Duet Jadi Duel 

PERHELATAN Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 semakin dekat. Tensi politik pun perlahan mulai meningkat seiring mesin partai politik yang menggerakkan motor politiknya. Di Kota Serang, ada potensi perpecahan kongsi antara Walikota Syafrudin dan Wakil Walikota Subadri Ushuludin yang saat ini menjadi duet. Pasangan ini pun berpotensi menjalani duel demi memenangi tahta kepemimpinan Kota Serang periode 2024-2029.

Di tataran elit politik di jajaran nasional telah melakukan sejumlah manuver politik guna menghadapi agenda lima tahunan, yang digelar perdana secara serentak pada tahun 2024 nanti.

Otak-atik kursi dewan agar bisa lolos ambang batas pencalonan Presiden atau dikenal dengan Presidential Treshold sudah mulai dilakukan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Parpol yang ingin mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden diharuskan memiliki kursi di DPR RI minimal 20 persen.

Dengan jumlah kursi sebanyak 575, maka Parpol tersebut minimal harus mengantongi sebanyak kurang lebih 115 kursi. Dengan demikian, hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) saja yang bisa mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden.

Mereka yang memiliki kursi kurang dari 20 persen, dipersilakan untuk membentuk koalisi guna memenuhi ambang batas tersebut. Sejumlah Partai Politik (Parpol) pun membentuk koalisi di tingkat pusat. Koalisi di tingkat pusat memang lebih mudah terbentuk, mengingat perhitungan kursi legislatif yang digunakan pada gelaran Pilpres adalah kursi periode sebelumnya.

Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di tingkat pusat telah membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Jika diakumulasikan, koalisi tersebut telah mengantongi sebanyak 148 kursi, dengan rincian Partai Golkar sebanyak 85, PAN sebanyak 44 dan PPP sebanyak 19.

Koalisi tersebut pun diperintahkan agar dapat ditarik ke masing-masing daerah. Begitu juga dengan Kota Serang. Akan tetapi, pembentukan KIB di tingkat daerah, khususnya Kota Serang, dianggap sulit untuk dilakukan. Pasalnya, masing-masing daerah dipastikan bakal terjadi konflik kepentingan antar partai anggota koalisi. Terlebih, tiket untuk mencalonkan Kepala Daerah merupakan tiket baru hasil Pileg 2024, berbeda dengan Pilpres yang menggunakan perhitungan kursi periode sebelumnya.

Persoalan lain yang muncul di Kota Serang jika KIB dipaksa berdiri di ibukota Provinsi Banten tersebut yakni seluruh partai anggota koalisi memiliki jagoan masing-masing yang akan diusung di Pilwalkot Serang 2024. Partai Golkar digadang-gadang akan mencalonkan Wakil Ketua DPRD Kota Serang yang juga merupakan Ketua DPD II Partai Golkar Kota Serang, Ratu Ria Maryana. Sedangkan PAN memiliki Walikota petahana, Syafrudin. Begitu juga dengan PPP yang memiliki Wakil Walikota petahana, Subadri Ushuludin.

Kondisi politik tersebut pun membuat dua opsi terpaksa muncul. Opsi pertama ialah mempertahankan duet petahana yang pada saat pencalonannya menggunakan jargon ‘Aje Kendor’ dan ‘menendang’ Partai Golkar keluar dari koalisi di daerah, atau merubah ‘duet’ Aje Kendor menjadi ‘duel’ Aje Kendor dengan ‘menendang’ salah satu petahana keluar dari koalisi, dan merangkul Partai Golkar.

Akademisi, Pengamat Politik sekaligus Peneliti Senior Populi Center, Usep S. Ahyar, mengatakan bahwa koalisi yang telah dibentuk di tingkat nasional menurutnya masih belum permanen. Begitu pula di daerah. Sebab, kondisi politik masih dinamis dan masih bisa berubah-ubah.

“Saya kira juga kalau menurut pengalaman, maka akan berbeda-beda (koalisi pusat dengan koalisi daerah). Ini juga terjadi di daerah-daerah, poros koalisi terbentuk baru sebagaimana dinamika politik yang ada,” ujarnya kepada BANPOS, Kamis (30/6).

Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia pun menurutnya, sangat jarang koalisi pusat selaras dengan koalisi di daerah. Karena, kerap terjadi Parpol yang berkoalisi di pusat, justru saling berlawanan ketiga gelaran Pilkada dihelat.

Akan tetapi, Usep menuturkan bahwa bisa saja koalisi yang berada di Pusat dengan di daerah dapat linier. Pasalnya, pada 2024 mendatang seluruh kontestasi politik akan berlangsung dalam waktu yang berdekatan.

“Tapi karena ini sangat dekat dengan Pilkada, ada kemungkinan besar (akan linier). Namun mungkin tidak seluruh daerah akan sama dengan pusat, karena kan dinamika daerah itu berbeda. Lalu hasil Pileg di daerah juga kadang tidak sama,” ucapnya.

Sebagai contoh, jika di Pileg nasional Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dapat menempati posisi pertama perolehan suara, belum tentu di daerah-daerah juga terjadi demikian. Karena, hal itu tetap mengacu pada dinamika politik daerah, dan karakteristik pemilih.

“Karena dominasinya, karakter pemilihnya juga berbeda. Nah itu sangat menentukan juga dalam membangun koalisi. Misalkan karakternya itu nasionalis, maka Partai-partai nasionalis yang akan memenangkan di daerah,” tuturnya.

Potensi KIB dapat ditarik ke daerah, khususnya di Kota Serang, menurutnya tetap ada. Namun melihat peta politik di Kota Serang yang petahananya merupakan bagian dari KIB, namun Partai Golkar yang juga tetap mau memajukan calon dari kadernya sendiri, memungkinkan terjadinya ‘perpecahan’ koalisi dengan ‘menendang’ salah satu partai.

“Kemungkinan (ditendang) ada. Tapi tetap dinamika mengikuti daerah juga. Apalagi ini kan masanya otonomi daerah, pusat pun akan melihat di daerah seperti apa kepentingannya. Tidak akan selalu daerah mengikuti pusat. Jadi Kota Serang juga bisa jadi berbeda koalisinya dengan di nasional,” ucapnya.

Namun Usep mengingatkan bahwa yang perlu diperhatikan saat ini bukanlah siapa yang akan maju sebagai Calon Walikota, namun siapa yang akan memenangkan tiket untuk melaju dalam kontestasi politik tersebut. Sebab jika kalah dalam Pileg, secara otomatis tiket untuk maju pun hilang.

“Jadi memang itu menentukan juga koalisi dengan siapa, partai mana dengan partai mana. Tidak melulu akan mempertimbangkan hasil koalisi di nasional. Maka dari itu, hasil Pileg itu akan menentukan siapa yang akan menjadi pimpinan koalisi, siapa yang akan dicalonkan,” tegasnya.

Walikota Serang, Syafrudin, saat dikonfirmasi BANPOS mengaku bahwa dirinya masih belum kepikiran untuk Pilkada 2024. Begitu pula dengan siapa yang akan berpasangan dengan dia pada Pilkada 2024 nanti.

“Kayaknya belum sih. Sekarang ini kami masih berfokus untuk bekerja sampai akhir 2023 nanti. Kalau urusan cocok-cocokan (untuk berpasangan dalam Pilwalkot), yah itu mah urusan nanti lah,” ujar Syafrudin.

Diakui oleh mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Serang itu, saat ini kepemimpinan dirinya masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan, agar dapat merealisasikan visi-misi yang dulu diusung.

“Kami masih punya PR-PR yang harus diselesaikan. Jadi tujuan kami agar selesaikan dulu deh visi-misi kami, kami tuntaskan dulu semuanya,” ucap pria yang juga merupakan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PAN Provinsi Banten tersebut.

Kendati demikian, Syafrudin mengaku tidak masalah apabila pada kontestasi Pilwalkot 2024 nanti dirinya harus berlawanan dengan Subadri Ushuludin. Menurutnya, hal itu merupakan hal yang lumrah di negara demokrasi.

“Setelah itu bagaimana rencana ke depan, nanti kami akan bicarakan mungkin di 2024. (Apakah dengan Subadri atau tidak) itu relatif sih. Mudah-mudahan masih bareng. Tapi kalaupun tidak, ya itu kan namanya demokrasi,” terangnya.

Sementara itu, Wakil Walikota Serang, Subadri Ushuludin, mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menyatakan diri akan maju kembali dalam kontestasi Pilwalkot nanti ataupun tidak. Sebab, hal itu menjadi kewenangan masyarakat yang memilihnya.

“Kemana pun saya, dimana pun saya, kembali lagi kepada masyarakat. Lebih enaknya masyarakat yang menentukan saya harus dimana. Tapi kalau dari saya belum (menentukan),” ujarnya.

Begitu pula dengan dorongan dari partainya sendiri yakni PPP. Menurutnya sampai saat ini, PPP belum memberikan sikap apakah akan mengusung dirinya lagi untuk maju dalam Pilwalkot mendatang atau tidak.

“Politik itu kan dinamis. Yang lebih signifikan lagi masyarakat. Kalau partai kan memang perahu kita, kendaraan kita, yang namanya A, B, C, D pasti akan muncul. Tapi itu tadi, kemanapun saya, nyalon dimanapun, silakan nanya ke masyarakat maunya dimana,” ucapnya.

Menurut dia, dukungan dari masyarakat yang paling utama. Sebab, apabila dirinya maju mencalonkan diri ataupun dicalonkan, namun tidak memiliki dukungan dari masyarakat, maka tidak akan bisa memenangkan kontestasi Pilwalkot.

“Politik itu kompromi, politik itu juga dinamis. Kami masih fokus ngurusin masa akhir kami, dari sekarang sampai satu setengah tahun ke depan. Makanya saya bilang, tanya ke masyarakat lagi. Kalaupun masyarakat menginginkan kami bareng-bareng lagi (dengan Syafrudin), maka akan kami ikuti,” terangnya. (DZH/ENK)

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *