JAKARTA, BANPOS – Tren digitalisasi berkembang di berbagai bidang pekerjaan, termasuk lembaga Pemerintah. Meski demikian, kemajuan teknologi ini tidak sepenuhnya berdampak positif di lingkungan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Banyak PNS yang tidak siap menghadapi digitalisasi. Tidak sedikit yang nampak masih gelagapan, ketika bekerja memanfaatkan teknologi baru, sehingga merepotkan orang lain.
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana mengatakan, hal ini terjadi lantaran komposisi PNS atau Aparatur Sipil Negara (ASN) sekarang tergolong tidak imbang.
Dia menerangkan, dari 3,9 juta PNS saat ini, 2,7 orang di antaranya berusia 41-60 tahun ke atas. Sementara yang berusia 18-40 hanya berjumlah 1,2 juta orang.
“Struktur usia PNS kita segitiga terbalik. Generasi yang tua itu jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang muda,” ungkap Bima dalam Rakornas Kepegawaian 2022, kemarin.
Sebetulnya, komposisi Sumber Daya Manusia (SDM) semacam ini adalah hal lumrah. Tidak hanya di lingkungan Pemerintah, semua bidang usaha juga akan mengalami siklus jumlah pekerja usia tua lebih banyak.
Tapi masalahnya, kata Bima, saat ini adalah era disrupsi. Maka sistem itu harus dibenahi.
“Sudah era Industri 4.0. Teknologi, baik itu komputer, komunikasi dan transportasi memporakporandakan sistem kerja sekarang,” jelasnya.
PNS berusia 41 tahun ke atas, dinilai banyak yang belum siap dengan digitalisasi. Salah satunya terungkap, berdasarkan survei Google.
Survei ini mengungkapkan, sekitar 30 persen PNS justru tidak melakukan pekerjaannya selama pemberlakuan sistem bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) akibat gagap teknologi (gaptek).
Rincian survei yang dilakukan Google kepada PNS dengan sistem 100 persen WFH pada tiga bulan pertama pandemi Covid-19, sebanyak 30 persen PNS mengaku bekerja lebih berat selama WFH.
Sedangkan, 40 persen lainnya mengatakan, beban kerja sama dan 30 persen memilih tidak menjawab.
“Dari data itu saja kita tahu, 30 persen ASN nggak ngapa-ngapain,” seloroh Bima.
Parahnya, para PNS ini enggan meningkatkan keterampilan digital dengan alasan faktor usia. “Itu mungkin bukan tidak mampu, tapi tidak mau belajar,” tegas Bima.
Para PNS, dinilai Bima telah kehilangan motivasi belajar. Karena itu, tak seharusnya bekerja di lembaga pemerintahan.
“Kita tidak bisa berharap dengan orang-orang yang tidak ingin melakukan perubahan,” sesalnya.
Bima pun heran. Sebab, berdasarkan tingkat pendidikan, tercatat PNS lulusan S1 mendominasi dengan jumlah 2,2 juta orang.
Kendati mayoritas PNS berpendidikan tinggi, tapi Bima mengeluhkan kompetensi mereka yang buruk.
“Jadi, latar belakang pendidikan seperti tak berkorelasi dengan kompetensinya,” ucap Bima.
Dia pun memperkirakan, jumlah PNS akan berkurang drastis di masa mendatang. Nantinya, akan lebih banyak Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Saat ini saja, jumlah PNS sudah berkurang banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Dari semula 4,5 juta orang, kini ada 3,9 juta orang PNS. Sementara, PPPK saat ini berjumlah 351 ribu orang.
Bima menjelaskan, PNS nantinya hanya akan diisi oleh pejabat pembuat kebijakan. Sementara PPPK akan diisi oleh pelayanan publik di setiap instansi Pemerintah.
Komposisi seperti itu sudah diterapkan di banyak negara. Salah satunya, Amerika Serikat (AS). Secara internasional, pembagian tersebut menggunakan terminologi civil servant (PNS) dan government worker (PPPK).
Malah, kata Bima, di Selandia Baru dan Australia, pegawai Pemerintah semuanya berstatus PPPK.
“Di sana itu police, social workers, teachers, health workers, mereka adalah PPPK. Di Australia dan New Zealand seluruhnya adalah PPPK,” ungkapnya.
Terpisah, Sekretaris Kementerian Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Rini Widyantini menjelaskan, pembangunan SDM, pembangunan infrastruktur, simplifikasi regulasi, penyederhanaan birokrasi, dan transformasi ekonomi adalah langkah strategi Presiden Jokowi pada 2019-2024.
Dalam menghadapi tantangan dan disrupsi tatanan publik, dibutuhkan dua pendekatan. Yakni, transformasi birokrasi digital dengan membentuk smart government, organisasi yang fleksibel, dan simplifikasi bisnis dari yang kompleks menjadi sederhana.
“Yang dilaksanakan sedapat mungkin terotomatisasi melalui adaptasi teknologi informasi,” jelas Rini.
Manajemen ASN dalam era new normal, lanjut Rini, harus diisi oleh SDM yang adaptif dan cerdik.
ASN mesti berintegritas, profesional, kompeten dan berkemampuan teknologi yang baik.
“Yang dilaksanakan sefleksibel mungkin melalui flexible working arrangement,” tandasnya.(PBN/RMID)
Tinggalkan Balasan