Pemulung Rupiah di Proyek Sampah

PENGELOLAAN sampah kerap menjadi polemik di sebuah daerah. Karena pengelolaan sampah bukan sekedar memindahkan sampah dari lingkungan masyarakat ke tempat pembuangan akhir. Hal itu justru melahirkan peluang untuk  mendulang rupiah. Sayangnya ada yang menggunakan cara kotor, termasuk mereka memanfaatkan sampah menjadikan dirinya sebagai ‘pemulung’ anggaran Negara dari proyek-proyek sampah.

Dalam waktu dua hari berturut-turut, ada dua persoalan hukum yang terkait dengan sampah terjadi di Provinsi Banten. Dua perkara itu diungkap oleh dua institusi berbeda pula.

Kasus pertama terjadi di lingkungan Pemkab Serang, kasusnya diungkap oleh Polda Banten. 

Mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Serang, Sri Budi Prihasto, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) pengadaan lahan Stasiun Peralihan Akhir (SPA) sampah di Kecamatan Petir oleh Polda Banten.

Bukan hanya Budi, Polda Banten pun menetapkan tiga orang sebagai tersangka lainnya yakni Kepala Desa Nagara Padang, Toton; Camat Petir, Asep Hedriyana dan Kabid Sampah dan Taman pada DLH Kabupaten Serang, Toto Mujianto.

Kabid Humas Polda Banten, Kombes. Pol Shinto Silitonga, mengatakan bahwa dugaan Tipikor pada pengadaan lahan SPA Sampah tersebut sudah mulai dibidik oleh Polda Banten sejak akhir Oktober 2021 lalu. Dari hasil pemeriksaan, didapati bahwa perkara tersebut mengarah pada perbuatan Tipikor yang dilakukan secara bersama-sama antara Budi, Toton, Toto dan Asep.

“Maka telah diinventarisir ditemukan fakta hukum serta modus para pelaku dalam menjalankan aksi Tipikor,” tuturnya saat menggelar press conference di Mapolda Banten, Senin (30/5) lalu.

Adapun modusnya yakni menggunakan SK Bupati Serang nomor 539 tanggal 11 Mei 2020 tentang pengadaan SPA sampah, yang awalnya ditetapkan di Desa Mekar Baru. Namun karena ada penolakan dari warga, maka lokasi SPA dipindah ke Desa Nagara Padang.

“Dengan menggunakan SK yang sama. Maka perbuatan melawan hukumnya adalah tidak diubahnya SK, tetapi SK lama ditipeks atau ditimpa dengan mengganti tujuan baru yaitu Desa Nagara Padang,” katanya.

Sementara menurut Shinto, niat jahat atau mens rea yang dilakukan oleh keempatnya yakni melakukan mark-up anggaran atas harga jual lahan tersebut hingga 300 persen dari harga yang dibayarkan kepada pemilik lahan.

“Pemilik lahan menerima uang sebesar Rp330 juta dengan luas tanah 2.561 meter persegi. Sementara pelaku ini meminta kepada negara dengan anggaran Rp526.213 per meter persegi,” katanya.

Sehingga jika dikalikan dengan luas lahan, maka terserap anggaran negara sebesar Rp1.347.632.000 dan menghasilkan disparitas anggaran mencapai Rp1.017.623.000.

“Itulah kenikmatan yang dinikmati sebagai hasil kejahatan korupsi dari para pelaku korupsi dengan memark up nilai tanah negara,” ucapnya.

Selain itu, para tersangka juga melakukan modus transfer anggaran tidak langsung kepada pemilik lahan. Namun, anggaran pembebasan lahan yang telah digelembungkan itu dikirimkan ke rekening Toton selaku Kepala Desa Nagara Padang.

“Ini modus supaya uang tidak dikuasai secara langsung oleh pemilik lahan, tetapi bisa singgah terlebih dahulu di salah satu sindikasi tersangka,” tandasnya.

Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar pasal berlapis sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 3 jo Pasal 12 huruf i UU 20 tahun 2001 tentang perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor, jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dengan ancaman pidana minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara, serta denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

Selang tiga hari sejak rilis Polda Banten terkait kasus di Kabupaten Serang, Selasa (31/5), giliran Kejari Cilegon mengungkapkan penetapan tersangka yang terkait dengan proyek sampah. Mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cilegon, Ujang Iing ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Cilegon. 

