DUGAAN Permasalahan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Provinsi Banten terus bermunculan. Setelah sebelumnya prestasi para calon siswa dilecehkan dengan tidak diterimanya para atlet berprestasi dalam jalur prestasi PPDB. Saat ini muncul ‘jurus’ lama yang diperbarui dengan cara ‘membeli’ gedung sekolah agar kuota dapat bertambah.
Jurus ini dilakukan oleh SMK Negeri 5 Kota Serang. Sebagai satu-satunya SMK Negeri di Kecamatan Taktakan, SMK Negeri 5 Kota Serang dipastikan tidak dapat menampung para pelajar yang ingin bersekolah di sana. Namun, dengan cara klasik, namun berani, SMK Negeri 5 Kota Serang melakukan ‘gocekan’ terkait daya tampung siswa dengan membangun ruang kelas baru (RKB) secara swakelola, yang anggarannya berasal dari masyarakat. Sayangnya, upaya pembangunan RKB secara swakelola tahun ini gagal, karena adanya laporan yang masuk ke Inspektorat Provinsi Banten.
Dari pengakuan Kepala Sekolah SMK Negeri 5 Kota Serang, Amin Jasuta, cara tersebut sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh pihaknya, beberapa tahun yang lalu. Menurutnya, pada saat itu yang menjadi Camat Taktakan merupakan Farach Richi, yang saat ini merupakan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Serang.
Pada saat itu, masyarakat tidak ada yang menolak. Satu kelas pun berhasil dibangun. Namun di tahun ini, cara tersebut tidak berhasil. Ia menuturkan bahwa hal tersebut lantaran terdapat masyarakat, yang ia sebut sebagai oknum, yang melaporkan pengumpulan dana swadaya masyarakat untuk membangun RKB itu ke Inspektorat Provinsi Banten.
“Dua atau tiga tahun yang lalu, masyarakat adem-adem saja. Kalau sekarang kayaknya ya oknum itu ada aja. Dia (oknum) sudah terbacanya seperti mau agar dia yang minta ke masyarakat (uang swadayanya) tapi oleh saya tidak difasilitasi dan maunya gratis. Tapi kan kalau gratis nanti kelasnya tidak selesai,” ujarnya di kantor Kecamatan Taktakan, usai menggelar dialog publik dengan Forum Komunikasi Mahasiswa Taktakan dan Gerakan Masyarakat Taktakan, Kamis (14/7).
Ia menegaskan bahwa uang yang dikumpulkan tersebut bukan merupakan uang yang diminta oleh pihak sekolah, apalagi untuk memperkaya diri. Sebab, uang tersebut dikumpulkan karena masyarakat memiliki inisiatif untuk membangun RKB, agar kuota siswa bisa bertambah.
“Selama ini ada pungutan, ya betul, Rp7 juta. Karena pungutan itu jadi dilakukan, sebab oleh saya disampaikan begini (kepada masyarakat), sudah tidak ada tambahan ruang kelas kecuali masyarakat mau swadaya,” ucapnya.
Amin mengaku bahwa ketika masyarakat mengaku siap untuk ikut berswadaya, dirinya pun melakukan komunikasi kepada pimpinannya. Sayangnya, ia hanya mendapatkan izin dari Kabid SMK, Arkani. Sementara Kantor Cabang Dinas (KCD), Kepala Dindikbud Provinsi Banten dan Pj Gubernur tidak memberikan izin.
“Ternyata itu izinnya baru dari pak kabid. Kata pak kabid, silahkan membuka satu kelas, tapi pak KCD tidak mengizinkan, pak Kadis tidak mengizinkan dan Pak Pj tidak mengizinkan,” tuturnya.
Padahal menurutnya, cara tersebut sudah pernah ia lakukan dan berjalan dengan aman. Bahkan, kelas itu saat ini menjadi penyumbang kuota bagi pelajar di Kecamatan Taktakan yang ingin bersekolah di SMK 5 Kota Serang.
“Kan kita pengalaman dari tiga tahun yang lalu, masyarakat itu semua berkumpul semua di Kecamatan Taktakan, nanya solusinya bagaimana pak Amin. Jadi saya sampaikan kalau misal masyarakat mau membangun dengan biaya sendiri, kita ada tanah di belakang. Ternyata mereka mau dan hasilnya masih ada sampai saat ini,” terangnya.
Ia pun mengaku heran dengan pihak yang melaporkan dirinya ke Inspektorat, dengan dalih bahwa dirinya menarik pungutan dari orang tua murid agar bisa bersekolah di SMK Negeri 5 Kota Serang. Padahal, pengumpulan uang swadaya tersebut merupakan inisiatif dari masyarakat sendiri. Sedangkan dirinya selaku Kepala Sekolah ingin ketika PPDB sudah selesai, tidak ada lagi persoalan lainnya.
“Sebetulnya sekolah mah ingin mengikuti aturan, kalau sudah pengumuman ya sudah. Tapi masyarakat kan masih penasaran, makanya saya komunikasi kesana (Dindikbud), bolehlah nambah satu kelas. Tapi dananya kalau bisa dari mana dan kami sementara itu dari masyarakat,” jelasnya.
Namun saat ini, dirinya telah membatalkan rencana pembangunan RKB dari dana swadaya masyarakat tersebut. Uang yang telah dikumpulkan pun akan dikembalikan kepada masyarakat. Sementara dirinya saat ini, akan diperiksa oleh Inspektorat berkaitan dengan laporan tersebut.
“Saya sudah dipanggil inspektorat. Saya sudah berkomitmen untuk mengembalikan uang itu dan mudah-mudahan pak camat bisa membangun yang berdasarkan dari CSR, bukan dari orang tua. Karena saya tidak tahu, apakah masih akan di SMK 5 lagi. Saya ikhlas kalau digeser karena ini,” tegasnya.
Ia mengaku, penambahan RKB merupakan sesuatu yang bisa saja terjadi meski tanpa dilakukan perencanaan. Hal itu jika sudah ada rekomendasi dari pihak Kecamatan untuk permohonan pembangunan RKB. Adapun dana bisa dari swadaya masyarakat maupun CSR.
Sementara untuk data pokok Pendidikan (Dapodik), menurutnya masih bisa diselesaikan. Karena, penambahan Dapodik masih ada waktu hingga Minggu (17/7) nanti. Sehingga jika memang diizinkan ada penambahan kelas, peserta didik tambahan tersebut akan langsung dimasukkan ke dalam Dapodik.
Amin pun merinci biaya yang harus dikeluarkan, untuk bisa membangun RKB. Amin membeberkan dua metode, yakni jika pembangunan RKB dilakukan dengan cara swakelola maupun dilakukan dengan cara kontraktuil.
“Kalau swakelola itu harganya Rp200 juta satu RKB. Kalau kontrak itu Rp300 juta. Mungkin karena ada pajak, jasa konsultan. Tapi karena sudah tidak jadi, sekarang saya sampaikan bahwa pak camat yang bertanggung jawab membangunkan satu kelas baru. Mudah-mudahan bukan dari masyarakat uangnya,” kata dia.
Ketua DPRD Kota Serang, Budi Rustandi, yang turut hadir pada dialog publik itu mengatakan bahwa cara yang dilakukan oleh SMK Negeri 5 Kota Serang merupakan solusi yang baik, ketika pemerintah belum bisa membangun RKB untuk menampung para pelajar yang banyak.
“Sesungguhnya itu adalah bagian dari solusi untuk membangunnya. Karena kebetulan ada DPRD Provinsi, maka kami mendorong agar pada tahun 2023 itu untuk menganggarkan pembangunan RKB. Karena ini sudah tidak bisa menampung,” ujarnya.
Ia mengaku bahwa meskipun swakelola pembangunan RKB merupakan solusi, akan tetapi lebih baik lagi jika pemerintah yang melakukan pembangunan tersebut. Sebab, masyarakat yang sempat dihantam Covid-19, tentunya akan kesulitan untuk melakukan swadaya anggaran pembangunan.
“Tidak semua masyarakat itu ekonominya sama, pasti berbeda-beda. Karena ini juga menjadi tanggung jawab moral saya sebagai Ketua DPRD Kota Serang dan termasuk juga bagian daripada masukkan agar anak-anak kita lanjut sekolah. Pemerintah slogannya ‘jangan sampai anak putus sekolah’ tapi justru kesiapan pemerintahnya belum siap,” katanya.
Budi menegaskan bahwa saat ini solusi pembangunan menggunakan swadaya dari masyarakat sudah dibatalkan. Untuk itu, dirinya telah mengusulkan untuk melakukan pembangunan RKB menggunakan dana kompensasi kerja sama impor sampah antara Tangerang Selatan dengan Kota Serang.
“Masih ada waktu sampai Senin untuk daftar di dapodiknya. Kalau lewat hari Senin itu sudah tidak bisa. Nanti kita upayakan pembangunan dari CSR kerjasama Tangsel dengan Kota Serang,” ungkapnya.
Untuk diketahui, Pemprov Banten telah membentuk tim investigasi khusus terkait dengan pelaksanaan PPDB 2022. Tim investigasi itu dibentuk lantaran adanya laporan terkait dugaan pungutan liar pada sejumlah sekolah, salah satunya SMK Negeri 5 Kota Serang.
Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Banten, Tranggono, mengatakan bahwa pihaknya telah membentuk tim investigasi, guna melakukan investigasi terhadap aduan-aduan masyarakat mengenai pelaksanaan PPDB lalu.
“Kami sudah membentuk di Inspektorat itu (tim investigasi) untuk menerima aduan-aduan dari masyarakat dan segera diinvestigasi. Nanti hasilnya langsung kasih ke saya,” ujarnya saat diwawancara di DPRD Provinsi Banten, Rabu (13/7).
Menurutnya, salah satu aduan yang sempat dirinya dengar ialah terkait dengan masuk sekolah dengan cara membayar sejumlah uang. Hal itu jika benar terjadi, sangat disesalkan olehnya mengingat bersekolah di sekolah negeri, biayanya sudah ditanggung oleh pemerintah.
“Kami tidak mau kalau mereka itu harus mengeluarkan uang untuk bersekolah. Padahal sekolah itu gratis kan, kenapa harus bayar,” tuturnya.
Begitu pula dengan para pelajar atlet yang diduga mendapatkan diskriminasi dari sejumlah sekolah negeri di Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Menurutnya, para atlet berprestasi seharusnya bisa berlanjut ke sekolah negeri tanpa susah.
“Nanti akan kami lihat. Jadi atlet-atlet yang baik itu harus bisa berlanjut tanpa susah seperti itu. Nanti akan kami lihat lagi ya terkait dengan itu,” terangnya.
Permasalahan atlet yang disebutkan oleh Tranggono adalah terkait, para pelajar yang memiliki sejumlah prestasi di beberapa bidang olahraga, yang mengalami diskriminasi dan perbedaan dengan cabang olahraga lainnya sehingga ditolak dari sekolah-sekolah negeri. Padahal mereka menyabet prestasi pada saat memperjuangkan daerahnya sendiri.
Seperti yang dialami oleh Rakha Ramadan, pelajar asal Tangerang Selatan. Ia yang merupakan atlet panahan memiliki segudang prestasi kemenangan di tingkat lokal, nasional bahkan internasional. Akan tetapi, 23 prestasi yang ditorehkan ternyata tidak bisa membuat dirinya diterima oleh SMAN 1 Kota Tangerang Selatan.
Orang tua Rakha Ramadhan, Erna Kurniawati, mengatakan bahwa dirinya sangat kecewa anaknya tidak diterima oleh SMAN 1 Kota Tangerang Selatan. Padahal, anaknya memiliki segudang prestasi dan menurutnya sangat layak diterima di SMAN 1.
“Kami masih syok dan kecewa. Sebab di sekolah lain, beberapa atlet panahan, ada yang diterima meskipun prestasinya dibawah Rakha,” ujarnya saat dikonfirmasi oleh awak media, Sabtu (9/7).
Menurut Erna, KONI Kota Tangerang Selatan telah memberikan rekomendasi bagi Rakha, untuk bisa masuk ke SMAN 1 Kota Tangerang Selatan. Sebab, Rakha disebut telah mengharumkan nama Kota Tangerang Selatan di kancah Nasional maupun Internasional.
“Tragisnya, Rakha tetap tidak diterima untuk bersekolah di SMAN 1 Tangsel. Padahal KONI Tangerang Selatan telah memberikan rekomendasi bagi Rakha, karena telah mengharumkan nama Kota Tangsel di kancah Nasional dan Internasional,” tuturnya.
Menurut Erna, pihak keluarga sudah pernah berkomunikasi dengan panitia PPDB SMAN 1 Kota Tangerang Selatan. Menurut pihak panitia, Rakha tidak diterima lantaran panahan bukan merupakan olahraga berjenjang.
“Kenapa dalam verifikasi pemberkasan, Rakha diloloskan?” ucapnya.
Hal serupa dialami oleh Iasha Vonka Rodham. Pelajar yang juga merupakan atlet Shorinji Kempo ini ditolak oleh SMAN 2 Kota Tangerang Selatan. Padahal, ia merupakan atlet peraih tujuh medali pada cabang olahraga tersebut. Dua medali merupakan medali emas, sedangkan lima lainnya medali perunggu. Tiga diantaranya didapat dari Popda ke-10 yang digelar di Kota Serang.
“Hargai jerih payahnya sebagai anak bangsa yang dia lakukan secara positif, jangan biarkan atlet – atlet menjadi kecewa. (Ada tujuh medali), tapi kenapa yang bisa diperhitungkan oleh Panitia PPDB SMAN 2 Tangsel hanya 1? Tidak manusiawi dan tidak mendidik,” ujarnya.
Ia juga mengaku kecewa dengan transparansi pelaksanaan PPDB jalur prestasi non akademik tersebut. Menurutnya, banyak hal buruk terjadi selama pelaksanaan PPDB jalur prestasi non akademik. Seperti proses pendaftaran yang dilakukan secara luring dan hanya bisa melampirkan satu sertifikat saja.
“Kasihan anak-anak bangsa yang berkeringat, berdarah-darah cedera, sakit dan mengorbankan waktu bermain atau untuk sekolah dan keluarga mereka, namun tidak dihargai usahanya,” ungkap dia.
Sebenarnya selain Rakha dan Rodham, ada pula atlet berprestasi lainnya yang juga terhempas dari seleksi prestasi jalur non akademik. Mereka adalah juara dua atlet voli indoor, Hani, yang ditolak oleh SMAN 15 Kota Tangerang. Lalu Mashita Salwa, peraih medali emas dan dua medali perak olahraga Shorinji Kempo yang ditolak oleh SMAN 3 Kota Tangerang. Selain itu, masih banyak pelajar atlet berprestasi lainnya, namun enggan untuk membuka suara.(DZH/PBN)
Tinggalkan Balasan