SERANG, BANPOS – Banyaknya catatan penting dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Kinerja Pemerintah Daerah (LKPD) Pemprov Banten tahun anggaran 2021 mencerminkan gubernur, wakilnya serta DPRD tidak maksimal memikirkan kepentingan dan kurang melihat persoalan serta kebutuhan masyarakat. Mereka dianggap gagal dalam menata dan mengelola keuangan daerah.
Akademisi Untirta Serang, Ikhsan Ahmad, Minggu (17/4) mengungkapkan, sejak Pemprov Banten dipimpin oleh Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) dan wakilnya, Andika Hazrumy (Aa) tidak becus dalam mengurusi masyarakat. Apalagi menjalankan semua janji-janji politiknya.
“Sedari awal, saya melihat, bahwa Pemprov Banten tidak fokus dalam menjalankan peran, fungsi dan tanggung jawabnya, apa lagi kalau bicara janji politik,” katanya.
Ia menjelaskan, pemprov hanya meninabobokan masyarakatnya dengan pembangunan-pembangunan yang selama ini kurang menyentuh kepada masyarakat. “Analoginya seperti dongeng seorang kakek kepada cucunya,” imbuhnya.
Selama ini penderitaan masyarakat hanya dijadikan komoditas WH-Aa dalam menjalankan peranya sebagai eksekutif di Pemprov Banten.
“Kemiskinan lebih banyak ditempatkan sebagai barang dagangan dalam etalase politik dari pada dipahami sebagai sebuah persoalan masyarakat yang harus dituntaskan,” katanya.
Kemiskinan dan keberhasilan pemberantasannya, hanya persoalan utak-atik angka statistik. Kemiskinan dijadikan ruang untuk membangun citra dan kepentingan kontestasi baik oleh eksekutif maupun legislatif.
“Disisi lain terjadi pelacuran yang intens antara dewan dengan eksekutif melalui berbagai sarana prostitusi politik, diantaranya transaksi proyek dan penyatuan pemisahan kekuasaan legislatif dan eksekutif di warung remang-remang. Ketua partai sekaligus kepala daerah menjadi kunci mematikan peran legislatif tidak bisa melakukan pengawasan kepada eksekutif. Ketua partai sekaligus kepala daerah menjadi virus utama kooptasi anggota partai yang bersangkutan yang kemudian dikembangkan menjadi rumusan diksi formal politik, koalisi ke atas, ke bawah, ke kanan dan ke kiri,” ungkapnya.
Adapun opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas Laporan Kinerja Pembangunan Daerah (LKPD) Banten tahun anggaran 2021 kata Ikhsan, tidak mencirikan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).
“WTP bukan jaminan atas pengelolaan penyelenggaraan yang baik dan bebas korupsi, Saya khawatir jangan-jangan ada kesalahan menempatkan WTP sebagai simbol dan fungsinya dalam mekanisme pelaporan. Karena sejatinya Banten, selama kepemimpinan WH – Andika penuh dengan drama, kisah kasih korupsi dan gelora reformasi birokrasi yang karut marut dan selama itu pula WTP,” katanya.
Senada diungkapkan oleh Pengamat Hukum Tata Negara yang sekaligus Ketua Pusat Kajian Konstitusi Perundang-undangan dan Pemerintahan (PKK) Untirta Serang, Lia Riestadewi. Menurutnya, opini WTP dari BPK hanya mengukur bahwa Provinsi Banten itu telah tertib standar akuntansi keuangan.
“WTP yang dicapai hanya dianggap tertib administrasi. Tidak menilai persoalan- persoalan yang terjadi di Provinsi Banten,” ujarnya.
Kurang maksimalnya, dalam penanganan kemiskinan serta temuan-temuan lainnya yang disampaikan BPK pada Rabu pekan lalu dikatakan Lia, adalah kesalahan berjamaah yang dilakukan eksekutif dan legislatif.
“Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, Gubernur dan DPRD adalah satu kesatuan seperti sepasang suami istri yang tinggal dalam satu ranjang dan satu kamar jadi jika BPK menyatakan lemahnya peran Gubernur dalam menjalankan fungsi sebagai Wakil Pemerintah dan lemahnya DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan, itu hal yang wajar Karena mereka memang satu, Cuman di depan publik seakan-akan menyalahkan tapi dalam kamar bermesraan,” kata Lia.
Bahkan Lia menilai, kasus kemiskinan yang menjadi sorotan BPK dirasa sudah tidak aneh baginya. Pasalnya beberapa waktu lalu, Banten menyandang gelar provinsi tidak bahagia. Ini sangat berbanding terbalik dengan APBD nya yang cukup besar.
“Temuan dari BPK, dari mulai kurangnya penanganan dalam penanggulangan kemiskinan serta aset-aset yang bermasalah dan persoalan lainnya itu semua tidak akan bisa diselesaikan oleh Gubernur sehingga target RPJMD juga tidak tercapai Bulan Mei sudah selesai masa tugasnya, jadi gagal kepemimpinan periode WH – Andika terbukti dengan Banten dinobatkan sebagai provinsi nomor 1 yang masyarakat nya paling tidak bahagia, padahal APBD Banten masuk 10 besar APBD tertinggi di Indonesia,” terang Lia.
Dengan besarnya APBD, pemerintah.provinsi semestinya bisa mengatasi kemiskinan yang ada, dan membuat masyarakatnya tersenyum bahagia.
“Seharusnya dengan 10 besar APBD tertinggi tersebut Banten bisa menanggulangi kemiskinan lebih baik dan bisa membuat masyarakat nya bahagia, jika fungsi Gubernur dan DPRD nya berjalan secara maksimal merencanakan pembangunan sesuai kebutuhan masyarakat bukan keinginan penguasa,” jelasnya.
Diberitakan sebelumnya, BPK menyoroti masih tingginya kemiskinan,serta peran DPRD Banten tidak mampu memerankan fungsi pengawasan lebih intens lagi atas pengelolaan keuangan APBD yang dijalankan oleh WH melalui organisasi perangkat daerah (OPD).
“Permasalahan signifikan, kebijakan Pemprov Banten dalam upaya penanggulangan kemiskinan belum sepenuhnya memadai. Pemprov belum sepenuhnya memberdayakan masyarakat miskin dengan tepat dalam upaya penanggulangan kemiskinan,” kata Auditor Utama Keuangan Negara V BPK, Akhsanul Khaq.
BPK juga meminta WH untuk memberikan pembinaan nya kepada kabupaten/kota. Serta mendesak kepada DPRD Banten agar lebih fokus lagi kepada anggaran yang digunakan oleh OPD. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah untuk lebih meningkatkan fungsi pembinaannya kepada pemerintah kabupaten/kota, dan bagi DPRD dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pengelolaan dan tanggungjawab keuangan daerah.
Adapun untuk tindak lanjut dari temuan, BPK RI Perwakilan Banten masih mencatat ada banyak temuan-temuan oleh Pemprov Banten yang belum diselesaikan hingga saat ini. “Untuk pemantauan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan BPK. Dari total keseluruhan sebanyak 1.568 rekomendasi sejak periode 2005 sampai dengan 2021, yang telah ditindaklanjuti 1.296 atau 82,65 persen, dan yang belum ditindaklanjuti 272 atau sekitar 17,35 persen,” katanya.
Permasalahan lainnya yang dihadapi oleh pemprov atas LKPD Banten tahun 2021 lanjut Akhsanul yakni, pengelolaan hibah dari pemerintah pusat belum tertib diantaranya, hibah berupa uang dan barang dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak dilaporkan kepada bendahara umum daerah, aset tetap yang hasilnya dari hibah uang yang belum seluruhnya dicatat dan disajikan nilainya. Dan rekening yang digunakan untuk menerima hibah berupa uang belum dilaporkan seluruhnya kepada bendahara umum.
“Selanjutnya, pengelolaan rekening bendahara belum memadai. Permasalahan tersebut meliputi rekening, sekolah di Bank Jabar Banten tidak terdaftar dalam SK penetapan rekening daerah dan pemberian barang atau jasa giro atas saldo rekening pada Bank Banten belum sesuai perjanjian kerjasama,” ujar Akhsanul.
Dan terkait penatausahaan aset tetap belum memadai kata dia, permasalahannya meliputi, data kartu inventaris barang (KIB) tanah, gedung dan bangunan serta jalan irigasi dan jaringan belum menyajikan informasi yang lengkap antara lain alamat dan luas aset, terdapat satu bidang aset tanah yang dicatat ganda pada dua perangkat daerah, dan terdapat delapan aset tetap jalan, irigasi dan jaringan dengan nilai Rp100.
“Ditambah lagi pelaksanaan belanja modal pada beberapa kontrak tidak sesuai ketentuan. Permasalahan tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran atas lima paket pekerjaan gedung dan bangunan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, serta empat paket pekerjaan jalan dan jembatan pada Dinas PUPR,” jelas Akhsanul.(RUS/PBN)
Tinggalkan Balasan