Masyarakat Diajak Tak Bayar Pajak

SERANG, BANPOS –  Keberhasilan Kejati Banten dalam menangkap empat orang pembajak pajak di Samsat Kelapadua mendapat apresiasi. Akan tetapi, Kejati Banten diminta agar tidak berhenti di Kelapadua dan empat orang pembajak saja, Kejati didesak untuk memperluas perburuan pembajak pajak tersebut, hingga ke Samsat lainnya.

Sementara itu, Akademisi dari Untirta meminta masyarakat jangan membayar pajak kepada pemprov, hingga persoalan kejahatan besar tersebut terungkap hingga akar-akarnya. Hal ini dikarenakan, kasus pembajakan pajak di Samsat, bukan kali ini terjadi. Sebelumnya pada tahun 2013, juga terjadi dengan modus yang sama  di Samsat Rangkasbitung, Lebak. Dan saat itu kasusnya ditangani oleh Polda Banten.

“Iya betul jadi memang tidak aman, sebaiknya masyarakat tidak usah bayar pajak dulu,” kata akademisi Untirta, Ikhsan Ahmad, Minggu (24/) kepada BANPOS.

Dikatakan Ikhsan jika melihat  kejahatan di di Samsat Kelapadua,  dengan cara mengubah bea balik nama (BBN) 1 ke BBN 2, sepertinya meniru gaya peristiwa besar yang melibatkan anak dari mantan pejabat Pemprov Banten yang bertugas di Samsat Rangkasbitung pada tahun  2013 silam.

 “Betul, pada tahun 2013 lalu, di Samsat Lebak ada oknum pegawainya melakukan kejahatan besar. Dan berdasarkan rekam jejak yang ada, di Samsat Rangkasbitung itu hanya ada dua tersangka, dan saat itu kasusnya ditangani oleh Polda. Dan yang di Samsat Kelapadua sekarang  ini dengan modus yang sama di Lebak. Jangan- jangan Kelapadua meniru gaya Samsat Rangkasbitung,” jelasnya.

 Atas modus dan peristiwa kejahatan pada kantor Samsat-samsat di Provinsi Banten Ikhsan menilai  pemerintahan Wahidin Halim (WH) dan Andika Hazrumy sebagai kepala daerah dan wakilnya sudah berada dibawah titik  nadir.

“Hopwood dan Tomkins menyebutkan, ada lima aspek akuntabilitas. Pertama, hukum dan kejujuran. Kedua, manajerial, ketiga program, ke-empat, kebijakan dan kelima, finansial. Dan dari aspek tersebut kelima-limanya dilanggar oleh pemprov,” katanya.

Sementara, dalam penilaian akuntabilitas pemerintahan pelanggaran terhadap satu saja dimensi akuntabilitas adalah merupakan bukti kurang akuntabel nya sebuah pemerintahan. “Apalagi dilanggar semuanya (lima aspek).  Ini adalah bisa disebut sebagai sebuah disaster atau bencana,” imbuhnya.

Disinggung mengenai adanya janji dari Kejati Banten yang akan membongkar kasus Samsat Kelapadua sampai akar-akarnya, pihaknya masih belum memiliki kepercayaan 100 persen.

“Saya belum percaya janji kejati adalah janji ksatria yang dapat dipenuhi sehingga dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat, apalagi kasus-kasus yang menyangkut kerabat petinggi. Kasus Samsat Kelapadua, bukan saja kasus pidana penggelapan pajak tetapi juga adanya bukti nepotisme (Kepala Samsat Kelapadua, Bayu Adi Putranto merupakan menantu Gubernur Banten (WH) yang sekali lagi berujung petaka, karena masyarakat tidak pernah tahu apa dasar dari kompetensi yang dilakukan dalam nepotisme tersebut,” katanya.

Sementara itu, Ketua  Perkumpulan Maha Bidik Indonesia, Moch Ojat Sudrajat, menilai  pengembalian  dana  yang  dititipkan di Bapenda  Banten adalah upaya seakan-akan masalah pembajakan  pajak sudah selesai, karena sudah tidak ada kerugian negaranya.

“Padahal pengembalian  kerugian keuangan negara  tidak dapat menghilangkan  tindak pidananya. Sebagaimana  disampaikan  oleh Pakar Hukum Pidana Prof Mudzakir,” katanya.

