Petugas Kesehatan Haji Di Era Covid Punya Tantangan Beda, Ini Saran Prof. Tjandra

Mantan Direktur WHO Asis Tenggara Prof. Tjandra Yoga Aditama angkat bicara soal persiapan petugas kesehatan haji di era pandemi Covid-19. Menyusul telah disepakatinya biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) reguler tahun 1443H/2022M sebesar Rp 39,8 juta oleh Komisi VIII dan Kementerian Agama, Rabu (13/4).

“Meski jumlah kuota jemaah haji kita memang belum dipastikan, tetapi berbagai berita menyebut angka sekitar 100 ribu orang, dan diberitakan akan dilayani oleh sekitar 1000 petugas kesehatan,” kata Prof. Tjandra dalam keterangannya, Kamis (14/4).

Sejauh ini, ada tiga kelompok besar petugas kesehatan haji. Pertama, Tenaga Kesehatan Haji indonesia (TKHI) yang bertugas mendampingi jemaah di setiap kloter.

Kedua, tim kesehatan di Kantor Kesehatan Haji Indonesia (KKHI), yang bertugas di RS Indonesia di Mekkah dan Madinah. Ketiga, Tim Kesehatan Lapangan yang bertugas memberikan pelayanan jemaah. Terutama, saat jemaah melakukan prosesi ritual haji.

Kegiatan tim kesehatan Indonesia di lapangan antara lain meliputi surveilans, penanganan gawat darurat, promosi kesehatan, sanitarian, dan keamanan pangan, dukungan logistik kesehatan serta tim pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) penyakit menular.

Tim Kesehatan Haji dari Indonesia dalam kegiatan sehari-hari akan dibantu oleh Tim Pendukung Kesehatan (TPK), yang direkrut dari WNI yang ada di Arab Saudi.

Petugas Kesehatan Haji yang akan menangani masalah kesehatan jemaah tahun ini, harus punya perhatian khusus pada aspek Covid. Di samping pengetahuan dan keterampilan kesehatan pada umumnya,” ujar mantan Kepala Klinik Haji Indonesia di Mekkah ini.

Aspek Covid-19

Perhatian khusus pada aspek Covid-19 ini, setidaknya dijabarkan dalam tiga aspek. Pertama, aspek pencegahan.

Menurut Prof. Tjandra yang juga mantan Ketua Pengawasan dan Pengendalian Kesehatan Haji Indonesia, hal tersebut perlu disiapkan dalam tiga hal. Seperti bagaimana mengatur dan mengarahkan jemaah, agar tetap menjalankan protokol kesehatan. Sesuai situasi dan keadaan yang ada.

“Itu bukan hal yang mudah, tetapi perlu dilakukan dan disiapkan berbagai kemungkinannya sejak sekarang,” ucapnya.

Dalam aspek pencegahan ini, perlu juga dipahami, bagaimana prosedur mencegah penularan. Bila ada jamaah yang sakit atau kemungkinan tertular. Mulai dari bagaimana isolasi dan karantina harus dilakukan, pengaturan kamar dan tempat tidur di penginapan dan sebagainya.

“Situasi komorbid para jemaah harus diawasi ekstra ketat. Agar tidak menjadi faktor risiko tertular Covid-19, dan atau menjadi faktor risiko memberatnya penyakit,” jelas Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI/Guru Besar FKUI ini.

Kedua, aspek tentang bagaimana mendeteksi atau mendiagnosis Covid-19 di kalangan jemaah.

Karena ini akan dilakukan di Arab Saudi, maka tentu harus mengikuti prosedur di sana. Baik tentang pemeriksaan PCR, ataupun mungkin pemeriksaan genome sequencing.

“Kita ketahui, pada 9 Maret 2022, WHO sudah memberikan rekomendasi penggunaan tes mandiri Covid-19 dengan menggunakan rapid tes antigen, tentu dengan persyaratan dan kondisi yang jelas,” tutur Prof. Tjandra.

“Dalam hal ini, perlu sejak sekarang dipersiapkan, bagaimana kemungkinan penggunaan tes mandiri ini pada jemaah haji kita di tahun ini,” lanjutnya.

Ketiga, aspek persiapan penanganan pasien. Terutama, yang terkait perawatan dan pengobatan jamaah yang terkena Covid-19.

Prof. Tjandra yakin, pemerintah Arab Saudi sudah melakukan persiapan dan sarana, serta prasarana kesehatan yang amat memadai terkait hal tersebut.

Menurutnya, dalam hal ini, Petugas Kesehatan Haji kita tentu perlu berkoordinasi secara amat erat, dengan sistem kesehatan di Arab Saudi. Agar jemaah kita nyaman dalam pelayanan kesehatan.

“Dari pengalaman tahun-tahun yang lalu, seringkali yang menjadi tantangan bukanlah aspek medis teknis semata. Tetapi, hambatan lain seperti bahasa, makanan, dan perbedaan sosial budaya lain. Yang bukan tidak mungkin, dapat menyulitkan situasi kesehatan jemaah kita. Apalagi, kalau kasus Covid-19 yang harus isolasi terpisah di RS,” beber Prof. Tjandra.

Data Epidemiologi

Pengumuman pemerintah Arab Saudi untuk menerima hingga 1 juta jemaah haji, tentu antara lain didasari data epidemiologi yang kuat.

Jumlah kasus Covid-19 di Arab Saudi memang sudah terkendali amat rendah. Data per 14 April menunjukkan, jumlah kasus sehari adalah 135 orang, dengan rata-rata 112 orang per hari dalam seminggu

Angka ini turun jauh dari kasus harian sebanyak 5.928 pada 19 Januari 2022. Jumlah yang meninggal pada 12 April 2022, juga hanya 2 orang.

Tetapi, tentu saja yang akan ditemui jemaah haji Indonesia bukanlah masyarakat Arab Saudi saja. Melainkan dari berbagai negara di dunia, yang bukan tidak mungkin berbeda-beda situasi Covid-19 nya.

“Karena itu, walaupun situasi di Arab Saudi sudah dapat terkendali, maka jemaah haji kita perlu amat waspada untuk mencegah penularan Covid-19. Ketika sedang berada di Arab Saudi,” imbau Prof. Tjandra.

Cakupan Vaksinasi

Kalau kita lihat data vaksinasi, berdasarkan laman Our World in Data per 4 April 2022, cakupan vaksinasi lengkap di Arab Saudi mencapai 69,6 persen dari total penduduk.

Sementara angka rata-rata dunia pada 13 April tembus 58,4 persen. Sedangkan cakupan vaksinasi di Indonesia mencapai 58,5 persen dari total penduduk.

Jadi, Arab Saudi memang sudah lebih baik.

“Memang, kalau kita lihat data Kementerian Kesehatan kitan, cakupan vaksinasi lengkap telah mencapai 77,8 persen. Tapi, ini adalah berdasar angka target yang 208 juta, bukan dari total penduduk kita yang lebih dari 270 juta orang,” pungkas Prof. Tjandra. [HES/RM.ID]

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *