Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menolak gugatan penghapusan syarat calon presiden alias Presidential Threshold (PT) 20 persen. Dari pada buang-buang tenaga dan waktu, capres nol persen, sudahlah….
Ada tiga gugatan yang ditolak MK. Yakni gugatan nomor perkara 13/ PUU-XX/2022 yang diajukan tujuh warga kota Bandung, gugatan nomor 20/PUU-XX/2022 yang diajukan empat orang pemohon, serta gugatan nomor 21/PUU-XX/2022 yang diajukan lima anggota DPD.
“Mengadili, menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan, kemarin.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan, para pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional. Pasalnya, mereka telah mengetahui hak pilihnya dalam Pemilu Legislatif 2019 akan digunakan sebagai bagian persyaratan ambang batas pencalonan presiden 2024.
“Dengan analogi demikian, maka anggapan adanya kerugian konstitusional, terhambatnya hak untuk memilih yang dialami oleh para pemohon menjadi tidak beralasan menurut hukum,” sambung hakim konstitusi, Arief Hidayat, membacakan pertimbangan MK.
Selain itu, MK juga membantah argumen pemohon yang menilai Pasal 222 UU Pemilu akan berkorelasi dengan jumlah pasangan capres-cawapres yang akan bertarung dalam Pemilu. Menurut MK, aturan dalam pasal itu tidak membatasi jumlah pasangan calon.
Artinya, permasalahan berapa pasangan calon yang memenuhi syarat untuk mengikuti Pilpres tidak ditentukan oleh norma yang diajukan para pemohon.
“Sehingga hal demikian bukan permasalahan norma, melainkan permasalahan implementasi atau norma dimaksud yang sangat tergantung pada dinamika sosial dan politik yang berkembang dalam masyarakat yang termanifestasikan dalam keinginan partai politik,” ujar Arief.
Undang-Undang Pemilu menjadi satu dari dua produk hukum yang paling banyak digugat sepanjang 2021. Dalam catatan Kode Inisiatif sepanjang 2017-2020 terdapat 14 gugatan atas Pasal 222 yang mengatur ambang batas capres ke MK. Namun, tak ada satupun gugatan yang dikabulkan.Bagaimana tanggapan pengamat hukum tata negara dengan sikap keukeuh MK? Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra mengaku, heran MK selalu menolak gugatan PT. Yusril mengaku sudah bosan menggugat PT karena gagal terus.
“Seperti pernah saya katakan, saya sudah kehabisan akal dan kehabisan ilmu menghadapi MK dalam menguji norma pasal 222 Undang-Undang Pemilu tentang presidential threshold ini,” keluh Yusril, kemarin.
Alhasil, dia mengajak, masyarakat berkeyakinan kepada mahkamah sejarah. Maksudnya apakah putusan MK yang berkali-kali menolak PT sesuai dengan konstitusi atau tidak. “Umur manusia ada batasnya. Umur negara kita tidak tahu akan sampai kapan,” tukasnya.
Biarkanlah waktu berlalu. Sampai tiba saatnya berubah secara alamiah, sekalipun para pemohon yang pernah menggugat PT sudah tiada. “Nanti generasi yamg akan datang akan menilai apakah keberadaan PT itu sejalan dengan nilai-nilai keadilan, hukum, dan demokrasi. Atau tidak, nanti sejarahlah yang akan menilainya,” tutup Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu.
Sementara Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin tidak heran dengan keputusan MK. Karena putusan sebelumnya selalu sama, menolak. “Karena jika merubah putusan, MK dianggap tak konsisten dengan putusan. Masa iya sebelumnya tak diterima, tapi sekarang diterima,” jelas Ujang, kemarin.
Dia mensinyalir tidak ada yang bisa merubah putusan MK terkait PT 20 persen. Walaupun pemohon mempunyai bukti baru. “Kelihatannya siapapun yang menggugat ke depan, MK akan memutuskan hal yang sama, tidak menerima atau menolak gugatan para pemohon. Sudahlah capres nol persen,” ujar Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia itu.
Kendati demikian, menurut dia, pemohon masih punya harapan apabila ada pergantian hakim. Sebab, ditegaskan Ujang, selalu ada pertimbangan politik dalam putusan perkara. [UMM/rm.id]
Tinggalkan Balasan