Ujang yang saat ini menjabat sebagai Asda III Setda Kota Cilegon ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan Tipikor pembangunan depo sampah di Kecamatan Purwakarta, Tahun Anggaran (TA) 2019 yang bersumber dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Cilegon pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Cilegon. Bersama Ujang, Kejari juga menetapkan tersangka dari pihak swasta yaitu Direktur PT Bangun Cipta Alam Indo berinisial LH.

Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Cilegon, Ineke Indraswati menyampaikan, dari hasil penyidikan didapatkan bukti permulaan yang patut untuk menetapkan dua orang tersangka yaitu saudara Ujang Iing selaku Pengguna Anggaran dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Saudara LH selaku Penyedia/Kontraktor dalam kegiatan pembangunan depo sampah di Kecamatan Purwakarta, Kota Cilegon Tahun Anggaran 2019.

Lebih lanjut ia menjelaskan, kronologi perkara tipikor tersebut yaitu berawal dari adanya anggaran transfer depo Kecamatan Purwakarta Tahun Anggaran 2019 pada Dinas Lingkungan Hidup Kota Cilegon yang berasal dari APBD Kota Cilegon Tahun Anggaran 2019 dengan nilai pagu paket pekerjaan sebesar Rp939.200.000.

“Setelah dilakukan proses tender, PT Bangun Alam Cipta Indo ditentukan sebagai pemenang tender selanjutnya Tersangka UI selaku PPK melakukan penunjukan penyedia dan memerintahkan PT Bangun Cipta Alam Indo untuk memulai pelaksanaan pekerjaan dengan nilai kontrak sebesar Rp844.056.000,” katanya.

Akan tetapi, pada faktanya tersangka LH selaku Direktur PT Bangun Alam Cipta Indo secara melawan hukum hanya meminjamkan bendera perusahaannya kepada orang lain untuk mengikuti tender dan melaksanakan pekerjaan konstruksi depo sampah di Kecamatan Purwakarta tersebut.

“Kemudian Tersangka UI selaku PPK telah secara melawan hukum dan atau menyalahgunakan kewenangannya menyetujui pekerjaan pembangunan transfer depo Kecamatan Purwakarta tersebut dilaksanakan oleh pihak lain atau bukan dilaksanakan oleh PT Bangun Cipta Alam Indo beserta personil yang termuat di dalam kontrak,” tuturnya.

Atas perbuatan itu, lanjut Ineke, pekerjaan pembangunan transfer depo di Kecamatan Purwakarta tersebut tidak dilaksanakan sesuai gambar rencana, kontrak dan spesifikasi teknis.

Selain itu, dengan hasil kesimpulan Penilai Ahli Jasa Konstruksi, bangunan Trans Depo itu juga dinilai tidak dapat digunakan sesuai dengan fungsi awalnya atau terjadi kegagalan bangunan.

“Dikarenakan terhadap Tersangka UI dan Tersangka LH memenuhi syarat alasan objektif dan subjektif penahanan serta demi memperlancar proses penyidikan, maka terhadap dua orang tersangka tersebut dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas II B Serang selama 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal 31 Mei 2022 sampai dengan 19 Juni 2022,” pungkas Ineke yang sebelumnya menjabat sebagai Konsul Kejaksaan KJRI Hongkong. 

Terpisah, pegiat lingkungan yang kerap menyoroti masalah sampah di Provinsi Banten, Mulya Nugraha mengungkapkan bahwa dirinya merasa wajar bial persoalans ampah menjadi lumbung korupsi yang cukup empuk di Provinsi Banten. Karena menurutnya, sampah saat ini tidak bisa dianggap sebagai onggokan barang yang sudah tidak berguna, melainkan komoditas yang banyak dilirik, termasuk menjadi proyek yang cukup basah di pemerintahan.

Mulya menjelaskan, keberadaan sampah di suatu lingkungan dapat mengakibatkan permasalahan, mulai dari masalah kesehatan hingga masalah estetika suatu wilayah. Bahkan, sampah sudah dianggap sebagai suatu permasalahan yang hingga saat ini masih terus dicari penyelesaiannya.

Akan tetapi, keberadaan sampah tidak melulu menjadi sebuah petaka. Sebab, ada sejumlah pihak yang justru memandang sampah sebagai cuan. Menurut aktivis yang juga menolak keras penempatan TPSA di Bojongmenteng, Kabupaten Serang itu, terdapat tiga pihak yang mendapat keuntungan dari keberadaan sampah maupun program yang berkaitan dengan sampah.

Ketiganya yakni masyarakat yang bekerja dalam mengumpulkan dan mengolah sampah, pemerintah daerah yang menetapkan nilai retribusi berdasarkan jumlah sampah yang diangkut dan dikelola, serta oknum-oknum pemain yang memanfaatkan celah program pengelolaan sampah di pemerintahan, untuk mengambil keuntungan pribadi.

“Kalau berbicara sampah, melihat dari sisi oknum pemain, memang biasanya terlibat dalam hal program pembangunan atau dalam pembebasan lahannya. Karena memang lokasi tempat sampah itu harus berada di dalam,” ujarnya kepada BANPOS, Kamis (2/6).

Menurutnya, pembebasan lahan menjadi salah satu tahapan yang paling mudah untuk dimainkan dalam program pembangunan tempat sampah. Karena, dipastikan terdapat selisih harga tanah antara harga aslinya dengan pagu anggaran di pemerintahan.

“Harga pasar itukan lebih murah dari anggaran yang ada di pemerintahan. Disitulah ada celah bermain dari oknum-oknum, ada manipulasi dan hal-hal yang pada akhirnya menjadi permasalahan,” ujarnya.

Sebagai contoh, dua kasus yang mencuat pada akhir Mei lalu yang membuat dua orang mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) di dua daerah harus mendekam di balik jeruji besi. Keduanya diduga mengambil celah yang ada pada program pembangunan depo dan stasiun sampah itu.

“Berawal dari pola pikir-pola pikir oknum yah yang melihat bahwa ada nilai lebih dalam pengadaan lahan dan pembangunan tersebut, sehingga terjadi tindakan-tindakan seperti yang kemarin itu. Permainannya dimulai dari program pengadaannya,” ungkap Mulya.

Menurutnya, permainan yang dilakukan oleh para oknum tersebut sudah pasti merupakan tindakan melawan hukum. Akan tetapi, cuan dari sampah pun bisa didapatkan dengan legal dan sesuai dengan ketentuan hukum.

“Sampah itu memang bisnis untuk daerah, juga bisnis untuk mereka yang tertarik dengan pengolahan sampah. Seperti model-model pengolahan sampah plastik yang pada akhirnya menjadi daya tarik masyarakat dalam melakukan pengolahan. Ini yang baik,” katanya.

Cuan sampah yang didapatkan oleh pemerintah, biasanya berasal dari retribusi sampah yang ditarik dari masyarakat. Selain itu, pemerintah daerah juga bisa melakukan kerja sama, seperti yang dilakukan oleh Pemkot Serang terhadap Pemkot Tangerang Selatan.

Bahkan menurut Mulya, kerjasama antar daerah dalam pengelolaan sampah pun merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang cukup besar. Karena dalam pengelolaan sampah, dibutuhkan anggaran yang cukup besar juga.

“Karena sampah itu sebenarnya adalah masalah bagi setiap daerah. Sehingga wajar harga sampah mahal, contohnya Cilowong yang didatangkan sampah dari Tangsel. Nah dari situ kan Pemerintah Daerah dapat PAD dari sampah itu,” ucapnya.

Ia pun bisa membayangkan ‘aroma’ cuan yang terhirup dari datangnya sampah Tangsel ke Kota Serang. “Sekarang seperti ini, misalkan dari kerja sama Cilowong itu, berapa rupiah yang didapatkan dari setiap ton sampah yang masuk. Sangat lumayan, karena sampah itu akan selalu ada setiap harinya,” kata dia.

Bahkan setahu dia, Pemkot Serang juga bekerja sama dengan daerah lainnya dalam hal pengelolaan sampah. Salah satunya dengan Pemkab Serang. Ia mengaku, nilai kerjasamanya pun masih dapat diatur oleh masing-masing daerah dalam hal pengelolaan sampahnya.

“Intinya mah kalau soal itu, kembali lagi kepada masing-masing pemerintah daerah. Sebenarnya untuk berapa nilai setiap sampah ketika masuk ke Cilowong itu, kan sebenarnya sudah ada ketentuannya. Maka itu juga perlu untuk disesuaikan juga,” ucapnya.

Sejauh ini, pihaknya juga masih menemukan adanya pola pengelolaan sampah yang salah dari pemerintah. Salah satunya di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Cilowong, yang klaimnya menggunakan sanitary landfill, padahal menggunakan metode open dumping.

“Pemerintah juga kan saat ini masih banyak yang salah dalam pengelolaan sampahnya. Katakan Cilowong, bilangnya sanitary landfill, tapi kan kenyataannya masih dengan open dumping dalam pengelolaannya,” terangnya.

Padahal, penggunaan metode open dumping sangat berbahaya bagi masyarakat sekitar. Apalagi lokasi Cilowong yang berada di atas bukit, bisa mempengaruhi air pemukiman warga yang berada di bawahnya.

“Cilowong yang ada di bukit, itu kan open dumping. Sedangkan ketika hujan, dia air lindinya bisa menyebar ke sumber air masyarakat. Sedangkan air lindi ketika dikonsumsi, itu sangat berbahaya,” ungkapnya.

Permasalahan lainnya yakni dalam pemaksimalan retribusi sampah yang ditarik dari masyarakat. Sejauh ini, ia menuturkan masih banyak temuan pada pendapatan retribusi sampah.

“Retribusi sampah yang masih ada temuan tentunya perlu juga dilakukan pengawasan. Karena bisa saja ada oknum-oknum yang bermain dengan retribusi sampah tersebut,” katanya. 

 

Pada bagian lain, Direktur Eksekutif Aliansi Lembaga Independen Peduli Publik (ALIPP) Uday Suhada mendukung langkah aparat penegak hukum (APH) yang sudah melakukan penyidikan kasus dugaan Tipikor terkait dengan sampah di Kabupaten Serang dan Cilegon. Uday juga meminta agar APH juga menelusuri banyaknya proyek-proyek di pemerintah yang meminjam  bendera penrusahaan orang lain dan men sub kontraktor kan paket proyek.

“Subkon inilah salah satu mata rantai penyebab korupsi. Dan ini memang harus memjadi perhatian kita semua,” kata Uday.

Oleh karena itu dirinya meminta kepada semua kepala daerah untuk memberangus para kepala dinas yang bermain curang dengan melakukan pengelembungan anggaran dan merekayasa pemenang.  

“Saya berandai-andai, jika hari ini saya Pj Gubernur atau Bupati/Walikota, saya akan kumpulkan semua kepala dinas, asosiasi pengusaha, APH dan wartawan. Pak APH, jika anak buah saya dan pengusaha ada yang menyimpangkan uang rakyat, jangan ragu, sikat. Para Kadis, gak boleh minta setoran, kalau terdengar, langsung saya ganti. Para pengusaha, silakan tender dengan fair dengan segala dinamikanya, jika hasil tender anda subkon, jangan mimpi tahun depan dapat pekerjaan lagi. Bukan sekedar perusahaannya yang saya blacklist, tapi juga nama anda,” terangnya.

Uday juga menyampaikan apresiasinya kepada APH yang sudah melalukan penyidikan dugaan proyek di Kabupaten Serang dan Cilegon.

“Peristiwa ini adalah catatan buruk untuk kesekian kalinya di Banten. Kasus ini adalah bukti bahwa Banten masih menjadi sarang koruptor. Kedua, kami sangat mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan menetapkan  para tersangka,” ungkapnya.

Dan untuk meminimalisir peristiwa serupa lanjut Uday, penindakan, tuntutan hingga putusan agar lebih maksimal. “Agar menimbulkan efek jera bagi pelaku, bahan renungan bagi par penyelenggara pemerintahan dan melahirkan rasa keadilan bagi masyarakat. Ini menjadi catatan penting untuk APH. Jika itu ditetapkan, saya optimis, akan menekan potensi penyimpanan dan semakin memperkuat kualitas pembangunan,” pungkasnya.(RUS/DZH/ENK)

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *