Penyakit hepatitis akut merupakan ancaman baru, khususnya bagi anak Indonesia. Apalagi, dampak hepatitis akut bagi usia anak lebih bahaya ketimbang Covid-19.
Jika sosialisasi pencegahan Covid-19 dengan protokol kesehatan (prokes) mampu membentuk sikap waspada mayoritas masyarakat, maka untuk hepatitis akut juga pasti bisa. Kalau perlu, sosialisasi pencegahannya lebih masif dari Covid-19.
“Seluruh lapisan masyarakat harus mendapat informasi bagaimana mencegah dan tahu apa yang harus dilakukan jika anak terkena hepatitis akut. Harus gencar seperti prokes 3M Covid, sampai pelosok permukiman penduduk,” ujar Sosiolog Hermawan Pancasiwi dalam diskusi virtual, kemarin.
Pemerintah perlu memanfaatkan seluruh kanal media. Mulai dari media massa cetak, elektronik serta media sosial (medsos). Tidak hanya itu, imbauan juga harus dilakukan di area publik sampai di tingkat RT/RW.
“Saya kira sosialisasi untuk pencegahan Covid-19 juga bisa dilakukan untuk hepatitis akut. Jangan terlambat,” pinta Hermawan.
Hingga Senin (9/5), Indonesia sudah mencatat empat kematian anak yang diduga disebabkan hepatitis akut. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, tiga dari empat anak yang datang ke fasilitas kesehatan pada kondisi stadium lanjut, sehingga berujung kematian. Rinciannya, dua di Jakarta dan satu di Tulungagung.
Dalam tiga kasus pertama, anak berusia 2 tahun sudah mendapatkan vaksinasi hepatitis, usia delapan mendapatkan vaksinasi Covid-19 satu kali dan vaksin hepatitis lengkap, dan usia 11 tahun sudah mendapatkan vaksinasi Covid-19 dan hepatitis lengkap.
Ketiga anak tersebut negatif Covid-19 dan berdasarkan hasil investigasi, satu kasus memiliki penyakit penyerta.
Selain sosialiasi prokes, Pemerintah juga disarankan segera membuat protokol penanganan pasien di tengah penyebaran hepatitis akut yang sudah menyebar.
Protokol tersebut harus dibuat demi mencegah makin banyaknya korban jiwa akibat hepatitis misterius ini.
“Tentu kita ingin tidak ada lagi anak-anak yang menjadi korban. Maka protokol kesehatan pencegahan hepatitis dibutuhkan untuk menghindari bertambah banyaknya korban,” harapnya.Pakar Sosial Universitas Katolik (Unika) Soegidjapranata ini menilai, penghentian penyebaran bisa dilakukan dengan langkah preventif. Sehingga ketika ditemukan penyebab utamanya, bisa langsung dilakukan upaya penghentian.
“Jika ditemukan tanda gejala secara fisik pada anak maka orang tua juga harus segera memeriksakan anak ke fasilitas kesehatan terdekat,” tutur Hermawan.
Dia yakin, Kemenkes sudah berkoordinasi dengan daerah untuk menangani hepatitis akut. Dia memprediksi, vaksin baru untuk hepatitis akut akan segera ditemukan.
Pemerintah harus cepat bergerak cepat baik bersifat kuratif atau menyembuhkan jika terjadi. Serta yang bersifat preventif, sebagai upaya pencegahan.
“Bagaimana pun juga, ini penyakit yang bersifat menular. Pencegahan sangat diperlukan, dan Pemerintah Daerah harus siaga serta masyarakat juga harus waspada dengan mengawasi anak untuk membiasakan hidup bersih,” jelasnya.
Terpisah, Juru Bicara Kemenkes Siti Nadia Tarmizi meminta masyarakat tetap membiasakan pola hidup yang sehat, terutama kepada anak. Juga, tidak bertukar alat makan dengan teman, mengingat hepatitis akut mudah menular.
“Umumnya, gejala awal dari penyakit hepatitis akut ini adalah mual, muntah, sakit perut, diare dan terkadang deman ringan,” jelasnya.
Namun, gejala bisa lebih dari demam dan diare. Anak yang terinfeksi hepatitis akut bisa juga memiliki warna urine yang pekat seperti teh dan warna putih pucat pada fesesnya.
Beberapa sumber juga mencatat, pasien mengalami jaundis, atau kondisi di mana mata dan selaput lendir berubah menjadi warna kuning.
Dia juga mengatakan, ketiga kasus hepatitis akut di Jakarta masuk ke dalam “kriteria pending klarifikasi”. Kemenkes menduga, penyakit yang pertama kali terdeteksi di Skotlandia ini disebabkan oleh Adenovirus. [JAR/rm.id]
Tinggalkan Balasan