah rusak.

“Apa yang menjadi alasan minyak goreng itu masuk ke dalam kategori mudah rusak? Apakah karena expirednya? Siapa lembaga ahli yang menyatakan mudah rusak sesuai Pasal 45? Kan ada BPOM mungkin,” ungkapnya.

Selain itu, Pasal 45 pun mengatur bahwa untuk menjual barang bukti yang mudah rusak, harus dilakukan dengan cara lelang yang dilakukan oleh Lembaga Lelang Negara seperti KPKNL.

“Jadi yang harus dilakukan adalah Lelang, bukan bazar seperti itu. Kalau alasannya lama lagi prosesnya, tetap harus dilakukan. Tidak ada diskresi untuk itu,” ucapnya.

Ferry juga mempertanyakan selisih penjualan barang bukti yang dijual. Menurutnya, jika tersangka membeli minyak goreng dengan harga grosir, maka seharusnya muncul selisih keuntungan dari penjualan yang dilakukan oleh Kepolisian.

“Sekarang dijualnya dengan harga eceran tertinggi (HET), katakanlah Rp14 ribu. Tersangka pasti membeli dengan harga grosir yang lebih murah. Pertanyaannya, kemana selisih lebih hasil penjualannya itu?,” ucap Ferry.

Di sisi lain, Ferry menuturkan jika seharusnya Kepolisian bukan menjual barang bukti tersebut untuk membantu masyarakat di tengah kelangkaan minyak goreng. Namun membongkar jaringan distributor minyak goreng.

“Tersangka ini kan membeli ya, sudah pasti ada distributornya. Lalu kita juga melihat ada sejumlah elemen masyarakat yang juga menggelar bazar minyak goreng. Artinya ketersediaan minyak goreng itu ada, Kepolisian harus membongkar kenapa bisa langka,” ungkapnya.

Ia pun mendorong agar Komisi III pada DPR RI untuk dapat turun ke Provinsi Banten, guna melakukan investigasi mengenai permasalahan minyak goreng yang tengah terjadi di Banten.

(DZH/PBN)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *