HNW: MPR Garda Terdepan Penjaga Konstitusi

SLEMAN, BANPOS – Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyatakan MPR adalah garda terdepan untuk menjaga dan menyelamatkan ketentuan konstitusi, UUD NRI 1945. Ini terbukti kembali ketika MPR menegaskan sikap untuk taati dan laksanakan konstitusi sekalipun ada berbagai desakan untuk memperpanjang masa jabatan Presiden hingga 3 periode.

MPR sudah tegas menyatakan bahwa semua pihak harus taat konstitusi dan semangat reformasi, karenanya MPR menyatakan tidak ada amandemen UUD NRI Tahun 1945 pada periode MPR saat ini (2019-2024).

MPR menegaskan bahwa sesuai ketentuan konstitusi, masa jabatan presiden adalah maksimal dua kali masa jabatan dan pemilihan umum harus diselenggarakan lima tahun sekali. MPR sudah ketok palu tidak ada amandemen UUD NRI Tahun 1945 pada periode ini, sehingga dipastikan masa jabatan presiden hanya dua periode saja. Karenanya masa jabatan Presiden Jokowi akan berakhir pada 2024.

“Dan tidak ada pengunduran Pemilu, karena sesuai dengan ketentuan Konstitusi UUD NRI 1945 pasal 22 E ayat 1, Pemilu harus diselenggarakan 5 tahun sekali, sehingga Pemilu/Pilpres yang akan datang diselenggarakan pada tahun 2024,” kata Hidayat Nur Wahid dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR dengan Forum Pesantren Alumni Gontor di Pondok Pesantren Modern (PPM) Baitussalam, Prambanan, Sleman, DIY, Sabtu (27/8).

Turut hadir dalam sosialisasi Empat Pilar MPR ini, Pimpinan PPM Baitussalam, K.H. Abdul Hakim, Ketua FPAG (Forum Pesantren Alumni Gontor) KH Dr Zulkifli Muhadli.

Pernyataan Wakil Ketua MPR itu menjawab pertanyaan salah seorang peserta yang menyebutkan adanya isu bahwa MPR sedang mengupayakan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode, melalui perubahan UUD.

Menjawab pertanyaan itu, Hidayat Nur Wahid menjawab, hal itu tidak benar. “Saya tegas menyatakan bahwa tidak benar MPR sedang mengupayakan perpanjangan masa jabatan presiden,” tandasnya.

Hidayat mengakui memang ada pihak-pihak di luar MPR yang ngotot mewacanakan perpanjangan masa jabatan presiden.

“Saya berpendapat wacana itu boleh-boleh saja kalau sesuai dengan konstitusi. Tapi, kalau wacananya tidak sesuai dengan konstitusi, seperti masa jabatan Presiden 3 periode, lebih konstruktif kalau jangan diwacanakan. Kecuali konstitusinya diubah dahulu,” ujarnya.

Menurut Hidayat, aturan tentang masa jabatan persiden sudah jelas dalam konstitusi (UUD NRI Tahun 1945). Dalam pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

“Berarti maksimal hanya dua kali masa jabatan. Itu menjadi arus besar di MPR, bahkan menjadi keputusan bersama di MPR,” imbuhnya.
Selanjutnya

Hidayat menjelaskan bahwa latar belakang munculnya amandemen UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan wacana Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Wacana PPHN muncul karena sudah tidak ada lagi GBHN.

Salah satu kesepakatan reformasi adalah menguatkan sistem presidensial. Karena itu, presiden tidak dipilih oleh MPR, melainkan dipilih secara langsung oleh rakyat.

“Karena presiden bukan lagi mandataris MPR yang menjalankan GBHN buatan MPR maka kewenangan MPR membuat GBHN dihapus,” jelasnya.

Namun, dalam perjalanan, ketiadaaan GBHN membuat arah pembangunan tidak jelas. Meskipun sudah ada UU tentang pembangunan jangka menengah dan jangka panjang, namun UU itu adalah produk presiden terpilih, bukan produk representatif dari cabang-cabang kekuasaan negara: eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Karena itu, UU tersebut tidak komprehensif sehingga perlu dikoreksi. Apalagi UU itu tidak mutlak mengikat sehingga bisa tidak dilaksanakan oleh presiden berikutnya. Kondisi ini membuat Indonesia seperti menari poco-poco karena presiden, gubernur, bupati, serta walikota, bisa dari partai yang berbeda-beda dengan program dan janji kampanye yang berbeda-beda.

“Karena itu, MPR merekomendasikan untuk mengkaji GBHN. Maka dibentukan Badan Pengkajian MPR yang mengkaji tentang PPHN. Memang bukan GBHN seperti dulu, tapi PPHN bisa memberi arahan. Agar siapapun pun presidennya tidak keluar dari haluan negara, demikian juga Gubernur, Bupati dan walikota,” sambungnya.

Namun, lanjut Hidayat, perdebatan terjadi ketika menentukan dasar hukum atau bentuk hukum PPHN, apakah dimasukkan dalam UUD sehingga perlu perubahan UUD, dalam bentuk Ketetapan MPR juga memerlukan amandemen UUD, dan dalam bentuk UU. Salah satu partai yang mendukung PPHN melalui amandemen UUD adalah PDI Perjuangan.

Perdebatan ini berlangsung sampai muncul wacana perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode. Ketika terjadi ‘gonjang-ganjing’ itu dan penolakan terhadap wacana masa jabatan presiden tiga periode, akhirnya MPR yang tadinya mengusulkan amandemen UUD untuk menghadirkan PPHN, mereka balik badan menarik usulan menghadirkan PPHN melalui amandemen.

Mereka khawatir amandemen UUD ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu yang menyalip di tikungan terakhir dengan memasukan agenda perubahan UUD untuk melegalkan masa jabatan presiden tiga periode.

MPR sudah ketok palu bahwa tidak ada amandemen pada periode ini. Jadi, clear. Keputusan terakhir di MPR adalah sepakat bulat tidak ada amandemen UUD pada periode sekarang ini (2019- 2024).

Karenanya masa jabatan presiden tetap maksimal dua kali masa jabatan dan pemilihan umum tidak bisa diundurkan, tapi tetap harus lima tahun sekali, diselenggarakan pada tahun 2024.

“Maka yang terpenting sekarang, saat tahapan Pemilu sudah dimulai, agar semua pihak: Pemerintah, KPU, DPR, Partai, Pengamat dan Rakyat, agar fokus, kawal supaya hambatan-hambatan pemilu segera diatasi, agar pemilu sukses, dan tak hadirkan kembali pembelahan seperti dalam Pilpres 2019,” pungkasnya. (RMID)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *