TANGERANG, BANPOS —Polres Metro Tangerang Kota mengancam pelajar pengunjuk rasa akan masuk daftar hitam (blacklist) dengan dipersulit mengurus SKCK jika melakukan demonstrasi. Oleh mahasiswa, hal ini dianggap mengekang kebebasan berpendapat dan lebih berat daripada kasus tawuran.
Kapolres Metro Tangerang Kota Kombes Pol Komarudin mengatakan mereka terdiri dari pelajar dan kelompok yang terindikasi anarko. Sebanyak 47 orang di antaranya berstatus sebagai pelajar yang masih di bawah umur, sisanya anak putus sekolah.
“Ini tentunya gambaran yang sangat memprihatinkan untuk kita semua bahwa anak-anak kita, pelajar, yang sudah diajak dan dipengaruhi untuk mengikuti aksi,” ujarnya, kemarin. Dia mengatakan anak tersebut teridentifikasi hendak ke Jakarta untuk unjuk rasa dari telepon genggamnya. Dari sana terdapat komunikasi ajakan dan pembahasan tentang demo di Jakarta.
Komarudin menuturkan pihaknya masih mendalami motif para pendemo non mahasiswa ini. Sebab, dari hasil penyelidikan sementara didapati kalau sebagian dari mereka tak memiliki ongkos ke Jakarta berdasarkan percakapan di telepon genggam itu.
“Terus ada balasannya silakan naik apa saja nanti di Jakarta akan diberikan ongkos. Nah ini masih terus kita petakan dan mapping orang-orang ini yang perlu digarisbawahi adalah justru hal-hal seperti ini harus jadi perhatian kita bersama,” jelasnya.
Diduga, ada dalang dalam ajakan mereka untuk unjuk rasa. Tentunya hal ini sangat memprihatinkan sebab mereka memanfaatkan anak sekolah. “Mereka yang memanfaatkan anak-anak sekolah untuk ikut ke dalam aksi yang pastinya akan merugikan anak-anak sekolah itu,” kata Komarudin.
Dari pengamanan ini polisi tak mendapat senjata tajam. Hanya mistar saja yang tidak dikategorikan senjata tajam, namun benda itu dapat digunakan untuk tawuran. Kemudian, bendera merah putih yang sudah usang dan bendera STM.
Komarudin mengatakan identitas 92 anak ini sudah dimasukkan ke dalam database kepolisian. Pihaknya pun memberikan peringatan kepada orangtua apabila anaknya terlibat dalam hal yang sama maka identitasnya akan masuk daftar hitam.
“Karena database itu ada di Intelijen yang kemungkinan dia akan kesulitan nanti pada saat mengurus SKCK, karena datanya sudah ada, sudah punya catatan. Berupa sidik jari, dokumentasi foto, alamat kan ada,” jelasnya. Mereka akan masuk ke daftar hitam secara otomatis ketika mengulangi perbuatannya. “Misalkan si A, ada enggak namanya si A, oh ternyata ada pernah diamankan. Nanti dia akan terblacklist secara otomatis,” katanya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Bidang Kajian Strategis dan Advokasi pada HMI MPO Komisariat Untirta Ciwaru, Abdul Aziz, mengatakan bahwa ancaman yang disampaikan oleh Kepolisian kepada para pelajar merupakan pelanggaran hak untuk berpendapat di muka umum.
”Menurut saya ini tentunya melanggar hak kebebasan berpendapat. Tentu kita ketahui bahwa kebebasan berpendapat diatur dan dilindungi langsung oleh Undang-undang Dasar,” ujarnya.
Ia menyampaikan, bukan hanya Kepolisian saja yang saat ini melakukan pembungkaman terhadap hak para pelajar dalam menyampaikan aspirasi, namun Dinas Pendidikan di setiap daerah juga melakukan hal yang sama.
“Hari ini banyak Dinas Pendidikan di berbagai daerah bahkan memberikan ancaman kepada para pelajar dengan sanksi drop out. Kepolisian mengancam akan mempersulit pelajar untuk mendapat SKCK,” ucapnya.
Kondisi tersebut pun menurutnya sangat miris, sebab para pelajar hanya turut serta dalam menyampaikan aspirasi masyarakat. Namun, mereka dihadapkan pada sanksi-sanksi seolah-olah mereka akan tawuran.
Bahkan menurutnya, sanksi atas tawuran dinilai lebih ringan ketimbang sanksi bagi pelajar yang mengikuti tawuran. “Hal ini tentunya miris, karena pelajar hari ini turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasinya, bukan untuk melakukan hal-hal seperti melaksanakan tawuran. Sanksi tawuran diberikan jika jatuh korban, sedangkan sanksi ikut unjuk rasa diberikan tunai. Padahal dua kegiatan itu berbeda,” tegasnya.
Oleh karena itu, ia menilai bahwa sanksi yang diberikan kepada para pelajar yang mengikuti tawuran, terlalu berlebihan dan juga berpotensi melanggar Undang-undang.
“Saya tegaskan, pemerintah dan Kepolisian tidak perlu memberikan sanksi kepada pelajar yang ikut aksi. Karena mereka turun ke jalan untuk menjalankan hak-nya, bukan untuk melakukan tindakan anarkis,” tandasnya.(DZH/PBN/BNN)
Tinggalkan Balasan