Akses internet kerap sulit didapat di lokasi bencana yang terpencil. Namun, Hokkaido Shimbun tetap menyampaikan informasi di tengah keterbatasan tersebut.
Oplahnya pun gila! Mencapai 2 juta eksemplar per hari. Hal ini diungkap wartawan senior koran Jepang, Hokkaido Shimbun, Masaaki Saito.
Koran Hokkaido berbasis di Kota Sapporo, Hokkaido, Jepang, terbit pertama kali pada 1942. “Minat masyarakat membaca koran dibanding media online masih sangat besar,” ungkapnya.
Di lokasi bencana, mereka menempelkan artikel yang telah terbit di dinding, tiang listrik, dan tempat-tempat strategis di lokasi bencana.
Gambaran itu didapat wartawan Rakyat Merdeka Paul Yoanda, yang berkesempatan mengikuti program Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youths (Jaringan Pertukaran Pelajar dan Pemuda Jepang-Asia Timur/Jenesys) 2022.
Program tahunan itu diselenggarakan Japan International Cooperation Center (JICE), sebuah lembaga di bawah Kementerian Luar Negeri Jepang. Program Jenesys tahun ini digelar secara daring pada 9, 10, 11,12, dan 15 Maret 2022.
Di hari ketiga program Jenesys, Jumat (11/3), diisi kuliah oleh Masaaki Saito. Ia menggambarkan proses penerbitan berita di kantornya. Secara khusus, pemberitaan bencana.
Seperti diketahui, Jepang merupakan negara yang kerap dilanda bencana alam. Sebagai koran yang beroperasi di daerah rawan bencana, Hokkaido Shimbun menyampaikan informasi dua kali sehari. Pagi dan sore, atau malam.
Selain itu, koran tersebut akan menerbitkan berita utama bersambung hingga dua halaman. Bagian paling luar koran, paling depan dan paling belakang. Cara itu disebut Saito sebagai backfront.
Edisi Hokkaido Shimbun yang menerbitkan format seperti itu terbit pada 6 September 2018 pagi hari. Hanya beberapa jam pasca gempa di Kota Iburi, Pulau Hokkaido.
Saito memperlihatkan gambar Hokkaido Shimbun yang terbit dengan format backfront. Dalam gambar terlihat tanah longsor di berbagai tempat. Saat itu lokasi paling parah terdampak gempa berada di wilayah pedesaan di perbukitan.
Di edisi itu juga ditampilkan gambar wilayah pedesaan sebelum gempa yang hijau dan asri. Disandingkan dengan gambar di wilayah yang sama, yang rusak parah pasca gempa.
Saito menambahkan, meski harus bekerja cepat, reporter dituntut harus menyajikan berita secara akurat. Begitu juga dalam menyampaikan perkembangan di lokasi bencana. Untuk berita bencana, dia mencontohkan, biasanya objek yang diliput adalah korban yang selamat.
“Segala tindakan korban yang selamat selama bencana terjadi, bisa jadi inspirasi bagi tiap orang, termasuk reporter,” ujarnya.
Dalam tiap penerbitan berita mengenai bencana, koran tersebut menampilkan foto-foto korban jiwa. Saito bilang, hal itu juga bisa membantu keluarga korban. “Tapi yang perlu diingat, pemuatan foto korban harus mendapat izin,” katanya. [PYB/RM.id]
Tinggalkan Balasan