Maladministrasi Gerbang Korupsi

PRAKTIK manipulasi tanggal dokumen atau backdate pada dokumen negara disebut telah masuk ke dalam ranah maladministrasi. Sementara maladministrasi merupakan bentuk perbuatan melawan hukum dan gerbang awal terjadinya tindak pidana korupsi (Tipikor).

Hal itu disampaikan oleh Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan Ombudsman Banten, Zainal Muttaqin. Kepada BANPOS, Zainal menuturkan bahwa temuan adanya praktik backdate pernah viral di Indonesia, ketika Ombudsman RI menemukan praktik tersebut pada proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK RI.

“Jika akang mengikuti, kami pernah tindak lanjut TWK di KPK. Kami menemukan maladministrasi dalam bentuk tanggal mundur pembuatan surat perjanjian kerjasama antara KPK dengan BKN. Kami nyatakan itu maladministrasi. Kenapa? Karena maladministrasi itu merupakan perbuatan melawan hukum,” ujarnya saat diwawancara melalui sambungan telepon.

Ia menuturkan, maladministrasi bukanlah sesuatu yang bisa diremehkan. Pasalnya, maladministrasi tidak jauh berbeda dengan perbuatan melawan hukum lainnya. Terlebih maladministrasi yang terjadi pada pelayanan publik.

“Kalau maladministrasinya itu tidak diperbaiki, maka bisa sampai kita usut kepada unsur-unsur pidana. Kenapa itu dilakukan, kenapa manipulasi dilakukan, kenapa tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Nah bisa saja mens rea itu karena motivasinya untuk merugikan keuangan negara atau tindak pidana korupsi,” ucapnya.

Jenis-jenis maladministrasi pun menurut Zainal bermacam-macam. Mulai dari penyalahgunaan kewenangan hingga pengabaian terhadap kewajiban hukum.

“Dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik, (maladministrasi) bisa dalam bentuk melampaui wewenang, atau menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari wewenang tersebut. Lalu ada kelalaian juga atau mengabaikan kewajiban hukum,” katanya.

Ia menuturkan, dari adanya maladministrasi bukan hanya menimbulkan kerugian immateriil saja. Namun juga bisa mengarah pada terjadinya kerugian materil, baik untuk publik maupun orang-perorangan. Hal itu juga bisa terjadi pada praktik backdate yang terjadi pada Dinas PUPR.

“Kami melihat praktik-praktik yang tidak sesuai dengan fakta hukum, kami sebut maladministrasi. Jadi tidak sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi atau tata hukum pemerintahan yang baik,” ungkap Zainal.

Praktik manipulasi tanggal itu pun menurutnya bisa berlanjut pada unsur pidana. Sebagai contoh, ketika pelaksanaan manipulasi tanggal tersebut memberikan dampak kerugian keuangan negara, sehingga bisa dikatakan tindak pidana korupsi.

“Jadi unsur pidananya bisa banyak, kalau misalnya surat-suratnya dibuat dengan manipulasi tanggal, bisa masuk unsur surat palsu. Kalau surat palsu itu masuk unsur pidananya, ketentuan pidananya seingat saya itu pasal 263 di KUHP,” terangnya.

Terlebih, dokumen-dokumen pemerintahan biasanya digunakan sebagai bahan keterangan suatu kegiatan atau peristiwa. Biasanya, dokumen pemerintahan akan digunakan oleh BPK, Inspektorat maupun Aparat Penegak Hukum (APH) dalam memeriksa keabsahan kegiatan atau peristiwa.

“Dengan dokumen kontrak yang ditandatangani tanggal mundur, itu kan kita mau bilang peristiwanya masa lalu. Itu juga masuk dalam unsur pemalsuan. Jadi kami selalu bilang, maladministrasi itu gerbang korupsi,” terangnya.

Untuk kasus backdate yang terjadi pada Dinas PUPR Provinsi Banten, Zainal enggan mengandai-andai alasan di balik praktik tersebut. Namun apapun alasan yang disampaikan, menurutnya praktik backdate itu sudah melanggar aturan administrasi sehingga masuk kategori maladministrasi.

“Kalau alasannya harusnya kemarin (dibuat kontrak) tapi baru bisa dilakukan sekarang, nah itu harus bisa diperdalam lagi. Kenapa kemarin tidak dilakukan? Apakah dia lalai? Maka ada unsur maladministrasi ketidak kompetenan. Ataukah dia misalnya menyimpangi prosedur, harusnya melakukan ini dulu tapi dia sudah.melakukan yang lain. Maka ada unsur penyimpangan prosedur,” ungkapnya.

Dalam ketentuan administrasi, Zainal menuturkan bahwa jika suatu dokumen telah dinyatakan maladministrasi, maka dokumen tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Begitu pula dengan kontrak adendum yang dibuat tanggal mundur oleh Dinas PUPR Provinsi Banten.

“Dalam ketentuan, jika kita tidak menjalankan administrasi yang baik, maka produk itu bisa dianggap tidak berkekuatan hukum. Kita perlu melihat sampai sana. Jika suratnya palsu dan dipakai, maka sudah jelas itu tidak memenuhi prosedur penerbitan surat administrasi,” tegasnya.

Zainal mengatakan, maladministrasi masih dapat diperbaiki. Maka dari itu, Ombudsman memiliki rekomendasi tindakan korektif apabila badan publik kedapatan melakukan tindakan maladministrasi. Hal itu juga menjadi langkah pencegahan terjadinya tindak pidana oleh badan publik.

“Namun jika ternyata memang sengaja melakukan itu, melewati prosedur tertentu atau tahapan tertentu yang diatur dalam Undang-undang, maka bisa dicari dugaan tindak pidana atau pemalsuan. Kan bisa jadi itu menguntungkan sebagian pihak,” terangnya.

Tindakan korektif tersebut menurutnya tetap harus dilakukan sesuai dengan aturan Perundang-undangan yang berlaku. Tindakan itu pun harus bisa memenuhi hak dari para pelapor atau pengadu yang datang ke Ombudsman, dalam hal temuan itu berdasarkan hasil laporan.

“Kalau misalkan tindakannya dengan menerbitkan surat baru dan membatalkan surat yang lama, selama itu dimungkinkan maka tidak jadi masalah. Namun jika itu sudah sampai pada merugikan keuangan negara, kami akan langsung melakukan koordinasi dengan Aparat Penegak Hukum,” katanya.

Dalam kasus Dinas PUPR, Zainal menuturkan bahwa sebenarnya pemerintah pun memiliki langkah untuk merubah perencanaan, jika memang hal itu yang ingin dilakukan oleh Dinas PUPR ketika melakukan backdate kontrak.

“Perencanaan kan sudah dibuat, sudah diproyeksikan baik dari tanggalnya sampai anggarannya. Ketika tidak dilaksanakan, harus didalami dulu kenapa tidak bisa dilaksanakan. Kalaupun bergeser kan perlu diatur dulu. Kita kan dimungkinkan mengganti anggaran apabila kondisi-kondisinya waktu kita membuat perencanaan itu sudah berubah. Tapi tidak bisa langsung melakukan perubahan tanpa melakukan perencanaan ulang terlebih dulu,” tegasnya.

Menurutnya, sejauh ini pihaknya belum pernah mendapatkan laporan dari masyarakat terkait dengan praktik backdate di pemerintahan. Namun, pihaknya pernah menemukan kasus tersebut pada perkara laporan lain.

“Jadi untuk laporan secara khusus soal manipulasi tanggal, memang tidak secara khusus dilaporkan kepada Ombudsman. Tapi ada dari beberapa laporan pengaduan, kami temukan adanya praktik-praktik seperti itu,” ungkapnya.

Senada disampaikan oleh akademisi Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa, Iron Fajrul Aslami. Ia mengatakan bahwa dalam persoalan Dinas PUPR, terdapat dua aspek yakni aspek administrasi dan aspek hukum.

“Sebenarnya ada dua aspek yah. Pertama aspek administrasi sendiri. Kedua jika ini ada akibat yang serius, ada orang yang dirugikan, maka bisa masuk ke ranah hukum. Kalau dari segi administrasi, tanggal dan sebagainya, mungkin karena kekhilafan manusia, itu masih bisa untuk diperbaiki secara administrasi,” ujarnya.

Namun berbeda dengan aspek hukum. Menurutnya, jika manipulasi tanggal pada dokumen kontrak adendum tersebut telah merugikan masyarakat, maka bisa masuk ke ranah pidana. Terdekat, pidana pemalsuan dokumen.

“Tapi kalau dokumen tersebut bisa merugikan orang lain, apalagi masyarakat, maka dari segi etika ataupun secara hukum administrasi, atau bisa jadi itu dokumen penting negara maka bisa masuk ke ranah pidana. Bisa masuk ke pemalsuan dokumen,” katanya.

Menurutnya, ranah hukum pidana dirasa merupakan permasalahan terakhir yang bisa timbul akibat dari manipulasi tanggal tersebut. Ia mengatakan, jika memang masih bisa diperbaiki secara administrasi, maka sebisa mungkin untuk diselesaikan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.

Menanggapi praktik manipulasi tanggal yang dilakukan oleh Dinas PUPR agar bisa mendapat dana pinjaman PT SMI, ia menuturkan bahwa yang harus menjadi fokus ialah penggunaan anggaran tersebut yang harus tepat sasaran.

“Dana dari PT SMI itu kan ketika sudah dipinjam maka menjadi dana daerah yah. Peruntukannya untuk kesejahteraan masyarakat. Kalau memang ternyata dalam pelaksanaannya itu menyimpang, maka sudah pasti itu masuk ke dalam ranah pidana,” tandasnya. (DZH/ENK)

 

 

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *