TANGERANG, BANPOS—Perguruan tinggi swasta yang tergabung dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) berencana menggelar aksi demonstrasi memprotes kebijakan pemerintah yang dinilai tidak adil terhadap perguruan tinggi swasta. Di antara kebijakan yang tidak bisa diterima oleh APTISI adalah penghapusan tunjangan profesi dosen serta ‘komersialisasi’ Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM). Aksi ini akan digelar di ibu kota, khususnya Istana Merdeka serta Kemendikbudristek.
Aksi demo rencananya digelar pada 27 September 2022 mendatang. Ketua APTISI Banten, PO Abas Sunarya mengatakan, rencana tersebut merupakan klimaks tidak didengarnya keluhan perguruan tinggi swasta atas kebijakan yang dianggap memberatkan mereka.
“Sebetulnya kami tidak ada rencana untuk demo. Kita sebelumnya rakernas di Bali yang dihadiri 4.000 PTS se-Indonesia, di sana keluhan-keluhan disampaikan semua, bahwa tidak ada keberpihakan ke PTS,” ujar PO Abas kepada wartawan ditemui usai berolahraga di Kawasan Modernland, Kecamatan Tangerang, Minggu (18/9) pagi.
Sayangnya kata pria yang tak lain Rektor Universitas Raharja Tangerang ini, aspirasi itu ditanggapi dalam rupa janji- janji belaka.
“Coba bayangkan, kita sebagai anak bangsa, kalau misalnya tidak ada perguruan tinggi swasta, sementara tiap tahun ada 8-9 juta masyarakat yang akan masuk perkuliahan mau kemana? Daya tampung PTN paling cuma 1 juta lebih, ini memang bisa diakomodir negeri? Yang ada mungkin nggak akan banyak yang bisa kuliah kan?” ujar mantan Ketua Komisi B DPRD Kota Tangerang ini.
Lebih jauh dia menerangkan, perguruan tinggi swasta saat ini rata-rata mengalami penurunan penerimaan jumlah mahasiswa baru hingga 30 persen. Kondisi ini bagai dipersulit lagi dengan kebijakan penghapusan UU Guru dan Dosen. Salah satunya adalah penghapusan tunjangan dosen.
“Yang saya dengar itu, kalau (tunjangan) PTN masuknya kategori ASN, sementara PTS disesuaikan UU Buruh, lalu mana penghargaan terhadap profesi? Harusnya jangan seperti itu, sekecil apapun harus ada tunjangan profesi,” tanyanya.
Abas pun tak habis pikir dan merasa aneh dengan sistem yang sudah berjalan dengan baik justru diutak-atik. Padahal kemampuan PTS sendiri saat ini benar-benar tengah drop.
“Makanya kita APTISI Banten, termasuk Bodatabek-lah, Jawa Barat itu sebagai supporting. Sebab dari Jatim, Jateng hingga Lampung akan datang menggunakan kendaraan, sementara dari luar daerah bisa jadi akan datang dengan pesawat akan datang ke Jakarta,” terangnya.
Dia menegaskan, APTISI sendiri telah menyampaikan pemberitahuan kepada Polri terkait rencana demo ini kurang lebih melibatkan 5.000 orang massa. Namun hal ini diprediksi akan bertambah mengingat massa dari PGRI direncanakan akan bergabung.
“Mungkin massanya bisa 10 ribu lebih,” jelasnya.
Sementara terkait keberadaan LAM, Abas juga menyampaikan bahwa hal itu sebetulnya sudah diatur dalam UU.
“Nggak ada masalah yang penting pembiayaannya, pemerintah tolong dong seperti biasa, sebelumnya kan nggak bayar. Dulu saja waktu masih nggak bayar tetap harus mengeluarkan biaya sampai Rp50 juta lha sekarang tambah dibebankan pembayaran. Sebab persiapan untuk proses akreditasi sendiri sudah mahal. Apalagi bagi kampus-kampus baru, mereka harus panggil konsultan lah, menyusun borang segala macam, itu bisa 10-20 kali rapat untuk menyusun borang. Itu saja sudah besar biayanya,” ucapnya.
Jika dirata-rata, per program studi (prodi) biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp 100 juta.
“Bagaimana kalau 20-30 prodi? Nah kalau terus-terusan begitu siapa yang (kuat) bayar, udah miliaran” ujarnya.
Ini belum termasuk akreditasi institusi perguruan tinggi sendiri. Padahal di satu sisi, akreditasi sendiri merupakan alat ukur mutu serta persyaratan PTS menggelar yudisium. Namun banyak kampus yang belum bisa memperbaharui akreditas lantaran tak kuat bayar. Ini belum termasuk kampus baru.
“Undang-undang mengatakan, tidak terakreditas tidak bisa yudisium, tidak bisa wisuda. Ini gimana, banyak yang sudah nunda wisuda,” ujarnya.(PBN/BNN)
Tinggalkan Balasan