BBM Naik 25 Persen, OK?

JAKARTA, BANPOS-Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto menyarankan Pemerintah untuk tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dan Solar melebihi 25 persen dari harga saat ini. Jika melebihi dari jumlah itu, dikhawatirkan akan memberatkan masyarakat.

Sugeng mengingatkan, kemampuan daya beli masyarakat mesti menjadi pertimbangan utama saat mengambil keputusan menaikkan harga BBM.

“Kemampuan daya beli masyarakat tidak boleh diabaikan. Kalau permintaan DPR pastinya jangan naik,” kata politikus Partai NasDem itu.

Sebenarnya, kata Sugeng, Pemerintah mempunyai uang untuk kompensasi atas kenaikan BBM. Tapi, karena harga minyak dunia naik luar biasa sehingga Indonesia terdampak atas kenaikan itu. “Karena BBM itu kita impor,” katanya.

Ia menyebutkan, produksi BBM dalam negeri hanya mencapai 660 ribu barel per hari, sedangkan konsumsi BBM dalam negeri setiap hari mencapai 1.434.000 ribu barel. “Jadi kita impor kurang lebih 750 ribu barel per hari. Itulah kenapa lantas mahal BBM,” kata Sugeng.

Untuk itu, Sugeng mendesak Pemerintah harus mengeluarkan bantalan sosial seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau jenis bantuan lainnya sebagai kompensasi kenaikan harga BBM.

Sugeng menyarankan pengurangan penggunaan BBM, khususnya Pertalite. Sehingga yang dapat subsidi hanya motor, angkot, dan kendaraan logistik roda empat untuk solar subsidi.

“Itu jauh lebih mudah mengontrolnya dan lebih ke perbaikan skema penerima barang subsidi,” kata dia.

Senada, Wakil Ketua Komisi VI DPR Sarmuji meminta kenaikan harga tersebut harus diukur berdasarkan kemampuan masyarakat. Hal yang penting diperhatikan adalah berapa harga yang realistis dan bisa dijangkau masyarakat.

“Harus diukur benar kemampuan masyarakat dan dampaknya terhadap perekonomian utamanya terhadap daya beli,” ujar Sarmuji dalam keterangannya, kemarin.
Kedua, lanjut Sarmuji, adalah dana hasil efisiensi harus dikembalikan ke rakyat. Terutama kepada mereka berpenghasilan rendah yang rentan terdampak dari kenaikan harga Pertalite dan Solar. Pemerintah memang tidak punya banyak pilihan agar APBN bisa maksimal di tengah tekanan global.

“Membengkaknya subsidi terjadi karena sulitnya menemukan instrumen pengendalian BBM bersubsidi akibat selisih harga yang terlalu besar antara harga keekonomian dan harga subsidi,” jelasnya.

Anggota Komisi VII Mulyanto menuding Pemerintah super tega bila menaikkan harga BBM dalam kondisi seperti ini. Dalam masa pemulihan ekonomi nasional seperti sekarang, Pemerintah harusnya memperbanyak insentif bagi masyarakat kecil. Bukan malah membebani dengan menaikkan harga BBM.

“Hal tersebut justru akan menyebabkan terjadinya inflasi, sehingga kami minta kepada Presiden Jokowi tidak menaikkan harga BBM bersubsidi sekarang,” ujar Mulyanto dalam keterangannya, kemarin.

Mulyanto bilang, kenaikan harga BBM hanya akan membuat masyarakat makin menderita setelah dua tahun lebih terdampak pandemi Covid-19. Presiden Jokowi mestinya memperhatikan kondisi riil masyarakat ini.

Sebagai presiden yang dicitrakan peduli pada kepentingan rakyat, lanjutnya, maka Jokowi harus berani membuat keputusan yang tegas tentang harga BBM ini. Apalagi APBN tahun 2022 surplus selama beberapa bulan belakangan.

“Presiden jangan cuma mendengar saran kebanyakan menteri yang justru menginginkan pemerintah menaikan harga BBM,” wanti-wanti dia.

Mulyanto menyebut kenaikan harga BBM bersubsidi akan mendorong secara berantai kenaikan harga barang dan jasa lainnya secara luas. “Ini tentu akan mencekik kehidupan rakyat dan menambah angka kemiskinan,” tegas Mulyanto.

Lagi pula, lanjutnya, sejak puncaknya di bulan Juni 2022, harga minyak dunia terus melorot, baik WTI crude maupun Brent crude, menuju harga 80 dolar Amerika per barel. “Logikanya jadi terbalik bila Pemerintah ingin menaikkan harga BBM bersubsidi,” pungkasnya. (RMID)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *