Ria dan Budi Pepet Syafrudin

 

SYAFRUDIN saat ini masih memimpin dalam tingkat keterpilihan sebagai Calon Walikota Serang, kemudian disusulkan oleh Ratu Ria Maryana dan Budi Rustandi. Hal itu menjadi menjadi gambaran dari jajak pendapat yang digelar BANPOS terhadap ratusan responden di Kota Serang.

“Syafrudin saat ini mencapai tingkat keterpilihan sebesar 41 persen, sedangkan Ratu Ria Maryana sebesar 15 persen dan Budi Rustandi sebesar 10 persen. Ini angka yang lumayan menunjukkan dominasi dari Syafrudin,” ujar Kepala Litbang BANPOS, Panji Bahari.

Dalam tingkat keterpilihan tersebut, terlihat pemilih Syafrudin dan Budi Rustandi lebih didominasi oleh perempuan.

“Sedangkan untuk Ratu Ria Maryana lebih didominasi oleh pemilih laki-laki,” terangnya.

Selain itu, mayoritas warga Kota Serang, cenderung untuk tidak memilih walikota dan wakil walikota berdasarkan gender. Hal ini terlihat dari hasil jajak pendapat yang menunjukkan bahwa 40 persen warga Kota Serang tidak memilih berdasarkan gender.

“Sedangkan untuk skema pasangan berdasarkan gender, warga Kota Serang cenderung memilih pasangan Walikota Laki-laki dan Wakil Walikota perempuan. Untuk profesi, lebih cenderung pasangan Walikota birokrat dan Wakil Walikota politikus,” tandasnya

Walikota Serang, Syafrudin, saat dimintai tanggapan mengatakan bahwa hasil dari survei BANPOS merupakan opini masyarakat. Menurutnya, masyarakat berhak untuk memilih siapapun, karena sistem yang saat ini diterapkan adalah demokrasi.

“Yang namanya demokrasi, saya banting tulang untuk berjuang bagaimana caranya supaya masyarakat Kota Serang jadi sejahtera. Tapi kan di mata masyarakat mah beda lagi, mungkin ada kurang kepuasan. Makanya semuanya itu tergantung dari masyarakatnya itu sendiri, tentu kami inginnya berbuat yang terbaik,” ujarnya.

Ketua DPC Demokrat Kota Serang, Nuraeni, mengatakan bahwa dirinya merespon hasil survei BANPOS dengan baik. Menurutnya, survei yang dilakukan oleh BANPOS merupakan salah satu upaya untuk memetakan demokrasi ke arah yang lebih baik.

“Jadi adapun hasil survey yang sudah dilakukan ini cukup mengejutkan, karena pribadi pun berpikir kalau masyarakat memasukkan nama saya dari sisi popularitas, mungkin pengenalan masyarakat kepada saya banyak,” katanya.

Menurutnya, figur dirinya mungkin saja tidak terlalu asing di masyarakat Kota Serang. Sebab, dirinya juga pernah menjadi Ketua DPRD Kota Serang, yang juga pernah diisukan untuk maju pada kontestasi Pilwalkot yang lalu.

“Karena isu Pilkada ini sangat seksi, apalagi di Kota Serang sebagai ibukota provinsi yang notabenenya adalah bagaimana Kota Serang ini sebagai etalasenya provinsi. Masyarakatnya yang urban, dengan keruwetan yang seabreg, kaitan dengan pembangunan dan sebagainya, nah tentu ini juga yang menjadi mungkin perhatian masyarakat,” terangnya.

Sekretaris Daerah, Nanang Saefudin, menolak memberikan komentar. Sementara Ketua DPRD Kota Serang, Budi Rustandi, Wakil Ketua DPRD Kota Serang Ratu Ria Maryana dan Anggota DPRD Provinsi Banten Furtasan tidak merespon panggilan seluler BANPOS.

Pengamat politik sekaligus Akademisi Untirta, Leo Agustino, mengatakan bahwa jika dilihat dari hasil survei yang BANPOS lakukan, membuktikan bahwa hipotesis awal yang mengatakan jika petahana memiliki kans yang lebih besar dari calon-calon lainnya, itu terbukti.

“Dari hasil survei yang dilakukan oleh BANPOS, ini menunjukkan bahwa persentase pak Syafrudin itu 41,3 persen. Sedangkan nama-nama lain itu masih di bawah itu. Artinya, tesis kami selama ini bahwa petahana memiliki kans untuk menang dua periode itu terbukti,” ujarnya kepada BANPOS.

Berdasarkan data survei BANPOS juga, didapati bahwa Syafrudin menduduki posisi tertinggi sebagai calon yang dapat menyelesaikan masalah di Kota Serang. Menurutnya, hal itu lantaran BANPOS memberikan pertanyaan yang berdasarkan preferensi responden, akan mengarah kepada Walikota.

“Karena preferensi responden itu membayangkan Kota Serang, maka yang bisa menyelesaikan permasalahan itu ya Walikota. Kalau mungkin pertanyaannya diubah sedikit seperti kasus-kasus di Kota Serang yang terjadi selama periode saat ini, di luar Walikota, maka siapa yang dapat menyelesaikannya? Maka itu akan muncul nama-nama lainnya,” tuturnya.

Leo menuturkan, nama-nama alternatif akan muncul sebagai calon Walikota, apabila pertanyaan yang diajukan dapat lebih terbuka dan tidak menjurus. Kendati demikian, menurutnya hasil dari survei BANPOS sangat menarik ketika bisa memunculkan sejumlah nama, dan justru nama yang cukup digadang-gadang muncul, malah tidak muncul.

“Bu Vera di sini tidak ada. Padahal yang saya dengar, beliau masih akan didorong di Kota Serang. Karena dalam pemahaman saya, yang saya tahu, memang pembagian kue wilayah itu di keluarga Bhayangkara sudah jelas, mana yang kota, mana yang kabupaten, mana yang provinsi. Menurut saya, Vera mungkin akan maju kembali. Tapi di survei ini justru tidak muncul. Ini menarik karena ternyata imej publik terhadap keluarga ini sudah mulai hilang. Yang terus menguat justru petahana,” ucapnya.

Leo pun menilai bahwa survei yang dilakukan oleh BANPUS sangat cerdas, ketika membuat simulasi dan skenario pasangan Walikota dan Wakil Walikota berdasarkan gender. Dan hasilnya pun menurut Leo sangat menarik, lantaran menunjukkan jika responden menginginkan komposisi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan.

“Kenapa sih responden menginginkan adanya perempuan di sana? Karena mayoritas kebijakan-kebijakan publik di Indonesia, termasuk di Kota Serang, itu sangat maskulin. Kenapa maskulin? Karena persoalan-persoalan stunting, KDRT, pemberdayaan ekonomi kecil dan menengah, sangat berwajah laki-laki,” tuturnya.

Menurut Leo, jika melihat kasus di Bangladesh, kondisi perekonomian publik justru dapat lebih efektif, efisien dan ekonomi apabila dikelola oleh perempuan, dan berorientasi kepada kepentingan-kepentingan perempuan.

“Maka dari itu kebijakan-kebijakannya menurut Muhammad Yunus, harus kebijakan yang berorientasi pada kepentingan perempuan. Nah mungkin ini yang dilihat oleh responden agar kebijakannya tidak terlalu maskulin. Tapi juga melihat kepentingan perempuan, kepentingan anak, kepentingan relasi suami dan lain-lain. Ini menurut saya menarik,” katanya.

Di sisi lain, ia menuturkan bahwa terdapat kondisi yang cukup unik pula di Provinsi Banten. Sebab, di beberapa daerah seperti Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang hingga Provinsi Banten, pernah dan sedang dipimpin oleh perempuan.

“Mungkin itu juga yang kemudian menjadi harapan untuk Kota Serang. Karena periode sebelumnya laki-laki dengan laki-laki, kenapa tidak laki-laki dan perempuan. Atau di daerah lain menunjukkan perempuan yang menjadi pemimpin,” ucapnya.

Mengenai data preferensi pemilih untuk memilih Walikota dari politikus dan Wakil Walikota dari birokrat, Leo menuturkan bahwa hal itu relatif tergambar secara umum di Indonesia. Meskipun berdasarkan hasil penelitian, di Indonesia sebanyak 23 persen Kepala Daerah berasal dari birokrat. Angka tersebut merupakan angka terbesar diantara profesi lainnya.

“Kemudian ada politisi, ada pengusaha, ada purnawirawan, ada purnabhayangkara dan seterusnya. Tapi yang paling besar adalah birokrat. Di Kota Serang cukup menarik ketika menempatkan politisi sebagai Walikota dan kemudian Wakilnya adalah birokrat. Mengapa demikian? Menurut saya karena memang jabatan walikota adalah jabatan politis,” tuturnya.

Akan tetapi, Leo berpendapat bahwa hal itu cukup berbahaya. Sebab jika dilihat dari Undang-undang Pemerintahan Daerah, seluruh urusan dan kewenangan ada di Kepala Daerah. Sementara Wakil Kepala Daerah hanya mendapatkan limpahan saja.

“Kalau Walikota tidak mau membagi kewenangannya dengan Wakil Walikota yang birokrat, yang sudah mengelotok terkait dengan birokrasi, itu akan menjadi masalah juga dalam pemerintahan. Dalam bayangan saya sebagai akademisi, ketika Kepala Daerah tidak mau membagi kewenangan ke Wakilnya, maka dia tidak akan bekerja. Jadi sehebat apapun birokrat kalau tidak diberikan kewenangan, maka gak akan bisa apapun. Tapi ini adalah preferensi publik,” ungkapnya.

Menurutnya, masuknya birokrat ke dalam pilihan responden menunjukkan bahwa selama 20 tahun ke belakang, pemilih telah belajar atas siapa yang mereka pilih. Mulai dari birokrat, politisi, pengusaha, purnawirawan, purnabhayangkara. Dari keseluruhan, birokrat dianggap memberikan warna yang berbeda dalam pemerintahan.

“Meskipun ada juga champion-champion lainnya. Ridwan Kamil meskipun bukan birokrat, beliau adalah champion. Lalu ada Azwar Anas, beliau juga champion,” ujarnya.

Munculnya nama Nanang Saefudin yang merupakan Sekda Kota Serang ke dalam bursa calon Wakil Walikota oleh responden BANPOS menurut Leo, bisa saja menunjukkan bahwa Nanang merupakan kuda hitam pada Pilkada nanti.

“Pemimpin ini akan mewarnai ketika memiliki jiwa melayani. Apakah Sekda mempunyai kans atau menjadi kuda hitam? Saya kira ketika beliau diberikan kesempatan oleh Partai Politik, bisa saja. Kecuali kalau misalkan Sekda memiliki dana yang besar dan mencalonkan diri sebagai calon independen,” tandasnya.(DZH/PBN/ENK)

 

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *