Anak Banten Dibayangi Predator

SERANG, BANPOS – Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Banten menganggap peringatan Hari Anak Nasional (HAN) tahun ini diisi dengan berbagai keprihatinan terhadap anak. Selain kekerasan dan penelantaran anak, kasus kekerasan seksual terhadap anak masih cukup tinggi di Provinsi Banten.

Berdasarkan catatan LPA Provinsi Banten dari awal tahun 2022 hingga pertengahan 2022, tantangan dalam menekan angka kekerasan terhadap anak di Indonesia khususnya di Provinsi Banten masih belum juga berakhir.

LPA menilai, mata rantai kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual, fisik, psikis, eksploitasi anak terus terjadi di Banten dan merupakan sebuah fakta yang harus menjadi perhatian bersama. Fenomena ini dinilai berbanding terbalik dengan dunia anak yang sebenarnya penuh dengan kegembiraan dan keceriaan.

Ketua LPA Provinsi Banten, Hendry Gunawan, mengatakan bahwa berdasarkan data dan fakta pendampingan LPA Provinsi Banten, menunjukkan terdapat banyak peristiwa pelanggaran hak anak yang tidak bisa diterima akal sehat manusia.

“LPA Provinsi Banten terus menerima laporan pelanggaran hak anak yang cukup banyak menyita perhatian. Di awal tahun 2022 hingga pertengahan tahun 2022, pelanggaran hak anak didominasi kekerasan seksual baik dilakukan secara individual maupun berkelompok, seperti apa yang kita kenal dengan serangan persetubuhan bergerombol atau bersama (gengRAPE) yang dilakukan lebih dari seorang,” katanya dalam rilis yang diterima BANPOS, Minggu (24/7).

Menurutnya, data kasus yang tercatat dan terpantau di LPA Provinsi Banten sejak awal Januari hingga Juli tahun 2022, terdapat 27 kasus yang masih didominasi oleh kasus kekerasan seksual, dengan rincian kasus kekerasan seksual sebanyak 37 persen, kekerasan fisik sebanyak 26 persen, hak asuh sebanyak 22 persen, penelantaran dan eksploitasi anak 15 persen.

“Ironisnya, kasus-kasus kekerasan terhadap anak terjadi justru di lingkungan terdekat anak, yakni di rumah dan dan lingkungan sosial anak. Sedangkan pelakunya adalah orang terdekat mulai dari ayah ibu kandung, saudara, hingga teman bermain. Adapun tempat kejadian kekerasan terhadap anak yang mendominasi adalah di lingkungan sosial/masyarakat,” ujarnya.

Dari berbagai kasus yang ada, peran teknologi dan media sosial menurutnya menjadi pemicu terbesar munculnya kekerasan, bahkan kejahatan seksual terhadap anak. Ia mengatakan, pentingnya pemahaman penggunaan gawai perlu diperkuat dengan pemahaman tentang literasi digital, bukan saja bagi anak-anak tapi juga bagi orang tua.

“Penggunaan gawai oleh anak-anak seringkali lepas pengawasannya oleh orang tua. Orang tua dan guru perlu untuk memperkenalkan aplikasi-aplikasi alternatif yang bersifat positif yang bisa diakses oleh anak-anak,” terangnya.

Ia mengatakan, pada salah satu kasus kekerasan seksual, anak dapat berjam-jam menggunakan gawai di malam hari tanpa ada pengawasan orang tua, dan terjadi perkenalan korban dengan pelaku di media sosial.

“Hingga berlanjut saling bertemu hingga terjadi kekerasan seksual. Bahkan ada beberapa pelaku yang mengaku melakukan kekerasan seksual setelah terpapar pornografi melalui gawainya,” jelas Hendry.

Ia mengatakan, pentingnya pemahaman literasi digital juga berkaitan erat dengan peran serta lingkungan masyarakat, untuk memantau perkembangan anak-anak yang ada di daerah tempat tinggalnya. Menurutnya, minimnya pemahaman tentang perlindungan anak menyebabkan peran serta masyarakat dalam menjaga lingkungan masih jauh dari lingkungan yang ramah anak.

“Begitu banyak di daerah kita temukan anak-anak berkumpul bermain game yang dipenuhi adegan kekerasan yang cukup membahayakan psikis anak, tanpa didampingi oleh orang dewasa. Semakin banyak orang dewasa melakukan pembiaran terhadap perilaku anak, maka semakin banyak anak menganggap itu pembenaran,” ungkapnya.

Hendry menegaskan, kasus lainnya yang perlu diantisipasi oleh orang tua yakni masuknya prostitusi online dan paham Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) ke dalam kehidupan anak melalui gawai mereka.

“Melalui aplikasi-aplikasi yang ada, anak-anak membentuk komunitas dan bertukar informasi terkait perkembangan dan hal-hal baru di sekitar mereka, sampai di tahap yang tidak terdeteksi oleh orang tua, game dan group komunikasi yang dimiliki anak-anak sudah terpapar informasi negatif yang di dalamnya terdapat predator anak yang sudah mengintai korban anak,” terangnya.

Hendry mengingatkan bahwa anak merupakan pewaris dalam keluarga dan penerus bangsa ke depan. Anak merupakan aset bangsa sebagai bagian dari generasi muda, dan berperan besar sebagai generasi penerus bangsa.

Oleh karena itu, pemajuan, pemenuhan dan penjaminan perlindungan hak anak, serta memegang teguh prinsip-prinsip non-diskriminatif, kepentingan terbaik anak, melindungi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, serta menghormati pandangan/pendapat anak dalam setiap hal yang menyangkut dirinya, merupakan prasyarat mutlak dalam upaya perlindungan anak yang efektif guna pembentukan watak serta karakter bangsa.

“Namun sebaliknya, jika kehidupan anak-anak yang diwarnai dengan rasa ketakutan, traumatik, kekerasan, diskriminasi dan apalagi kekejaman demi kekejaman terhadap anak terus saja berlangsung tanpa dapat pembelaan dan perlindungan, ini tidak bisa dibiarkan dan negara harus serius dalam memberikan perlindungan terhadap anak-anak sebagai generasi bangsa yang akan datang,” tandasnya.(DZH/PBN)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *