SERANG, BANPOS – Penunjukan Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah (Sekda), Tranggono disikapi pro dan kontra oleh ASN. Hal ini dikarenakan, walau dinilai memiliki perencanaan yang matang, namun gaya kepemimpinannya yang kaku dan bukan ‘asli’ ASN Banten dinilai akan membuat ASN makin terbelah dan terkotak-kotakkan.
Selain itu, kewenangan pelantikan oleh Pj Gubernur Provinsi Banten juga dipersoalkan. Pasalnya, hingga saat ini dianggap belum ada regulasi yang kuat terkait petunjuk teknis dan kewenangan Pj Gubernur, yang dikeluarkan oleh Kemendagri.
“Saya pribadi melihat sosok Pak Tranggono ini pendiam, tapi terlihat perencanaan yang matang. Bisa kerja lah,” kata salah seorang ASN di Dinas PUPR yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Kepiawaan Tranggono, telah disaksikan langsung ketika dirinya menjadi bawahan langsung. “Pak Tranggono itu kan dulu pernah jadi Kepala Dinas PUPR,” katanya.
Berbeda dengan ASN yang berada di OPD pelayanan. Menurut dia, Tranggono yang saat ini menjabat sebagai Pj Sekda Banten, dinilai kaku, sehingga keberdaanya tidak efektif ditengah-tengah ASN pemprov yang terpecah-pecah.
“Melihat cara keprmimpinan Pak Tranggono di Dinas PUPR beberapa waktu lalu, saya tidak yakin yang bersangkutan membawa dampak positif dan kenyamanan dilingkungan kerja,” katanya.
Ditambah lagi, Tranggono adalah pejabat eselon II Pemprov Banten hasil open bidding yang diduga bawaan langsung oelh Pj Gubernur Al Muktabar. “Kenyamanan Pj Sekda Banten hanya dirasakan oleh Pj Gubernur. Dan saya menduga kalau Pak Tranggono tidak mampu menyatukan ASN pemprov yang terkotak-kotak. Karena ada ASN gerbong mantan Banten 1 (Wahidin Halim), dan gerbong atau barisan mantan Banten 2 (Andika Hazrumy),’ ujarnya.
Saat ini saja lanjut dia, ASN pemprov sudah mulai gelisah dan tidak nyaman dengan duet Al Muktabar dan Tranggono.”Kalau mau dicermati, hampir disemua OPD terlihat tidak berkenan dengan Pak Tranggono,” ujarnya.
Ketidaksenangan kepada Tranggono lanjut dia, selain Kaku, Pj Sekda juga merupakan pendatang baru. “Jadi posisi Pak Tranggono ini sebetulnya menambah panjang dan banyak ASN yang berkelompok,” jelasnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Suparman, mengatakan bahwa pelantikan Pj Sekda oleh Pj Gubernur Banten bisa menimbulkan kekacauan dalam pelayanan publik di lingkungan Pemprov Banten.
“Pelantikan Pj Sekda yang dilakukan Pj Gubernur Banten itu abu-abu. Sejak dari awal, kami mendorong Mendagri Tito Karnavian untuk mengeluarkan regulasi soal petunjuk teknis pengangkatan dan kewenangan PJ Gubernur. Hingga saat ini, Mendagri belum mengeluarkan regulasi tersebut,” ujarnya.
Terlebih, Pj Gubernur Provinsi Banten, Al Muktabar, mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Banten Nomor : 821: /Kep.076-BKD/2022 tentang Pengangkatan Penjabat Sekretaris Daerah Provinsi Banten dalam rangka melantik M. Tranggono.
Menurutnya, Surat Keputusan tersebut seharusnya tidak mencantumkan label jabatan Gubernur. Sebab, Al Muktabar bukanlah Gubernur definitif melainkan hanya seorang Pj Gubernur yang diangkat oleh Mendagri, untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang habis masa jabatannya.
Herman menegaskan, regulasi petunjuk teknis soal pengangkatan dan kewenangan Pj Gubernur, merupakan hal terpenting yang wajib dilakukan oleh Mendagri. Sebab hal itu terkait dengan pelaksanaan kegiatan roda pemerintahan daerah, dalam memberikan pelayanan publik.
“Sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran kewenangan Pj, termasuk soal seperti apa evaluasi dan monitoring terhadap kinerja Pj. Harus ada hitam di atas putih,” tegasnya.
Herman menuturkan, hingga saat ini Mendagri enggan mengeluarkan regulasi baru untuk pengangkatan Pj Gubernur dan masih mengacu pada Permendagri Nomor 1 tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Menurut Herman, sikap Mendagri yang mengacu pada Permendagri tersebut sangat tidak relevan. Pasalnya, Permendagri tersebut dianggap memiliki konteks yang berbeda, dimana dalam Permendagri Nomor 1 tahun 2018 hanya mengatur soal masa jabatan Kepala Daerah yang melakukan cuti selama enam bulan untuk kegiatan kampanye, tidak mengatur tentang masa jabatan Kepala Daerah yang habis masa jabatannya.
“Hari ini Pj itu bisa menjabat selama satu tahun atau diperpanjang lagi dua tahun, kewenangannya harus diperjelas. Karena Pj ini melewati hingga dua tahun APBD dan itu adalah keputusan-keputusan strategis,” terangnya.
“Dan apakah Permendagri Nomor 1 tahun 2018 itu masih relevan? Maka dalam konteks ini aturan tersebut sudah tidak relevan. Dan ini bisa menimbulkan chaos dan berbahaya. Apalagi jika yang dilakukan Pj Gubernur Provinsi Banten diikuti oleh Pj Gubernur Provinsi lainnya, ini baru bulan pertama,” jelasnya.
Karena itu, dirinya mendorong Mendagri untuk segera mengeluarkan regulasi petunjuk teknis pemilihan Pj Gubernur, Bupati dan Walikota sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 15/PUU-XX/2022 yang diketok palu pada tanggal 10 Maret 2022, yang mensyaratkan soal penerbitan regulasi baru tentang mekanisme pemilihan, pengangkatan penjabat, kewenangan penjabat, monitoring dan evaluasi penjabat.
“Jika tidak ada regulasi soal pengangkatan dan kewenangan Pj Gubernur, akibatnya secara legalitas pelantikan Pj Gubernur tidak memiliki dasar hukum yang kuat, tentu hal ini sangat rawan digugat,” tandasnya.(RUS/DZH/PBN)
Tinggalkan Balasan