Kasus Meningkat, Banten Rawan Cabul

KASUS kekerasan terhadap anak dan perempuan terus meningkat. Beberapa pekan terakhir kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur pun terus bermunculan. Gejala ini menuntut perhatian dari semua pihak, karena generasi depan bangsa harus dilindungi.

Provinsi Banten sepertinya harus menetapkan kondisi darurat pencabulan terhadap anak dibawah umur. Hal ini terindikasi dengan banyaknya kasus pencabulan yang terungkap dan dilaporkan. Beberapa terduga pelaku kasus pencabulan diketahui sempat melarikan diri sebelum diadili.

Pekan lalu, Satreskrim Polres Pandeglang berhasil mengungkap dua kasus pencabulan terhadap anak dibawah umur. Seorang diantaranya adalah menangkap buronan terduga pelaku pencabulan terhadap anak perempuan dibawah umur Bunga (15), warga Kecamatan Sobang, Kabupaten Pandeglang. Tak lama berselang, pekan ini satuan yang sama kembali menangkap seorang terduga pelaku pencabulan, BA (20) warga Kecamatan Banjar, Kabupaten Pandeglang.

Setelah itu, giliran Satreskrim Polres Cilegon Polda Banten, juga mengungkap kasus tindak pidana persetubuhan atau perbuatan cabul terhadap anak dibawah umur. Parahnya, pencabulan dilakukan oleh lima tersangka berinisial, MY, SH, SP, MF, dan MR, kepada satu orang korban dibawah umur.

Ketua LPA Kota Serang, Esa Aulia Rahman, menyebutkan bahwa saat ini memang tren kasus kekerasan terhadap anak yang muncul ke publik mengalami kenaikan, baik di Kota Serang maupun di daerah lainnya. Menurutnya, tidak menutup kemungkinan kasus yang tidak terungkap lebih banyak, mengingat kasus yang terungkap saat ini karena korban maupun orang yang mengetahui adanya kekerasan tersebut berani menyuarakan dan melaporkan.

“Jadi sebenarnya kasus di bawah permukaan (belum terungkap, red) ini banyak, kita mengetahui kalau memang baik si korban ataupun orang terdekatnya yang memang mau menyuarakan atau melaporkan ke pihak yang berwenang, termasuk juga ke LPA atau unit PPA di masing-masing kabupaten kota,” ujarnya.

Esa mengungkapkan bahwa akar permasalahan terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak salah satunya dipicu oleh hubungan keluarga yang kurang harmonis, baik dari anak dengan orang tua maupun sebaliknya. Kemudian hal yang paling penting menurut Esa, si anak baik yang menjadi korban ataupun pelaku, belum mendapatkan pendidikan tentang kesehatan reproduksi atau pendidikan seks, yang seharusnya itu didapatkan dari kedua orang tuanya.

“Sementara, barangkali orang tua menganggap seperti zaman dulu bahwa pendidikan seks atau kesehatan reproduksi itu masih dianggap tabu. Sehingga anak yang karakteristiknya punya rasa penasaran, akhirnya dia mencari informasinya di luar rumah,” tuturnya.

Ia mengatakan bahwa ketidaktahuan informasi potensi terjadinya pelecehan seksual baik di lingkungannya maupun di ruang publik. Sehingga si anak tersebut belum mengetahui bagaimana cara menghindari potensi tersebut, termasuk pelecehan yang bisa saja terjadi di lingkungan keluarga seperti kasus yang pernah terungkap sebelumnya.

“Ketika terjadi potensi pelecehan, si calon korban ini belum mengetahui bagaimana pencegahan atau caramenghindarinya. Misalnya ketika di rumah ada potensi pelecehan seksual, sebaiknya si anak ini berkumpul dengan orang yang ada di rumah tersebut, bukan berdiam diri di kamar, justru harus berkumpul dengan anggota keluarga yang lain,” jelasnya.

Esa mengatakan pentingnya memberikan edukasi kepada anak tentang potensi terjadinya pelecehan seksual. Ia pun mengimbau kepada para anak di mana pun berada, apabila sedang berada di ruang publik dan ada ancaman yang berpotensi kepada kekerasan seksual, sebaiknya segera menuju ke tempat ramai agar orang di sekitarnya bisa memberikan pertolongan.

“Hal-hal yang sesederhana itu memang belum banyak diketahui, makanya penting untuk memberikan edukasi kepada anak untuk selalu waspada dan potensi pelecehan seksual,” terangnya.

Ia meminta kepada masyarakat yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, untuk berusaha saling melindungi terhadap pemenuhan hak anak. Kemudian selalu memberikan edukasi, memberikan edukasi dengan menggunakan berbagai media dan di berbagai kesempatan.

“Kalau hanya mengandalkan instansi pemerintah dalam mengadakan kegiatan sosialisasi, saya yakin akan kurang. Sebaiknya lembaga yang mempunyai kepedulian ataupun orang-orang pribadi yang mempunyai kepedulian terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak, mensosialisasikan berbagai pengetahuannya lewat kesempatan dan media manapun,” katanya.

Menurutnya, media sosial mempunyai peluang yang besar untuk berbagi informasi dan menyebarluaskan tentang pendidikan kesehatan reproduksi terutama bagi anak. Lalu yang perlu diperhatikan di era kemajuan teknologi yang semakin maju, para orang tua dituntun untuk meningkatkan keterampilannya dalam penggunaan smartphon, ikut memantau penggunaan media sosial yang dimiliki oleh anaknya.

“Kalau punya media sosial pribadi, biasanya masing-masing lembaga atau orang mempunyai followers, dengan menyebarkan informasi tersebut mudah-mudahan followersnya baca dan tertanam di pikirannya lalu dipahami, mudah-mudahan mau melanjutkan informasi tersebut. Pembinaan selain lewat pemantauan itu mudah-mudahan bisa dikendalikan dari ancaman terhadap pelecehan seksual,” jelasnya.

Mengingat saat ini Banten darurat pelecehan seksual yang bahkan bisa dilakukan oleh orang terdekat, iameminta agar para orang tua mulai untuk membangun komunikasi yang bagus yang baik antara orang tua dengan anaknya. Orang tua diharapkan bisa memiliki banyak peran, selain disebut sebagai orang tua sebagai panutan, sekaligus menjadi konselor dan bentuk komunikasi orang tua menyesuaikan dengan gaya anak bukan sebaliknya.

“Jadi kalau anaknya punya masalah, sebaiknya anak curhat ke orang tua. Orang tua juga diharapkan menjadi teman bagi anaknya, supaya ketika anak pengen ngobrol itu lebih banyak ngobrol dengan orang tuanya ketimbang dengan temannya,” tandasnya.

Peningkatan kasus pencabulan juga diakui Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kota Serang, Anton Gunawan. Dia mengatakan bahwa pihaknya cukup kaget pada laporan semester pertama tahun 2022 terkait kekerasan terhadap anak dan perempuan, yang sudah hampir mendekati jumlah keseluruhan kekerasan yang terjadi pada tahun 2021.

“Di semester satu saja sudah mencapai 44 kasus. Kalau dibandingkan dengan tahun kemarin, sampai akhir tahun mencapai 56 kasus. Ini baru satu semester sudah 44. Tentu kami tidak berpikiran pada semester kedua nanti akan bertambah, tapi kagetnya ini di bulan Juni sudah 44 kasus. Semoga saja ke depan tidak ada kasus lagi, berhenti di 44 kasus saja,” ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (14/7).

Menurutnya, dari keseluruhan data yang masuk, 90 persen merupakan kasus kekerasan terhadap anak. Kasus kekerasan terhadap anak pun menurutnya, didominasi bahkan hampir seluruhnya kekerasan seksual.

“Jadi 90 persen dari kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, itu kasusnya merupakan kasus terhadap anak. Dan kasusnya itu merupakan kekerasan seksual. Kecamatan yang paling banyak kasusnya itu Kecamatan Kasemen,” ucapnya.