Pengembalian  dana dari pembajakan pajak dijelaskan Ojat yang dikumpulkan oleh Bapenda menjadi pertanyaan masyarakat. “Dasar hukum Bapenda menerima dana Pengembalian tersebut  berupa apa dan angka Rp 5,9 miliar yang telah diterima itu  hasil perhitungan instansi mana?. Dan yang saya pahami, Bapenda bukan lembaga atau Instansi yang memiliki kewenangan untuk  menerima dana pengembalian  atas kerugian  negara/daerah,” katanya.

Adanya kejanggalan langkah-langkah yang dilakukan oleh Opar Sohari sebagai Kepala Bapenda Banten, Perkumpulan Maha Bidik Indonesia  menganggap ada pihak yang paling bertanggung jawab atas pembajakan pajak di Samsat Kelapadua. “Bahwa kami justru menduga ada aktor intelektual yang memberikan masukan  agar dana tersebut disimpan di Bapenda. Dan  adanya  dana titipan  yang  diduga dari hasil  kejahatan,  dan yang menerima  tahu dana tersebut merupakan  dari hasil  suatu  kejahatan  maka patut  diduga merupakan  Tindak pidana  pencucian  Uang, sebagaimana  dimaksud  pada pasal  3 UU TPPU,” katanya.

Koordinator Presidium Koalisi Masyarakat Sipil Banten (KMSB), Uday Suhada, mengatakan bahwa pihaknya mengapresiasi langkah cepat Kejati Banten dalam melakukan penahanan empat orang pembajak pajak di Samsat Kelapadua.

Namun menurutnya, masih ada sejumlah pertanyaan di benak publik yang menurut Uday, harus segera dijawab oleh Kejati Banten.

“Banyak pihak mempertanyakan, apa betul hanya di level kasi ke bawah saja yang terlibat dalam persekongkolan jahat menjarah uang pendapat daerah itu,” ujarnya dalam keterangan tertulis.

Menurutnya, terdapat beberapa catatan penting dari perkara pembajakan pajak tersebut. Pertama, perkara itu merupakan pengungkapan kasus korupsi yang langka, lantaran sumber perkara tersebut berasal dari pendapatan daerah.

“Sebab pada umumnya terjadi pada penggunaan atau realisasi anggaran melalui beragam kegiatan/proyek. Karenanya hemat saya, harus dilakukan audit investigasi atau audit tujuan tertentu (ATT) oleh BPKP di semua Samsat dan sumber pendapatan daerah lainnya,” kata Uday.

Kedua, Uday menuturkan bahwa diamankannya barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp29 juta dari meja kerja Sekretaris Bapenda Provinsi Banten, Berly Rizky Natakusumah, turut menjadi hal yang harus disoroti agar dapat diungkap ke publik.

“Pak Kajati Leo menyebutkan bahwa tim Kejati juga turut mengamankan barang bukti berupa uang sebesar Rp29 juta dari laci meja kerja Sekretaris Bapenda, Berly Rizky Natakusumah. Tentu Tim Penyidik lebih paham langkah apa yang harus diambil untuk mengungkap uang apa itu?” ucapnya.

Selain itu, peran dari Kepala UPT Samsat Kelapadua pun perlu diperjelas. Sebab, pemegang akses masuk ke sistem Samsat hanya dimiliki oleh Kepala Samsat saja.

“Dalam mekanismenya, pemegang password sistem itu Kepala UPT, bukan kasie, apalagi seorang TKS (Tenaga Kerja Sukarela). Artinya, Kepala UPT Samsat telah memberikan password itu ke orang lain (TKS) atau pihak lain yang terlibat persekongkolan jahat itu,” terangnya.

Terpisah, anggota Komisi III pada DPR RI, Moh. Rano Alfath, turut mengapresiasi kinerja Kejati Banten, yang dalam waktu singkat berhasil menahan para pembajak pajak di Samsat Kelapadua.

“Saya selalu pantau kasus ini dari awal muncul temuan, dan saya sangat apresiasi langkah cepat Kejati Banten dalam menelusuri informasi yang ada, mengutilisasikan operasi intelijen dan menaikan status ke penyidikan sehingga kasus ini terang benderang,” kata Rano kepada awak media.

Menurut Rano, langkah yang diambil oleh Kejati Banten sudah tepat, karena menegaskan bahwa negara tidak memberikan toleransi kepada kasus korupsi, apalagi di tengah sulitnya ekonomi masyarakat.

“Ini langkah yang benar. Jadi jangan seolah kerugian negara akibat korupsi itu bisa begitu saja selesai dengan adanya pengembalian. Kalau jelas ada mens reanya (niat jahat), harus dipidanakan. Sesuai dengan Pasal 4 UU Tipikor,” jelas Rano.

Ia pun menegaskan bahwa diperlukannya peran aparat penegak hukum dalam mengawasi dan membina pejabat-pejabat pemungut pajak seperti UPTD Samsat, sehingga kejadian serupa tak terulang di kemudian hari.

“Saya juga pernah sampaikan bahwa minimal fungsi pengawasan harus ditingkatkan. Para UPT-UPT Samsat itu agar diawasi dan dibina agar persoalan ini tidak terulang, termasuk kasus-kasus pungli juga. Komitmen kita sekarang uang negara itu harus diserap dengan baik karena akan kembali ke masyarakat nantinya,” tegasnya.

Diketahui, Kejati Banten pada Jumat (22/4) telah melakukan penggeledahan terhadap kantor Bapenda Provinsi Banten dan juga kantor Samsat Kelapadua. Ternyata, penggeledahan tersebut merupakan tindak lanjut atas ditingkatkannya perkara pembajakan pajak Kelapadua menjadi penyidikan pada Kamis (21/4).

Kepala Kejati Banten, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, mengaku bahwa pihaknya telah melakukan operasi intelijen sejak Rabu (20/4). Dari hasil operasi intelijen itu, ditemukan adanya indikasi perbuatan melawan hukum atas pembajakan pajak itu.

Leonard menuturkan, Kejati Banten melalui Bidang Pidsus langsung melakukan pemeriksaan terhadap empat orang saksi. Dari hasil pemeriksaan tersebut, ditemukan fakta hukum dan alat bukti yang cukup, sehingga keempatnya pun ditetapkan sebagai tersangka.

Adapun keempat tersangka itu yakni Kasi Penagihan dan Penyetoran pada Samsat Kelapadua berinisial Z, petugas bagian penetapan pada Samsat Kelapadua berinisial AP, tenaga honorer bagian kasir pada Samsat Kelapadua berinisial MBI dan mantan pegawai Samsat yang juga merupakan pembuat aplikasi berinisial B.

Menurut Leonard, masing-masing tersangka memiliki perannya sendiri. Namun, untuk saat ini diketahui jika Z merupakan inisiator dari terbentuknya gerombolan bajak pajak tersebut.

Leonard pun menuturkan jika uang-uang hasil pembajakan pajak tersebut diserahkan kepada AP untuk dikumpulkan. Hal itu dilakukan para tersangka sejak bulan Juni 2021 sampai dengan bulan Februari 2022.

Selain itu, Leonard pun menuturkan jika ternyata selain operasi pembajakan yang dilakukan oleh kelompok yang dipimpin oleh Z, ada operasi pembajakan lainnya yang dilakukan oleh MBI, B dan AP tanpa sepengetahuan Z.

“Adapun tersangka MBI, tersangka B dan tersangka AP melakukan juga hal tersebut (pembajakan pajak) tanpa sepengetahuan tersangka Z sejak Agustus 2021 sampai dengan Februari 2022, dikarenakan para tersangka merasa tidak mendapat seperti yang dijanjikan oleh tersangka Z,” jelasnya.

Di sisi lain, Leo mengungkapkan bahwa keempat pembajak pajak Samsat Kelapadua sempat memusnahkan sejumlah barang bukti dengan cara dibakar dan dirobek.

“Ada beberapa surat ketetapan (pajak) itu yang dirobek dan dibakar. Oleh karena itu untuk tidak mengulangi perbuatannya, para tersangka oleh tim penyidik dilakukan penahanan,” ujarnya.

Kejati Banten pun turut menyoroti dasar Pemprov Banten dalam menerima pengembalian uang hasil pembajakan pajak di Samsat Kelapadua sebesar Rp5,9 miliar. Pasalnya, pihaknya belum menemukan dasar yang kuat bagi Pemprov, untuk menerima pengembalian uang itu.

“Kenapa ini diterima? Ini yang sedang kami terus dalami. Dan mengapa ini bisa diterima di tempat itu. Jadi kami akan terus mempelajari itu, dan akan kami lihat bagaimana perkembangan uang yang ada di tempat itu,” ucapnya.(DZH/RUS/PBN)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *