Perusahaan produsen Minyak Goreng Sawit (MGS) curah subsidi yang berkontrak dengan BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) mengalami peningkatan dari 72 menjadi 75 industri.
Hal itu merupakan hasil temuan dan pantauan Gerakan Masyarakat Awasi Kartel (GERMAK) bersama tim investigasi dan laporan masyarakat pada minggu pertama April 2022, atas produksi dan distribusi MGS curah subsidi yang dirilis, kemarin.
GERMAK ini digagas para aktivis Koalisi Masyarakat Sipil, seperti Ray Rangkuti (LIMA), Jeirry Sumampow (TePI), Ibrahim Fahmy Badoh (NaraIntegrita), Roy Salam (Indonesia Budget Center) dan Anggota Koalisi Pemantau di 9 Provinsi.
Ketentuan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Curah untuk Kebutuhan Masyarakat, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), menyatakan ke-75 Industri MGS wajib memproduksi dan mendistribusikan MGS curah bersubsidi kepada masyarakat, usaha mikro dan usaha kecil.
Kemenperin telah menyebutkan bahwa hingga 8 April 2022, tercatat baru 55 dan total 75 industri MGS yang berkontrak yang telah berproduksi (73,3 persen). Di sisi lain, dari ke-55 industri yang telah memulai produksi baru sebagian saja yang mencapai target sesuai ketentuan kontrak yang ada.
Menurut Ibrahim Fahmi Badoh, hasil pemantauan GERMAK di beberapa daerah pada tingkatan pabrik menunjukkan terdapat 11 industri pemilik pabrik MGS yang belum menyalurkan minyak goreng curah subsidi dalam periode 1-9 April 2022 ini, seperti PT EUP di Pontianak, PT MNOI di Bekasi, PT DO & F di Kota Bekasi, PT AGR Kota Bitung, PT, PNP Jakarta Timur, PT IMT Dumai, PT, BKP Gresik, PT PPI Deli Serdang, PT PSCOI Bekasi, dan PT IBP di Dumai.
Fakta ini, lanjut Fahmi, menunjukkan betapa masih rendahnya komitmen dan kepatuhan sebagian industri MGS pada kontrak dan ketentuan yang ada.Padahal, para industri MGS tersebut berkontrak dengan pemerintah dan berkewajiban memproduksi dan mendistribusikan minyak goreng subsidi sesuai HET.
Di sisi yang lain, hal ini juga dapat dinyatakan sebagai bukti kelambanan dan ketidakpedulian industri MGS terhadap dampak yang dapat ditimbulkannya atas kondisi masyarakat. Yakni, menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga MGS serta memicu permainan di tingkat penjual ke konsumen.
“Dari laporan masyarakat dan penelusuran yang dilakukan oleh tim pemantau lapangan terhadap beberapa Pasar di Kawasan Jabodetabek, menunjukkan adanya potensi permainan pedagang pasar dalam menjual MGS Curah subsidi dalam bentuk re-packing per liter akan tetapi dijual dengan harga per kilogram,” tegas Fahmi.
Sulitnya membedakan produk MGS Curah Subsidi dengan MGS Curah non-subsidi bagi masyarakat, tambah Fahmi, menyebabkan permainan pedagang ini tidak terasa. Tetapi di sisi yang lain, jelas-jelas merugikan konsumen. Bagi konsumen yang bertransisi dari MGS premium ke subsidi, mungkin harga yang ada tetap dipandang ekonomis.
“Hal ini semakin menunjukkan pentingnya sosialisasi yang lebih kuat ke masyarakat terkait MGS Curah Subsidi, jenis dan harga di tingkatan konsumen. Serta pada saat yang sama, mengajak masyarakat ikut memantau penyaluran dan penjualan MGS curah subsidi,” kata Fahmi. [KAL/rm.id]
Tinggalkan Balasan