Selain itu, dari kasus yang dilaporkan ke DP3AKB, para pelaku kekerasan seksual didominasi oleh orang-orang terdekat, baik keluarga maupun tetangganya. Hal itu menurutnya, lantaran orang terdekat lebih mengenal korban dan tahu informasi detail dari korban.

“Jadi sudah kenal, sudah tahu situasi. Contoh kasus pelecehan seksual, si korban itu tidak menyangka bahwa orang yang biasa ada di sekitarnya akanmelakukan hal tersebut. Kan orang juga kalau dengan orang yang tidak dikenal, pasti tidak akan mau diajak kemana-kemana. Itu juga pasti pesan dari orang tuanya. Tapi kalau kenal, korban pun tidak akan berpikir macam-macam,” ungkapnya.

Dari keseluruhan kasus yang dilaporkan ke pihaknya pun menurutnya, belum ditemukan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang yang tidak dikenal. Namun, terdapat satu kasus yang mungkin saja dilakukan oleh orang yang tidak dikenal, akan tetapi detail kasusnya belum ia ketahui.

“Kalau kasus perkosaan seperti itu, saya melihat ada satu kasus pemerkosaan mungkin seperti itu. Tapi saya belum tahu apakah antara korban dan pelaku tidak saling mengenal atau pelaku beraksi secara acak (karena sedang mabuk),” tuturnya.

Terpisah, hingga Mei 2022, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kota Cilegon mencatat ada sebanyak 80 kasus dari 43 korban kekerasan seksual perempuan dan anak yang ditangani. Sementara pada 2021, DP3AKB mencatat 254 kasus dari 145 korban kekerasan perempuan dan anak.

Kepala DP3AKB Cilegon, Agus Zulkarnain mengatakan, jumlah kasus kekerasan seksual yang tercatat saat ini ibarat fenomena ‘gunung es. Dikatakan Agus, jumlah kasus yang tercatat belum tentu menggambarkan peristiwa yang sesungguhnya. Namun Agus memprediksi, tren kasus tahun ini meningkat salah satunya karena korban sudah memiliki keberanian untuk melapor.

“Angka yang tercatat itu belum menunjukan angka sesungguhnya. Namun, tinggi atau meningkatnya kasus ini kita bisa lihat dari dua perspektif. Pertama memang kasus meningkat, yang kedua ada keberanian dari masyarakat yang menjadi korban berani melaporkan,” kata Agus.

Lebih lanjut, Agus mengungkapkan, dari kasus yang ditangani oleh pihaknya kebanyakan korbannya adalah perempuan. Meski pada 2020 lalu ada juga tercatat 3 korban diantaranya adalah laki-laki.

Dikatakan Agus, masih kerap terjadinya kekerasan perempuan dan anak baik seksual, fisik dan psikis, dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Salah satunya pelaku terdorong melakukan kekerasan karena faktor ekonomi.

“Jadi ada banyak faktor. Bukan hanya karena niat, tapi ada juga sebabnya faktor ekonomi. Semisalnya yang laki-laki (pelaku), karena faktor ekonomi, tidak mampu berbuat nakal ditempatnya, malah yang ada disekitarnya yang menjadi korban,” tuturnya.

Lebih lanjut, Agus mengungkapkan, sejauh ini, masyarakat sudah semakin menyadari pentingnya mencegah kekerasan perempuan dan anak. Itu dilakukan dengan mulai berani melaporkan jika menemukan kasus kekerasan perempuan dan anak. Di samping itu, pihaknya selalu gencar melakukan edukasi, sosialisasi serta  menyediakan tempat atau wadah untuk menyampaikan pengaduan.

“Kita sekarang lebih intens sosialisasi, edukasi terkait pencegahan kekerasan perempuan dan anak. Di 43 kelurahan kita juga ada, Perlindungan Anak terpadu Berbasis di Masyarakat. Kemudian kita juga punya satgas juga. Di industri juga kita punya wadah, rumah perlindungan pekerjaan perempuan apabila mengalami kekerasan di tempat kerjanya. Jadi kita sudah punya jejaring,” tandasnya. 

