JAKARTA, BANPOS – Ketua MPR Bambang Soesatyo mengungkapkan, Konvensi Ketatanegaraan bukan hal baru dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Maklumat Wakil Presiden Moh Hatta Nomor X, 16 Oktober 1945, tentang pembentukan Komite Nasional Pusat (KNP) sebelum terbentuknya MPR dan DPR, merupakan salah satu terobosan Konvensi Ketatanegaraan saat itu.
Hal itu disampaikan Bamsoet, sapaan akrab Bambang, dalam podcast bersama Aliansi Kebangsaan, di Jakarta, Senin (29/8). Turut hadir sebagai narasumber Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo.
Dalam podcast itu juga dibahas wacana menghadirkan kembali Utusan Golongan di UUD NRI 1945. Bamsoet mengungkapkan, MPR telah menerima usulan dari berbagai kalangan untuk menghadirkan kembali Utusan Golongan dalam keanggotaan MPR sebagaimana terjadi sebelum amandemen keempat konstitusi pada 2002.
Bamsoet memaparkan, usulan tersebut antara lain datang dari PP Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu. Mengingat secara konsep dan teori, demokrasi pada dasarnya mengakui adanya tiga teori perwakilan yang dapat mewujudkan kedaulatan rakyat dalam lembaga perwakilan, yakni: perwakilan politik (political representation), perwakilan daerah (regional representation), serta perwakilan golongan (functional representation).
Dia menerangkan, ketiga perwakilan tersebut dapat merefleksikan kehendak demokrasi secara komprehensif, yakni demokrasi yang bersifat partisipatoris yang melibatkan seluruh elemen bangsa. Karena pada hakikatnya prinsip-prinsip demokrasi yang terkandung dalam konstitusi Indonesia dijiwai oleh sila keempat pancasila, yaitu ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’. Dengan demikian, setiap upaya penyelenggaraan pemerintahan harus bergerak dalam kerangka demokrasi Pancasila yang menjamin tiga hal yaitu tegaknya kedaulatan rakyat, berjalannya prinsip permusyawaratan/perwakilan dan mengedepankan hikmat kebijaksanaan.
“Dalam konsepsi demokrasi Pancasila, kita tidak mengenal diktator mayoritas, ketika kelompok mayoritas cenderung mengabaikan dan mencederai hak-hak kelompok minoritas. Kita juga tidak mengenal tirani minoritas, ketika kelompok minoritas yang meskipun jumlahnya sedikit namun memiliki posisi yang kuat mengabaikan kepentingan mayoritas. Kehidupan demokrasi juga merupakan proses yang tidak stagnan, melainkan terus menerus berkembang secara dinamis. Karenanya, gagasan penataan kembali kedudukan dan kewenangan MPR, termasuk keterwakilan unsur Utusan Golongan dalam keanggotaannya, adalah wacana yang rasional dan relevan untuk diskusikan,” ujar Bamsoet.
Ketua DPR ke-20 ini menjelaskan, amandemen konstitusi di masa lalu selain menghilangkan Utusan Golongan juga menghilangkan Haluan Negara. Akibatnya, fungsi GBHN digantikan dengan UU Nomor 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan UU Nomor 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Dalam implementasinya, berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan penyelenggaraan pembangunan nasional ternyata menyisakan beragam persoalan.
“Misalnya, kecenderungan eksekutif sentris dan adanya potensi RPJPN dilaksanakan secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan. Selain itu, karena Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) didasarkan kepada visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih, maka berpotensi memunculkan visi dan misi yang berbeda dalam setiap periode pemerintahan. Ditambah adanya potensi ketidakselarasan pembangunan antara RPJMN dengan perencanaan pembangunan daerah (RPJMD), mengingat visi dan misi kepala daerah sangat mungkin berbeda dengan visi dan misi presiden dan wakil presiden terpilih,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) harus mempunyai legal standing yang kuat, namun sekaligus tidak kaku. Bentuk hukum yang dinilai paling ideal adalah Ketetapan MPR, yang secara hirarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang. Untuk memberikan hak konstitusional dan mengatur kewenangan MPR (sebagai satu-satunya lembaga negara yang merepresentasikan aspirasi politik dan keterwakilan kepentingan daerah) untuk menetapkan PPHN, maka idealnya diperlukan amandemen terbatas. Namun, mengingat dinamika politik, saat ini sulit untuk direalisasikan, sehingga yang dapat diupayakan untuk menghadirkan PPHN adalah melalui Konvensi Ketatanegaraan.
“Penerapan Konvensi Ketatanegaraan adalah hal yang lazim dalam kehidupan negara-negara demokratis. Konvensi hadir sebagai rujukan hukum yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan negara untuk melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan, serta mengisi kekosongan hukum formil yang baku. Misalnya penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR, yang tidak diatur oleh konstitusi dan tidak diamanatkan oleh undang-undang, namun mengingat urgensinya dapat diterima, maka akhirnya menjadi konvensi ketatanegaraan. Kuncinya adalah adanya konsensus dan komitmen bersama,” terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, sebagai langkah awal Pada awal bulan September, MPR akan menggelar Sidang Paripurna untuk membentuk Panitia Ad Hoc MPR yang komposisinya terdiri dari unsur Pimpinan MPR serta keterwakilan Fraksi dan Kelompok DPD secara proporsional. Pembentukan alat kelengkapan MPR ini dimaksudkan untuk menindaklanjuti kajian substansi dan bentuk hukum PPHN, yang telah diselesaikan Badan Pengkajian MPR.
“Gagasan menghadirkan PPHN tidak dimaksudkan mempertentangkan dominasi antara eksekutif dan legislatif. Tidak pula sebagai upaya MPR untuk membatasi otoritas pemerintah dalam ruang presidensial. Gagasan ini didasari niat baik, yaitu untuk lebih memberikan jaminan kesinambungan dan keterpaduan pembangunan seluruh penyelenggara negara, baik di pusat maupun daerah. Mampu memberikan gambaran wajah Indonesia dalam kurun waktu 50 atau 100 tahun ke depan, beserta tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mencapainya. Serta, untuk semakin meneguhkan arah cita-cita Indonesia merdeka,” pungkas Bamsoet.(RMID)
Tinggalkan Balasan