Di bagian lain, Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Cilegon Muhammad Ikbal Hadjarati mengatakan tahun ini ada 9 perkara pencabulan yang masuk ke Kejari Cilegon.

“Dari Januari sampai Juli perkara yang masuk 9 perkara,” kata Iqbal kepada BANPOS saat dikonfirmasi.

Untuk rata-rata vonis kepada tersangka, Ikbal mengatakan minimal 6 tahun dan maksimal 13 tahun. “6 tahun samapi 13 tahun,” ujarnya.

Ikbal menambahkan, rata-rata kasus tersebut terjadi di rumah kontrakan tersangka. “Rumah kontrakan tersangka,” tutupnya.

Sementara, data di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Lebak dalam kurun 2021-2022 ada sekitar 70 kasus kekerasan anak maupun pencabulan yang yang terjadi di wilayahnya.

Ketua LPA Lebak, Oman Rohmawan saat diwawancara BANPOS menjelaskan, secara statistik kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur di Lebak memang mengalami kenaikan. Menurutnya, bahkan tahun 2022 ini banyak kasus yang cukup mencengangkan. Hal itu tak lain karena para pelaku merupakan orang terdekat bahkan orang yang dianggap bagian dari keluarga korban.

“Pelaku rata-rata orang terdekat korban, mereka yang seharusnya melindungi justru malah menjadi pelaku kekerasan seksual/ fisik.

Kami dari Lembaga Perlindungan Anak kabupaten Lebak mencatat selama kurun waktu 2021 sampai 2022 yaitu sebanyak 70 kasus,” ujar pria lulusan UIN SMHB Banten ini, Kamis malam (14/07).

Dijelaskan, adapun akar masalahnya adalah salah satunya perkembangan teknologi digital yang banyak menampilkan tontonan pornografi yang tidak diimbangi dengan benteng pengetahuan agama. Juga karena soal kelainan seksual (fedofilia, Red) bagi pelaku.

“Sehingga ini memungkinkan menumbuhkan hasrat bagi pelaku. Selain itu, bisa juga karena adanya kelainan bagi pelaku, sehingga memiliki hasrat terhadap anak-anak,” kata Oman.

Lulusan Fakultas Tarbiyah ini menerangkan lagi, rata-rata kasus yang dijemput lembaganya itu kebanyakan menimpa anak sekolah dasar dan SMP. “Kebanyakan korban yang kami tangani anak sekolah SD dan SMP. Sedangkan untuk pelaku adalah usia dewasa variatif, dari berbagai kalangan. Ada yang mantan pejabat, tokoh agama, tapi rata-rata orang dekat korban,” jelasnya.

Adapun untuk lokasi kejadian Kasus, hampir ada di semua kecamatan di Lebak.

“Tahun ini saja ada 27 kasus yang masuk ke kita. Dan itu terus kita kawal setiap kasusnya, bahkan kita lakukan pula penanganan pemulihan psikologisnya. Makanya kalau kita sekedar menampung laporan kasus mau sampai kapan? Intinya, jangan sampai hal itu terjadi terhadap keluarga terdekat kita. Oleh karena itu mulai sekarang dan seterusnya mari kita bergandengan tangan melindungi anak-anak kita dari para predator pelaku kekerasan seksual anak yang mungkin ada di sekitar kita,” paparnya.

Lelaki asal Kecamatan Cibeber, Lebak Selatan ini menambahkan, sebagai wadah khusus, LPA ini adalah turunan hieraskis dari LPAI pusat lalu ke LPA Provinsi dan Kabupaten/Kota. Menurutnya, pihaknya telah melakukan MoU dengan Mabes Polri terkait penanganan kasus anak termasuk juga LPA Lebak.

“LPA Lebak juga sudah menjalin kerjasama dengan dinas-dinas terkait terkait penanganan kasus. Ada yang mengadvokasi, ada yang memberikan dukungan konseling untuk pemulihan psikologis anak dan pendampingan kasus,” papar Oman.(WDO/DZH/MUF/LUK/ENK)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *